Mulailah saya banyak membaca buku-buku Dhamma, bermeditasi, menghadirkan ketenangan dalam batin, dan membuang segala kegelisahan yang tak ada gunanya.
Belajar hidup saat ini. Saya mencoba tidak lagi memendam kemarahan ataupun iri hati, belajar untuk cepat memaafkan orang, belajar menerima perbedaan dan perubahan. Dan hasilnya luar biasa. Keluhan-keluhan hipertiroid ini jauh berkurang.
Saya mencoba belajar menjadi orang yang seperti garis yang digoreskan di air. Seperti yang Sang Buddha sebutkan dalam Lekha Sutta, ada 3 jenis perumpamaan orang dalam menghadapi kemarahan.
Jenis orang pertama, orang yang seperti garis yang digoreskan di batu. Jenis orang ini sering marah, dan kemarahannya itu berlangsung lama. Dia menggenggam erat kemarahannya.
Jenis orang kedua, orang yang seperti garis yang digoreskan di tanah, kemarahannya tidak berlangsung lama, cepat terhapus oleh angin dan air.
Dan jenis orang ketiga, orang yang seperti garis yang digoreskan di air. Kemarahan orang ini akan cepat lenyap. (Baca: Seni Menggores Air, Seni Melihat Amarah Mencair karya Willi Andi).
Hidup lebih damai menjadi jenis orang ketiga ini, walaupun kadang sulit, tapi dengan praktik dan praktik, pasti akan terbiasa.
Sebelum mengenal Dhamma lebih dalam, memang saya sering memendam marah, kadang rasa tidak suka saya genggam lama sekali. Mengingat-ingat atau mengungkit-ungkit yang sudah terjadi.
Karena pendaman marah itulah yang menyebabkan hipertiroid saya tak kunjung sembuh. Gelisah juga sering menghampiri saya. Saya pun mulai sering berlatih mengembangkan cinta kasih. Menguncar "semoga semua makhluk berbahagia".
Dan efeknya luar biasa. Kegelisahan mulai lenyap. Batin lebih damai. Seperti disebutkan dalam Anguttara Nikaya 11. 15, ada banyak manfaat dari pengembangan cinta kasih, di antaranya dapat tidur dengan nyenyak dan tidak bermimpi buruk.
Mimpi-mimpi kehilangan teman-teman SD sudah tidak pernah saya alami lagi. Malah saya menghadirkan mereka di dalam pemancaran cinta kasih saya.