Mohon tunggu...
Kompasianer METTASIK
Kompasianer METTASIK Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis itu Asyik, Berbagi Kebahagiaan dengan Cara Unik

Metta, Karuna, Mudita, Upekkha

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Hukum Karma Bukan Monopoli Siapa-Siapa

6 Juli 2022   03:40 Diperbarui: 6 Juli 2022   03:46 969
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum Karma Bukan Monopoli Siapa-Siapa (gambar: buddhistdoor.net, diolah pribadi)

Ada berbagai kata di dalam bahasa Indonesia yang asalnya dari bahasa-bahasa lain. Sebagian kata tersebut, dalam bahasa aslinya berkaitan dengan tradisi atau keagamaan.

Salah satunya adalah kata "karma" yang berasal dari bahasa Sansekerta (Sanskrit). Kata ini awalnya banyak digunakan untuk merujuk kepada ajaran agama, khususnya Buddha dan Hindu.

Dengan berjalannya waktu, kata "karma" lalu menjadi kosa kata yang dipakai oleh masyarakat umum di kehidupan sehari-hari. Kata "karma" sudah bukan monopoli keyakinan atau agama tertentu. Sayangnya, dikarenakan adanya pemahaman masyarakat umum yang kurang lengkap, arti "karma" menjadi melenceng alias berbeda dari yang sebenarnya.

Ada pun Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menyatakan bahwa "karma" adalah perbuatan manusia ketika hidup di dunia. Dalam KBBI, "karma" juga disamakan dengan hukum sebab-akibat. Namun dalam praktiknya, kata "karma" sering diidentikkan dengan kejadian buruk atau akibat buruk yang diterima oleh seseorang. Sewaktu seseorang mengalami ketidakbaikan, orang-orang secara keliru mengatakannya orang tersebut "sedang menerima karma".

Ajaran tentang karma bukanlah monopoli agama Buddha atau agama Hindu atau keyakinan maupun agama lainnya yang juga mengenal karma. Di masa sebelumnya, di masa yang sama, dan di masa setelah masa Buddha Gotama, juga ada ajaran tentang karma dari guru-guru yang lain.

Jadi jangan sampai salah pemahaman bahwa Hukum Karma merupakan ciptaan Buddha. Yang perlu dicatat adalah Hukum Karma yang diajarkan oleh Buddha bercirikan lengkap dan bersifat akurat. Siapa yang berbuat, dialah yang akan menerima buah atau akibatnya di kemudian waktu.

Melalui penerangan sempurna yang sudah diraih-Nya, Buddha sudah memahami sepenuhnya Hukum Karma dan cara kerjanya. Buddha juga sudah memahami bagaimana caranya untuk bisa "terlepas" dari Hukum karma. Keterlepasan dari Hukum Karma memungkinkan suatu makhluk untuk bisa keluar dari arus kehidupan dan kematian yang berulang-ulang (samsara).

Kata "karma" dalam bahasa Sansekerta (atau "kamma" dalam bahasa Pali) memiliki arti harfiah "perbuatan" atau "tindakan" atau "aksi". Meskipun karma berkaitan dengan perbuatan yang dilakukan oleh suatu makhluk, tidak semua perbuatan lantas dianggap sebagai karma.

Semisal proses pertumbuhan alami di fisik seorang manusia, contohnya pertumbuhan kuku dan rambut. Demikian pula proses metabolisme normal dalam tubuh manusia. 

Sama halnya dengan proses pencernaan makanan yang masuk ke lambung, bekerjanya secara otomatis organ-organ tubuh manusia, dan lain-lain. Juga yang tidak termasuk ke dalam definisi karma adalah tindakan refleks yang tidak didahului dengan kehendak atau niat. Tindakan refleks merupakan tindakan spontan yang tidak memiliki makna moral.

Teori tentang karma mulai dikenal sekitar tahun 1750 SM di India. Ajaran tentang karma kemudian menjadi salah satu ciri utama dari agama-agama yang lahir di India. Yang perlu dicatat adalah pengertian dan pemahaman tentang karma pada waktu itu berbeda dengan yang diajarkan oleh Buddha di kemudian hari.

Kemunculan awal teori tentang karma dikarenakan banyak pertapa di India yang pada waktu itu mulai meningkat kemampuan batinnya, hasil dari praktik bertapa atau meditasi. 

Mereka mampu melihat bahwa kehidupan manusia telah berulang-ulang terjadi sebelumnya. Mereka mampu mengingat berbagai kehidupan lampau mereka sendiri. Sebagian kehidupan lampau yang diingat oleh pertapa-pertapa waktu itu adalah kehidupan-kehidupan di mana mereka sering mengadakan upacara-upacara atau ritual-ritual. 

Kemampuan penglihatan para pertapa India kuno tersebut masih sangat terbatas. Hal ini dikarenakan batin mereka belum sepenuhnya termurnikan. Mereka belum memiliki kemampuan untuk melihat fenomena apa adanya sesuai dengan realitanya. Mereka masih dipengaruhi oleh persepsi-persepsi yang belum jernih. Istilah kata, persepsi-persepsi mereka masih terdistorsi.

Kemampuan penglihatan para pertapa tersebut tentang kehidupan-kehidupan lampau dalam hubungannya dengan sebab dan akibat sangatlah tidak lengkap. Tanpa disadari, dengan ketidaklengkapan pengetahuan ini, para pertapa itu kemudian menyimpulkan bahwa kelahiran yang baik dan kebahagiaan yang mereka dapatkan merupakan efek dari suatu sebab, yakni upacara dan ritual.

Tentu saja kesimpulan yang ditarik menjadi tidak tepat karena berdasarkan data-data yang sangat terbatas. Seumpama kita disodorkan gambar dari pintu atau jendela atau atap dari sebuah rumah. Lalu kita harus menyimpulkan rumah siapa atau di mana rumah tersebut berada. Tentu saja kemungkinan besar jawaban, atau lebih tepatnya tebakan kita, akan keliru.

Ada juga dalam aliran spiritual tertentu di zaman India kuno, karma menjadi ajaran yang bersifat rahasia. Tidaklah semua orang boleh mengetahuinya. Hanya para pemuka aliran saja yang boleh mengetahui dan mempelajarinya.

Demikian juga ketika melakukan upacara atau ritual berkaitan dengan ajaran karma waktu itu, ada mantra-mantra khusus yang hanya diketahui oleh sekelompok pemuka aliran saja. Penyebaran ajaran juga dilakukan secara rahasia, tertutup, dan terbatas hanya kepada orang-orang terpilih saja yang dianggap memenuhi syarat. Inilah kondisi-kondisi umum berkaitan dengan ajaran karma sebelum zaman Buddha Gautama.

Tidak demikian halnya dengan ajaran Buddha, termasuk Hukum Karma. Tidak ada ajaran, apalagi yang bisa membawa kebaikan bagi banyak orang, disembunyikan oleh Buddha, atau diajarkan secara pilih kasih kepada orang-orang tertentu saja. Penembusan dan penerangan dalam diri Buddha Gautama telah lengkap dan sempurna. Oleh karenanya, Hukum Karma yang diajarkan oleh Beliau sudah lengkap dan sempurna pula.

Jangan sampai ada kesalahpahaman bahwa Hukum Karma hanya bekerja atau berlaku atas kelompok orang tertentu saja, yakni yang menerima dan percaya kepada Hukum Karma. Tidak peduli label keyakinan atau agama yang disematkan di diri seseorang. Hukum Karma pasti berlaku atas kehidupan semua manusia. Hukum Karma adalah hukum alam yang berlaku bagi seisi alam semesta. Setiap manusia tidak luput dari Hukum Karma karena manusia adalah anggota alam semesta.

Jadi Hukum Karma merupakan produk alam, bukan produk agama tertentu. Hukum Karma adalah hukum moral universal, yang tidak pilih kasih, dan berlaku bagi semua orang, di semua waktu, dan di semua tempat, bersesuaian dengan kondisi yang mendukungnya. Hukum Karma bekerja secara independen, bebas dari campur tangan atau intervensi dari manapun dan dari makhluk apapun.

Hukum Karma, sering disebut juga dengan hukum sebab-akibat, berlaku adil, berlaku universal. Pelaku karma baik akan menerima buah atau akibat yang baik, sedangkan pelaku karma buruk akan menerima buah atau akibat yang buruk.

Karena itu, umat Buddha tidak mengklaim bahwa hanya merekalah kelompok orang yang bisa masuk ke alam-alam bahagia hanya karena mereka menerima keberadaan Hukum Karma dan alam-alam bahagia tersebut. Yang bukan umat Buddha pun sepanjang memenuhi persyaratan, dapat terlahir di alam-alam bahagia tersebut.

Dikarenakan Hukum Karma adalah hukum alam, tidak perlu ada pengatur atau pemberi hukuman atas karma yang diperbuat oleh setiap makhluk. Yang diperlukan hanyalah kondisi yang cocok atau sesuai untuk berbuahnya karma yang telah diperbuat sebelumnya. Kekuatan yang berasal dari luar atau kekuatan besar yang tak terlihat, yang menilai perbuatan baik dan jahat, tidak sesuai dengan Hukum Karma yang diajarkan oleh Buddha.

Hukum Karma juga harus dipahami sebagai suatu kekuatan atau bentuk energi. Dengan demikian, tidak diperlukan adanya suatu awal dari Hukum Karma. Jika ada pertanyaan kapan Hukum Karma dimulai, ibarat pertanyaan yang sama dengan kapan listrik atau gravitasi bumi dimulai. Karma, seperti halnya listrik atau gravitasi bumi, tidaklah berawal.

Yang juga harus dipahami adalah ajaran Buddha menunjukkan bahwa tidak semua hal disebabkan oleh karma. Hukum Karma bukanlah hukum tunggal yang berlaku dalam kehidupan manusia dan alam semesta.

Terdapat berbagai kekuatan alam lainnya, yang berlaku sebagai hukum di alam semesta beserta isinya. Ajaran Buddha mengenal adanya lima hukum alam yang berlaku di alam semesta (pancaniyama), Hukum Karma hanyalah salah satunya.

Yang PERTAMA adalah hukum yang mengatur tentang pastinya atau teraturnya musim (utuniyama). Adanya kepastian pergantian musim (angin dan hujan) dan perubahan-perubahan suhu atau temperatur yang terjadi di alam semesta, diatur oleh hukum ini.

Yang KEDUA adalah hukum yang mengatur tentang pastinya atau teraturnya biji (bijaniyama). Adanya kepastian bahwa biji tertentu akan menghasilkan tanaman atau buah tertentu, buah tertentu memiliki cita rasa tertentu, dan lain-lain, diatur oleh hukum ini.

Yang KETIGA adalah hukum yang mengatur tentang pastinya atau teraturnya perbuatan (kammaniyama). Adanya kepastian bahwa perbuatan baik akan menghasilkan buah yang baik, sedangkan perbuatan buruk akan menghasilkan buah yang buruk, diatur oleh hukum ini.

Yang KEEMPAT adalah hukum yang mengatur tentang pastinya atau teraturnya kesadaran (cittaniyama). Adanya kepastian akan muncul dan lenyapnya kesadaran (citta), diatur oleh hukum ini.

Yang KELIMA adalah hukum yang mengatur tentang pastinya atau teraturnya dhamma (dhammaniyama). Adanya kepastian akan fenomena-fenomena lain yang tidak termasuk di keempat hukum lainnya, misalnya daya listrik, gaya gravitasi, gerakan gelombang, dan lain-lain, diatur oleh hukum ini.

Marilah mulai sekarang kita memperlakukan Hukum Karma sebagaimana adanya, tidak kurang dan tidak lebih. Percayai, yakini, dan praktikkan Hukum Karma. Niscaya, tidak hanya dalam kehidupan ini kita akan berbahagia, tetapi juga berbahagia di kehidupan-kehidupan berikutnya.

**

Tangerang, 5 Juli 2022
Penulis: Toni Yoyo, Kompasianer Mettasik
Professional | Trainer | Consultant | Public Speaker | Lecturer | Author

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun