Mohon tunggu...
Kompasianer METTASIK
Kompasianer METTASIK Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis itu Asyik, Berbagi Kebahagiaan dengan Cara Unik

Metta, Karuna, Mudita, Upekkha

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Pemahaman Karma Kolektif dalam Ajaran Buddha

17 Juli 2022   04:40 Diperbarui: 17 Juli 2022   04:54 593
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada banyak kalimat bijaksana berkaitan dengan kematian. Di antaranya adalah "Yang pernah dilahirkan, pasti akan mengalami kematian" dan "Kehidupan itu tidak pasti, kematian itulah yang pasti."

Ada lagi yang cukup nyeleneh, yakni "Saat seseorang dilahirkan, ia juga membawa sertifikat kematiannya." Terdengar menyeramkan, tetapi demikianlah adanya.

Sesuai ajaran Buddha, kematian adalah proses yang harus dijalani oleh suatu makhluk selagi masih berada di arus kehidupan (samsara). Tumimbal lahir (kelahiran kembali) yang berulang-ulang merupakan ciri dari samsara.

Dalam kitab suci Dhammapada syair 128, Buddha mengatakan, "Tiada tempat di langit, atau tempat di tengah lautan, atau tempat di celah-celah gunung, atau tempat di mana jua, bisa didapatkan oleh seseorang untuk bisa bersembunyi dari kematian."

Kematian adalah unik dan personal bagi setiap manusia. Kelahiran, kehidupan, dan kematian seorang manusia adalah satu paket milik individu atau pribadi manusia.

Tidakkah pernyataan tersebut kontradiktif dengan kenyataan banyak kasus kematian orang-orang yang terjadi secara bersamaan? Semisal, sewaktu terjadi pengeboman dalam perang yang menyebabkan sejumlah orang tewas di lokasi yang dibom.

Sewaktu terjadi bencana alam, contohnya banjir, sungai meluap, longsor, angin kencang bahkan badai, gunung meletus, gempa bumi, tsunami, dan berbagai macam lainnya, sering memakan korban jiwa secara bersama-sama.

Tak kalah menyedihkannya saat kita mengetahui tentang kecelakaan di jalan raya, jatuhnya pesawat terbang, tenggelamnya kapal laut, dan kejadian-kejadian lainnya yang merenggut banyak nyawa.

Ada pula kejadian khusus, semisal satu keluarga mati terbakar di dalam ruko akibat terjadinya arus pendek listrik. Juga kejadian satu keluarga beserta pengasuh bayinya mati tersetrum karena arus pendek listrik pemanas air. Masih banyak lagi kejadian spesifik yang melibatkan kematian lebih dari satu orang, dalam waktu relatif bersamaan.

Di luar konteks kematian bersama, banyak kejadian yang dialami oleh orang-orang secara bersama-sama dalam kehidupan. Penduduk negara-negara miskin mengalami kelaparan berkepanjangan secara bersama-sama. Penduduk negara-negara yang mengalami konflik, harus menderita kecemasan dan ketakutan berkepanjangan.

Dari contoh-contoh tersebut, apakah itu yang disebut "karma kelompok" atau "karma bersama" atau "karma kolektif"?

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan "kolektif" sebagai "secara bersama atau secara gabungan". Dengan demikian, karma kelompok atau karma bersama atau karma kolektif dapat diartikan sebagai karma secara bersama atau secara gabungan.

"Karma" (bahasa Sansekerta) atau "kamma" (bahasa Pali) berarti "perbuatan" atau "tindakan" atau "aksi". Karma merupakan sebab yang akan menghasilkan buah atau akibat di waktu kemudian.

Buah atau akibat karma bisa muncul dalam waktu cepat, bisa juga membutuhkan durasi yang lebih lama. Bisa dalam satu kehidupan, namun bisa juga lebih dari satu kehidupan.

Jika ditelisik, apa yang dialami oleh lebih dari satu orang secara bersama itu sebetulnya adalah buah atau akibat dari karma yang pernah dilakukan secara bersama sebelumnya. Mereka dikatakan memiliki kesamaan karma.

Ketika seseorang terlahir di satu keluarga, ia memiliki kesamaan karma dengan anggota-anggota lain di dalam keluarga tersebut. Karena ia dan keluarganya merupakan bagian dari satu masyarakat, ia dan keluarganya memiliki kesamaan karma dengan anggota-anggota lain di dalam masyarakat tersebut.

Kesamaan karma seperti itu bisa diperluas menjadi kesamaan karma sebagai bangsa yang sama. Juga sebagai penduduk suatu kawasan atau benua tertentu. Bahkan juga sebagai manusia di muka bumi ini.

Kesimpulannya, kesamaan karma sebelumnya telah membuat kesamaan dalam kehidupan ini, dari keluarga yang sama hingga kepada sesama manusia yang hidup di atas bumi ini. Semua pertemuan, perkumpulan, dan kejadian sama yang dialami oleh berbagai orang, terjadi karena kesamaan karma yang pernah dilakukan sebelumnya.

Meskipun ada kesamaan karma antar makhluk, namun karma tetap merupakan sesuatu yang bersifat individual atau pribadi. Sebagaimana kutipan dari paritta Abhinhapaccavekkhana Patha, yang berisi ajaran Buddha tentang perenungan yang seharusnya kerap kali setiap orang lakukan:

"......... Diri kita masing-masing merupakan pemilik perbuatan kita sendiri, mewarisi perbuatan kita sendiri, terlahir dari perbuatan kita sendiri, berhubungan kerabat dengan perbuatan kita sendiri, tergantung kepada perbuatan kita sendiri. Semua perbuatan yang kita masing-masing lakukan, yang baik maupun yang buruk; perbuatan itulah yang akan kita masing-masing warisi. ........."

Oleh karena itu, tidak ada seorang pun bisa berbahagia atau menderita karena karma orang lain. Tidak ada seorang pun yang bisa mendapat manfaat atau kerugian dari karma yang bukan dilakukan oleh dirinya.

Meskipun karma kelompok atau karma bersama atau karma kolektif itu karena kesamaan karma yang pernah dilakukan sebelumnya, tetap saja terdiri dari karma-karma individu. Masing-masing individu dalam kelompok atau kebersamaan itu, jika ditelisik lanjut, tidak akan persis sama apa yang dipikirkan dan dirasakan.

Ketidaksamaan itu baik saat melakukan karma itu, maupun saat buah atau akibat karma itu diterima di kemudian waktu. Masing-masing pelaku karma akan menerima buah atau akibat karmanya sendiri-sendiri.

Kisah berikut diambil dari riwayat Buddha Gautama. Kisah ini dapat memberikan gambaran mengenai karma kelompok atau karma bersama atau karma kolektif dengan buah atau akibat karma, yang meskipun sekilas terlihat sama,namun sesungguhnya tidaklah persis sama.

Dalam kitab suci Dhammapada syair 30, Buddha mengatakan, "Melalui penyempurnaan kewaspadaan di dalam dirinya, dewa Sakka bisa meraih tingkatan sebagai pemimpin di antara para dewa. Sesungguhnyalah, kewaspadaan akan senantiasa dipuji dan kelengahan akan senantiasa dicela."

Ada kisah di balik setiap syair yang tertuang dalam kitab suci Dhammapada. Tak terkecuali dengan syair yang ke-30 ini. Terdapat keseluruhan 423 syair di dalam kitab suci Dhammapada.

Dewa Sakka merupakan raja para dewa. Di kehidupan sebelumnya, dia adalah seorang manusia bernama Magha.

Magha beserta 32 orang pemuda lain yang menjadi pengikutnya, bersama-sama melakukan perbuatan baik dengan meratakan jalan dan membangun tempat tinggal untuk kepentingan orang banyak.

Magha juga melaksanakan tujuh kewajiban sebagai berikut:

  • Menjaga dan merawat ayah dan ibunya.
  • Menghormati orang-orang yang berusia lebih tua.
  • Lemah lembut dan sopan dalam berkata-kata (berucap).
  • Berupaya untuk tidak membicarakan hal-hal buruk tentang orang lain.
  • Menghindari menjadi orang kikir dan sebaliknya menjadi orang yang dermawan (murah hati).
  • Berkata yang sebenarnya (jujur).
  • Menjaga diri sedemikian rupa sehingga tidak mudah menjadi marah.

Dengan melakukan semua kebaikan tersebut dan melaksanakan ketujuh kewajiban itu sepanjang kehidupannya, setelah meninggal, Magha di kelahiran selanjutnya menjadi Sakka. Ia menjadi raja dari para dewa. Ketiga puluh dua pengikutnya setelah meninggal juga terlahir kembali sebagai dewa di surga Tavatimsa (alam tiga puluh tiga dewa).

Tentu saja ketiga puluh dua dewa pengikut dewa Sakka tidak akan sama persis satu dengan lainnya. Mereka mungkin berbeda secara tampilan wajah maupun fisik lainnya. Mereka mungkin juga berbeda dalam kebahagiaan yang dirasakan.

Di kehidupan lampaunya, ketiga puluh dua orang tersebut memang melakukan pekerjaan baik secara bersama-sama. Namun isi pikiran, ucapan, dan perbuatan mereka sepanjang kehidupan lampau pasti tidak akan sama persis. Alhasil, di kehidupan mereka berikutnya, meski terlahir bersama di alam surga Tavatimsa, diri mereka masing-masing dan kehidupannya tidaklah persis sama.

Magha, sebagai pemimpin mereka di kehidupan sebelumnya saat berbuat baik bersama-sama, menjadi dewa Sakka, raja mereka di alam surga Tavatimsa.

Oleh karenanya, mari kita semua berupaya untuk terus memupuk karma baik, secara individu maupun kelompok. Pada waktunya nanti, perbuatan-perbuatan baik yang pernah kita lakukan, pasti akan kembali lagi kepada kita dalam bentuk buah atau akibat karma yang baik.

Yakinlah bahwa hukum Karma tidak akan salah, keliru, atau meleset. Hukum Karma amatlah sangat akurat. Hukum ini berlaku bagi semua manusia di muka bumi karena hukum Karma adalah hukum alam.

**

Tangerang, 17 Juli 2022
Penulis: Toni Yoyo, Kompasianer Mettasik

Professional | Trainer |Consultant | Speaker | Lecturer | Author

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun