Meskipun banyak yang tidak percaya dengan ramalan, tapi membahas topik yang satu ini selalu bikin penasaran. Apalagi menjelang tahun baru, para ahli Fengshui hingga paranormal tiba-tiba saja lebih ramai daripada tempat praktik dokter.
Iya, semua orang ingin melihat nasibnya. Seperti apakah gerangan diriku di masa depan? Dan kias apa yang bisa kulakukan atas kesalahan yang pernah kuperbuat di masa lalu?
Sepertinya, masa lalu dan masa depan adalah dua dimensi waktu yang lebih menarik dari masa kini. Konon jika seseorang memiliki kemampuan berkunjung ke sana maka ia akan mampu untuk mengubah nasibnya.
Lalu apakah benar demikian? Mari kita ulik dari perspektif Buddhisme.
Ajaran Buddha meyakini adanya proses reinkarnasi (tumimbal lahir). Disebutkan jika jiwa yang belum mencapai pencerahan (seperti Sang Buddha), ia akan terus menerus berputar di dalam roda samsara.
Dengan demikian maka ia akan terus menerus memetik hasil buah karma perbuatannya, sembari terus menerus memproduksi karma baru melalui pikiran, ucapan, dan tindakan.
Karma memiliki sebuah prinsip yang sangat sederhana, apa yang ditanam, itulah yang dituai. Kondisi yang menyenangkan adalah hasil dari berbuahnya karma baik. Sementara jika seseorang sedang mengalami kesusahan, seringkali disebutkan bahwa karma buruknya sedang berbuah.
Pertanyaannya, karma buruk yang mana?
Ini adalah pertanyaan yang sulit dijawab. Perbuatan buruk yang kita lakukan seringkali terlupakan, menguap begitu saja bak air yang mendidih. Terlalu banyak untuk diingat kembali.
Apalagi bila buah karma buruk yang sedang kita panen, ternyata berasal dari masa lalu -- atau masa sebelum kelahiran kita saat ini. Tentu batasan kesadaran kita tidak akan pernah bisa mendeteksi.
Lantas jika kita tidak bisa mengetahui apa kesalahan kita, bagaimana cara memperbaikinya? Dari sinilah seringkali muncul ide untuk melakukan perjalanan menembus waktu.
Konon rajin bermeditasi hingga mencapai tingkat tertentu, mampu menembus bayangan masa lalu. Tapi, ada juga jalan pintas. Bisa lewat regresi melalui teknik hipnotis. Lebih canggih lagi jika mampu membayar dewa. Melalui tubuh medium yang konon telah mengantongi frekuensi surga.
Jangan dulu mengerutkan kening, karena itu bukan esensi dari artikel ini. Pertanyaan selanjutnya, katakanlah kita sudah mampu melihat masa lalu, apakah itu akan serta merta mengubah nasib kita?
Dari beberapa jawaban yang saya pernah dengar, hasilnya berbeda-beda. Ada yang mengatakan, "tentu, karena karma buruk dapat dikias melalui kebajikan. Dengan demikian masa depan akan lebih bagus, karena utang masa lalu sudah dibayar."
Ada juga versi berbeda lainnya, "yah, paling tidak saya puas dan bisa menerima keadaan saya apa adanya. Ini demi masa depan yang lebih bahagia."
Yang paling mencengangkan adalah jawaban yang satu ini, "dengan melihat ke masa lalu, saya bisa membalas dendam kepada oknum yang membuatku menderita."
Meskipun terlihat berbeda, secara umum jawaban yang kuterima mengacu kepada hal yang sama. Dengan melihat masa lalu, maka ada harapan untuk mendapatkan masa depan yang bagus.
Sekali lagi, benarkah demikian?
Tentu ini tidak sepenuhnya salah juga, walaupun banyak juga yang mencibir jika itu hanyalah hal yang sia-sia saja.
Sebenarnya hukum karma sudah sangat jelas. Apa yang kita alami itu adalah buah perbuatan masa lampau. Hanya saja maukah orang tersebut menerima kenyataan tersebut?
Ada sebuah filsafat Buddhisme yang dikenal dengan Empat Kebenaran Mulia, yakni; Kebenaran tentang Dukkha, Kebenaran tentang sebab Dukkha, Kebenaran tentang lenyapnya Dukkha, dan Kebenaran tentang jalan menuju akhir Dukkha (Jalan Mulia Berunsur Delapan).
Saya ingin berfokus pada kebenaran kedua, "Kebenaran tentang sebab Dukkha." Filsafat ini bukanlah hal yang jelimet jika dikaitkan dengan hukum karma.
Singkatnya setiap orang terlahir dengan paket karma lampaunya. Paket tersebut berisikan karma baik dan buruk yang lengkap. Banyak karma baik, banyak pula karma buruk.
Jadi hasil dari karma-karma tersebut akan berujung kepada dua hal, kondisi yang menyenangkan dan tidak menyenangkan.
Hingga pada akhirnya, kenyataan ini akan terhubung lagi dengan situasi keseharian kita. Baik dan buruk adalah nyata adanya. Semuanya adalah kondisi yang datang silih berganti mengisi kehidupan sehari-hari.
Lalu, apakah kita akan pasrah menunggu nasib? Tidak demikian teman-teman.
Kabar baiknya adalah, meskipun setiap orang mewarisi karmanya masing-masing, karma baik dan buruk tidak datang pada saat yang sama. Oleh sebab itu, jika ingin hidup bahagia maka kondisikanlah karma baik yang akan datang menyerta.
Caranya?
Yang pertama, selalulah berpikir positif. Kendati kita sedang susah, cobalah merenung. Bukankah di tengah kegelapan pasti ada setitik cahaya. Cobalah untuk selalu bersyukur, bahwa susah-susahnya kehidupan pasti memiliki hikmahnya tersendiri.
Dengan menerima kenyataan apa adanya, bukan dengan menolaknya maka kita akan lebih mudah menjalani hidup ini. Dengan demikian maka karma buruk yang sudah berbuah akan terasa lebih enteng untuk ditapaki.
Cara kedua adalah dengan melakukan lebih banyak kebajikan. Perbuatan baik yang kita lakukan saat ini cenderung akan menarik timbunan karma-karma baik yang telah kita miliki dari masa lampau.
Jangan menganggap jika kebajikan itu tidak berguna. Melakukan hal-hal kecil untuk membantu orang lain yang sedang mengalami kesusahan akan membawa hasil yang baik juga.
Kalaupun bukan dalam bentuk pahala yang besar, minimal secercah kebahagiaan sudah merupakan signal dari karma baik yang menghampiri.
Dengan menjalankan dua hal sederhana ini, niscaya kehidupan yang akan datang akan lebih baik. Nasib memang telah didesain, tapi jangan lupa jika kita sendiri adalah desainernya. Mengubah nasib baik tidak perlulah melihat masa lalu. Tidak perlu juga mengkhwatirkan masa depan.
Hiduplah saat ini, selalu berbuat kebajikan melalui pikiran, ucapan, dan tindakan. Dengan demikian kita akan lebih siap menghadapi perubahan yang pasti dalam kehidupan ini.
Semoga semua makhluk berbahagia.
**
Bandung, 30 Juli 2022
Penulis: Muditavati, Kompasianer Mettasik
Berbagi Kebahagiaan Mengenal Dhamma
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H