Melihat kesungguhan hati dan dedikasiku, bos menawarkan beasiswa melanjutkan pendidikan ke jenjang lanjut, program sarjana. Wah.. girang banget hatiku. Mimpi menjadi mahasiswi S1 bakal terwujud. Kabar baik ini pun mendapat rida mama papa.
Bertepatan saat itu bos sedang menjajaki kolaborasi dengan lembaga pendidikan Filipina yang berminat investasi di Indonesia. Malang tidak bisa ditolak. Mereka batal melanjutkan kerjasama. Pupus harapanku.
Namanya bos adalah bos, ia tidak puas. Â Buktinya negosiasi berikutnya dengan lembaga pendidikan asal Inggris mencapai kesepakatan.
Sekali lagi beliau menawarkan beasiswa penuh untukku. Hanya satu syarat "Harus Lulus". Aku diperbolehkan menggunakan fasilitas dari kantor. Komputer, kertas, printer, hingga penyediakan seorang security untuk mengunci pintu dan menemani turun lift dari lantai 21 -- Penthouse bila harus lembur mengerjakan tugas kuliah. Berkah luar biasa. Terima kasih, Pak!
Namun, galau tetap mendera. Apakah aku mampu? Eiits... Kenapa? Ternyata bukan program sarjana, tetapi program magister. Â Aduh, dari diploma tiga loncat ke program magister. Gimana nih? Bingung dan bimbang membayangiku. Beruntung keluarga memberi dukungan sepenuhya.
Kapan lagi? Mau ada perubahan? "Harus ambil," batinku.
***
Singkat cerita, tantangan berikutnya menanti. Pola kehidupanku berubah. Bangun jam 04.30 pagi, menyiapkan makanan keluarga di rumah dan bekal makan siangku. Menuaikan pekerjaan seorang sekretaris plus, plus pekerjaan lainnya hingga usai kantor. Berlanjut berangkat kuliah paruh waktu hingga pukul 09.00 malam. Sampai rumah jam 10.00 malam.
Saking lelahnya aku sering tertidur di taksi yang mengantarku pulang. Sopir membangunkanku ketika sudah memasuki jalan rumahku berada. Untung kejahatan dan pembegalan saat itu tidak  seperti sekarang. Aduh... aku bakal diantar ke antah-berantah.
Letih? Pasti. Dua tahun aku jalani. Aku membuktikan pada mama, papa dan bosku bahwa aku mampu. Hore, Bravo!
***