Saya termasuk orang yang easy going, tapi bukan berarti saya royal. Soal duit, tentu ada marwahnya tersendiri. Iya bagaimanapun juga duit adalah hal yang sensi. Diperas dari keringat sendiri, tentu bukan untuk dibagi-bagi
Nah, tapi kalau urusan berdana (baca:bersedekah) saya tentu tidak hitung-hitungan. Kata orang kalau pelit, akan sakit hati. Tapi, tidak boleh juga terlalu banyak, nanti bakal bokek.
Untuk itu saya punya prinsip tersendiri. Berdana sebaiknya tepat sasaran, langsung diserahkan kepada yang membutuhkan.
Namun tidak jarang juga banyak arjuna di luar sana yang senang mencari cinta. Eh ...... Sumbangan maksud saya. Melakukan apa saja demi fulus yang direlakan. Menghalalkan segala cara dengan imbalan masuk surga.
Ada yang berpakaian pemuka agama keyakinanku. Mereka berkeliling toko, dengan gaya yang cukup menyakinkan. Berbahasa mandarin pula sambil menyodorkan gambar Dewi Kwan Im.
Aku menggeleng-gelengkan kepala karena memang tidak mengerti kata-katanya. Tapi ia terus saja menyerocos, seolah-olah sedang melantunkan mantra. Hingga aku minta tolong kepada si pemilik toko untuk menghalaunya.
Bukannya pergi malah semakin mendesak, tensiku langsung naik! Kucekal tangannya, "Ayo kita ke kantor polisi, kamu B**** gadungan, karena berkeliaran minta uang"
Tahukah teman-teman akibat gertak sambalku mereka melarikan diri. Itu berarti mereka mengerti Bahasa Indonesia. Kejailanku pun muncul. Untuk memberikan efek jera, diam-diam kuikuti mereka. Dan... aha ketangkap lagi.
"Eh ga kapok ya, saya laporkan kalian ke polisi karena telah mencemarkan kehormatan anggota persekutuan pemuka agamaku."
"Berani-beraninya kalian berpura-pura menjadi B****, jubah itu sakral, kenapa dipakai untuk menipu, kenapa tidak cari kerja?"
Ternyata mereka tidak terima.
"Cewek kepo, kamu tidak tahu susahnya cari uang, kami juga bekerja dan lihatlah pengorbanan kami membotaki rambut "
"Gundul edan, ini bukan pekerjaan tapi penipuan, ayo ke kantor polisi"
Diam-diam aku juga binggung kalau sampai benar-benar ke kantor polisi, apa yang harus kulakukan? Belum lagi waktu istirahatku hampir selesai, aku belum maksi [baca : makan siang].
Gara-gara B**** gadungan, hilang deh kesempatan untuk ngobrol dengan cowok ganteng di kedai makan.
Tapi untung salah satu dari anggota komplotan itu minta agar persoalan tidak diperpanjang. Tapi, karena sudah kepalang basah aku bergaya lagi.
"Baik, aku tidak akan memperpanjang hal ini, tapi awas kalau kalian masih berkeliaran mencari uang dengan pura-pura jadi B****, kamu akan dipenjara, mau?"
Sayang saat itu belum ada hape, jadi aku tidak bisa mengabadikan wajah yang ketakutan. "
Setelah itu aku tidak pernah lagi ketemu mereka, tak tahu apakah masih berkeliaran atau tidak atau pindah lokasi.
Soal pemintaan sumbangan ada-ada wae, banyak caranya. Ada yang jadi pengepul dengan menyisihkan beberapa persen untuk kantongnya sendiri, apalagi di saat-saat sekarang ini, lagi ramai-ramai membicarakan soal kasus penyelewengan dana sosial.
Tiba-tiba, ting ... hape-ku berbunyi ada WA dari seorang teman,
Ajakan untuk berdana paket sembako. Dengan halus kutolak karena memang tidak berminat dan kurang yakin. Perlu dipahami. setelah beberapa kejadian yang tidak mengenakkan aku menjadi lebih selektif lagi dalam berdana.
Prinsipku, aku berdana sesuai kemampuanku, menanam karma baik sekaligus menyempurnakan parami. Maaf bukan aku mengecilkan arti berdana yang sesungguhnya, menurutku simple saja dan tepat sasaran:
Bagiku, orang yang sedang kehausan jika diberi segelas air jauh lebih bermanfaat daripada segenggam berlian. Jika disekeliling kita masih banyak yang membutuhkan bantuan kenapa pula harus jauh-jauh ke pedalaman.
Dana baru sempurna kalau ada niat, dilaksanakan, diserahkan, dan diakhiri dengan pelimpahan jasa
Jadi sekarang ini aku berdana ke tempat yang pasti-pasti aja. Aku tidak mau lagi dana melalui perorangan. Mending langsung ke rekening Vihara saja.
Fangshen yang kulakukan sekarang juga bukan lagi mahluk hidup, yang kulepas kilesa-kilesa yang selama ini telah berkarang di hatiku.
Tapi rupanya penolakanku membuatnya tersinggung dan sedikit marah, maka dikirimilah wejangan-wejangan Dhamma berbaur dengan ilmiah.
Semuanya tentang apa yang harus kulakukan, dan janji-janji surga yang akan kudapatkan. Wejangan tersebut tidak ada salahnya, karena toh diambil dari tulisan-tulisan yang beredar di dunia maya.
Tapi, apa yang tersurat adalah yang tersirat. Pada saat ingin meminta dana, ayat-ayat surgawi pun dilantunkan. Kenapa tidak sedari dulu saja?
Tapi lumayanlah, nolak berdana malah dapat ajaran Dhamma. Terima kasih teman atas pencerahan serta doanya agar aku menemukan gerbang kemakmuran. Namun, sekali lagi mohon maaf, permintaan dananya aku tolak lagi ya.
**
Jakarta, 10 Juli 2022
Penulis: Sumana Devi, Kompasianer Mettasik
"Hidup Cuma Sekali, Harus Dinikmati. Sakit Diobati, Mati Dikremasi"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H