Mohon tunggu...
Kompasianer METTASIK
Kompasianer METTASIK Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis itu Asyik, Berbagi Kebahagiaan dengan Cara Unik

Metta, Karuna, Mudita, Upekkha

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Refleksi tentang Pembebasan, "Tiada yang Saya Dapatkan"

10 Agustus 2022   05:48 Diperbarui: 10 Agustus 2022   06:00 709
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saat menjemput anakku dari sekolah, dengan girang anakku berkata "Besok Ade libur dan tidak ada les apa-apa!  Ade be free from mental suffering ( bebas dari penderitaan batin)!"

Kalimat si kecil diatas jelas membuat saya ingin menggodanya.

"Kalau begitu, bagaimana kalau Ade tidak sekolah dan tidak les buat seterusnya? Jadi Ade bisa bebas dari penderitaan batin selamanya. Terus Mami berhenti menjadi mami? Biar bisa bebas dari tugas sebagai seorang mami? "

Dengan lantang anakku menjawab, "No! Mana bisa Mi! Mami kan sudah melahirkan kita!"

Merasa tidak mau kalah, saya menjawab, "Bisa saja De! Mami bisa melempar tanggung jawab dengan menitip kalian ke seseorang atau mungkin ke panti asuhan."

Tetapi dengan buru-buru saya menambahkan,

"Namun Mami tidak akan pernah melakukannya. Kalo Mami melakukannya berarti Mami melempar tanggung jawab, bukan be free from mental suffering!"

Di sini saya ingin menyadarkan anakku tentang pembebasan versi Dhamma bukanlah bebas dari tanggung jawab.

Hidup itu pilihan. Selalu ada  tanggung jawab  dan hak yang mengikuti.  Dan di sini terjadi semacam karma. Jika anda rajin berusaha, tentu akan mendapatkan hasil yang lebih memuaskan, begitu juga sebaliknya.

Usaha tidak pernah mengkhianati hasil. Kalau anda sudah memilih, maka jalanilah dengan senang hati. Dan ingatlah! Dalam setiap tindakan yang dipilih, akan selalu ada harga yang harus dibayar!

Lantas apakah arti pembebasan yang sesungguhnya dalam hidup ini dari sisi Dhamma? Dengan iseng, saya bertanya kepada beberapa sahabat-sahabatku yang se-Dhamma.

Ada yang menjawab:

  • Pembebasan adalah bebas dari rasa marah dan benci.
  • Pembebasan adalah bebas dari rasa sakit fisik dan batin.
  • Pembebasan adalah bebas dari nafsu indra.
  • Pembebasan adalah bebas dari rintangan batin.
  • Pembebasan adalah bebas dari kilesa (kotoran batin).
  • Pembebasan adalah saat kita melepas kepemilikan kita, contohnya dengan berdana.
  • Pembebasan adalah keluar dari alam samsara (lingkaran tumimbal lahir dari kelahiran berulang-ulang).
  • Pembebasan adalah kalau tidak berpandangan salah.
  • Pembebasan sama dengan anatta (tiada diri)
  • Pembebasan adalah bebas dari lobha (keserakahan), dosa ( kebencian), dan moha (kebodohan batin).
  • Pembebasan adalah saat bebas dari sepuluh belenggu (Samyojana).
  • Pembebasan adalah bebas dari tanha (nafsu keinginan).
  • Pembebasan adalah bebas dari ikatan kemelekatan.

Dan masih banyak opini lainnya.

Di sini saya menyimpulkan ternyata arti pembebasan ini sangat kompleks. Dan berbeda-beda cara pandang, tergantung dari perkembangan batin masing-masing individu.

Apakah pembaca setuju? Sedikit sharing mengenai pembebasan versi saya.

Setelah mendengar banyak pengalaman teman-teman yang ikut bermeditasi yang konon katanya meditasi bisa memyembuhkan sakit. Hal ini tidak membuat saya tertarik buat bermeditasi, sebab merasa kondisi fisik saya sehat.

Tetapi setelah membaca buku kedokteran jepang, yang konon katanya meditasi sangat baik buat mengaktifkan otak kanan. Disitulah saya tergerak ikut bermeditasi.

Mengapa saya ingin mengaktifkan otak kanan?

Menurut dokter Shigeo Haruyama, dalam bukunya yang berjudul "Keajaiban Otak Kanan", beliau mengatakan kalau otak kanan adalah otak seni yang merupakan hasil dari stimulus berulang di otak kiri, lalu ditimbun di otak kanan dan akan disimpan sepanjang masa di otak kanan. Kita akan menjadi jenius kalo bisa mengaktifkan otak sebelah kanan kita.

Otak bagian kanan untuk perasaan dan intuisi. Menyimpan ratusan ribu kali informasi yang lebih banyak daripada otak kiri. Penggunaan otak kanan yang benar dapat menwujudkan kesadaran tertinggi manusia.

Menurut beliau bakat terpendam bisa muncul saat gelombang alfa (kondisi antara tidur dan terjaga) aktif. Gelombang alfa ada di otak sebelah kanan. Saat kita enjoy, kita diposisi otak kanan, tetapi saat stres melanda, yang bekerja otak kiri (logika).

Kiat untuk mengubah gelombang otak menjadi gelombang alfa adalah  dengan membungkam otak kiri. Aktifkan otak kanan. Caranya dengan "Meditasi."

Selain itu saya mendengar rekaman guru besar "Ajahn Chah". Beliau mengatakan bahwa pikiran kita ini ibarat pisau. Pisau ini akan menjadi tumpul bila dipakai buat memotong apa saja.

Dari sini saya menarik kesimpulan, saya perlu memilah-milah objek pikiran, jangan asal memotong. Kalau saya membiarkan pikiran ini berkelana kepada berbagai hal dan perasaan yang tidak berguna, pikiran ini akan menjadi tumpul sebab tidak mempunyai kesempatan buat beristirahat.

Perbedaan yang kurasakan sebelum dan sesudah bermeditasi.

Sebelum ikut bermeditasi

Ketika menghadapi situasi yang tidak saya inginkan, saya akan buru-buru mencari pengalihan ke hal-hal yang menyenangkan saja. Pokoknya saya tidak ingin menderita, saya maunya yang senang-senang saja.

Saya selalu menyangkal akan adanya penderitaan dan ketidakpuasan. Begitu rasa bosan menyerang, saya akan mengalihkan ke hiburan apapun, intinya saya mencari pelarian.

Saat menghadapi stres, saya akan mengalihkan perhatian saya ke pemuasan indra dengan mendengar lagu, menonton drama, berekreasi, hang out dengan teman-teman, bahkan tidak jarang saya mengalihkan ke makanan. Intinya saya selalu mencari sesuatu di luar diri saya.

Saya tidak pernah melihat ke dalam. Saya tidak pernah melihat adanya tubuh di dalam tubuh. Saya terpesona dengan penampilan luar tanpa melihat adanya ketidakkekalan, ketidaksempurnan, dan tiada diri.

Dan saya diajarin satu tips oleh Mama buat menghadapi badai kehidupan. Tips adalah "Kesabaran".

Mama selalu mengingatkan "ren nai cheng gong", jadi intinya kunci buat sukses, anda harus banyak bersabar. Itu harga mati yang harus Anda bayar, tidak bisa ditawar!

Ini saya praktekan dalam kurun waktu yang sangat lama. Setiap menghadapi badai kehidupan, saya akan menyelesaikannya dan mencoba bersabar serta mengalihkan yang tidak menyenangkan ke hal yang menyenangkan.

Tidak jarang saya berdoa kepada Tuhan, "Tuhan ! Mohon berilah saya kesabaran super dahsyat dalam menghadapi cobaan ini"

Selain itu saya banyak membaca buku-buku motivasi dan senantiasa memasukan yang positif buat pikiran supaya senantiasa berpikir positif. Tetapi apakah saya bahagia? Apakah saya mengalami pembebasan?

Ternyata dengan memakai ilmu kesabaran dan selalu berpikiran positif, saya sanggup melewati semua masalah dengan mulus. Tetapi mengapa masih ada rasa khawatir, rasa benci, dan rasa tidak puas yang menghantui pikiran ini?

Di dalam jiwa ini ada semacam batu yang mengganjal di hati. Berat rasanya meskipun semua bisa diatasi dengan baik.

Ibarat ada pemaafan ke orang-orang yang pernah menyakiti saya tetapi pemaafan itu hanya sekedar di mulut, tidak dari hati. Dalam hati masih menyimpan dendam dan amarah, luka dan kekhawatiran.

Setelah ikut bermeditasi:

Batu-batu yang selama ini mengganjal di hati bisa lenyap begitu saja. Mengapa?

Kebetulan setelah ikut bermeditasi, saya baru mengenal ajaran Sang Buddha tentang empat kesunyataan mulia dan jalan mulia berunsur delapan. Di sini juga saya baru mengenal tentang dukkha, anicca, dan anatta.

Dukkha disini artinya penderitaan. Penderitaan muncul karena adanya nafsu keinginan.

Dengan memahami tentang adanya penderitaan, saya menjadi lebih bisa menerima kenyataan. Ternyata bukan saya saja yang mengalami penderitaan tetapi semua makhluk hidup.

Bahkan bayi yang baru lahir ke dunia saja sudah mengalami penderitaan. Mereka akan dipaksa buat menangis dan saya ingat guruku berkata, "Bayi yang baru sampai  ke dunia diwajibkan menangis, dan mereka akan menanggis "ku a...ku a... ku... a..." yang artinya derita... derita... derita..."

Penderitaan dasar yang pasti akan dihadapi semua manusia di dunia ini adalah penyakit, menjadi tua, dan mati. Tidak ada seorang pun yang bisa lari dari tiga hal ini.

Kemudian saya menyadari konsep anicca. Dari lahir, menjadi dewasa, tua, dan meninggal. Tidak ada yang permanen. Semua akan berubah terus.

Bila saya terlalu terikat dengan masa lalu, mengkhawatirkan akan masa depan yang belum tentu terjadi, itu tidak ada gunanya. Lebih baik saya menata saat ini dengan sebaik mungkin.

Kemudian dengan memahami adanya konsep anatta, tiada diri. Jika badan ini punya saya, mengapa saya tidak bisa mengontrol untuk tidak sakit, tidak tua dan tidak meninggal?

Saya ini hanyalah susunan dari 4 elemen; tanah, air, angin dan api.

Jika ada yang marah ke saya, itu hanyalah seonggok tanah sedang memarahi seonggok tanah yang lain.

Disini proses batin saya terjadi. Banyak sekali yang saya dapatkan dari meditasi. Saya mendapat ketenangan dan kedamaian. Saya yang dulunya pelupa, sekarang jadi lebih sadar.

Saya menjadi lebih bahagia. Batu yang dulu mengganjal di hati kini lenyap seketika. Rasa khawatir yang dulu menghantui, sekarang semuanya lenyap.

Saya mulai hidup berkesadaran, fokus saat ini tanpa memusingkan apa yang akan terjadi pada hari esok, dan membiarkan yang sudah lewat berlalu.

Intinya saya sangat bangga dengan hasil yang telah saya capai. Tidak jarang saya memamerkan ke teman-teman apa yang telah saya capai selama ikut bermeditasi. 

Semua  kebanggaanku ini sirna ketika anakku memberikan satu kertas kepadaku. "Mami lihat! Ade menulis ini. Bukan Ade yang buat tapi Ade menyalin."

Tulisannya sederhana:  

Ketika Sang Buddha ditanya "Apa yang Anda dapatkan dari meditasi?

Sang Buddha menjawab,"Tidak ada! Tapi biarkan saya memberitahumu apa yang telah saya hilang. Saya kehilangan kemarahan, kecemasan, frustasi, ketidaknyamanan, rasa takut akan penuaan, dan kematian.

Disini saya mulai merenung, selama ini saya begitu egois, yang saya fokus itu adalah mendapat, bukan melepas. Saya selalu dikuasai akan lobha (keserakahan), dosa ( kebencian), dan moha (kebodohan batin).

Ternyata makna meditasi sesungguhnya bukannya mendapat tapi melepas. Apakah teman-teman setuju?

Pembebasan versi perenungan saya adalah melepas. Melepas tidak sama dengan membuang apalagi menghindari tanggung-jawab.

Melepas di sini artinya menyadari adanya penderitaan, ketidakkekalan, dan tidak adanya diri.

Ibaratnya menyadari adanya mangkok kaca yang sedang kita pegang saat ini. Sadar bahwa mangkok ini sewaktu-waktu bisa pecah, tidak permanen.

Saat ini mangkoknya belum pecah tetapi sewaktu-waktu akan pecah dan kita tidak tahu kapan waktunya.

Menyadari mangkok ini suatu saat bisa pecah, bukan berarti lantas kita membuangnya atau sebaliknya memproteksinya secara berlebihan.

Tapi di sini artinya kita masih memakai mangkok kaca ini dengan memahami sifat dasar ketidakkekalan kaca. Kita melihat mangkok pecah di dalam mangkok yang belum pecah.

Sehingga saat waktunya mangkok ini pecah, kita tidak kaget. Kita bisa menerima kenyataan kalau memang sifat dasar dari kaca adalah bisa pecah, tidak kekal, bukannya malah menyalahkan orang-orang yang memecahkan mangkok tersebut.

Dengan menyadari saat ini kita sedang memegang mangkok yang sifat dasarnya bisa pecah, apa yang harus kita lakukan?

Kalo pada akhirnya semua bukan milikmu dalam artinya akan pecah sewaktu-waktu, lantas mengapa mangkok ini tidak dipakai saja buat sesuatu yang berguna?

Sebab mangkok dipakai atau tidak, toh pada akhirnya pasti pecah juga. Itulah sifat ketidakkekalan di dunia ini.

Hidup ini terlalu singkat. Ada yang ke dunia ini buat memberi manfaat, ada yang ke dunia ini buat pajangan saja, dan ada ke dunia ini buat merusak.

Semua pilihan ada ditangan kita sendiri. Anda memilih yang mana?

Inilah sedikit sharing pembebasan versi saya. Bagaimana dengan versi Anda?

Refleksi:

Apakah kita masih bisa memikirkan Dhamma bila negara dalam kondisi perang?  Bersyukur kita tinggal di Indonesia yang telah mengalami pembebasan. Disaat semua negara lagi krisis, kita masih aman-aman saja.

Selamat memperingati HUT RI yang ke 77.
Merdeka!

**

Jakarta, 10 Agustus 2022
Penulis: Lisa Tunas, Kompasianer Mettasik

A Loving Mom Who Learns Writing

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun