Mohon tunggu...
Kompasianer METTASIK
Kompasianer METTASIK Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis itu Asyik, Berbagi Kebahagiaan dengan Cara Unik

Metta, Karuna, Mudita, Upekkha

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jalan Alternatif Mengejar Kebahagiaan Bukan via Google

1 April 2022   03:38 Diperbarui: 1 April 2022   03:43 724
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jalan Alternatif Mengejar Kebahagiaan Bukan via Google (gambar: youtube.com. Account NCR HUB, diolah pribadi)

Kalau mencari kata kunci kebahagiaan adalah di Google, maka akan muncul 36 juta halaman yang yang terkait dengan kebahagiaan. Kalau dengan kata kunci "kebahagiaan adalah" dengan dua kutip ganda, hasilnya adalah 233 ribu

Lawan dari kebahagiaan adalah penderitaan, kalau dicari di Google dengan kata kunci penderitaan adalah ada menampilkan sekitar 7 juta halaman yang terkait dengan penderitaan. Kalau dengan kata kunci "penderitaan adalah" dengan dua kutip ganda, hasilnya adalah 84 ribu.

Kalau menengok ke Google trend, perbandingan selama 12 bulan terakhir (dari Januari-2021 s/d Januari 2022), ternyata banyak orang mencari "kebahagiaan adalah" dibandingkan dengan "penderitaan adalah", dengan rata-rata 28 berbanding 12. Di antara 10 orang, 7 mencari arti kebahagiaan, 3 orang mencari arti dari penderitaan.

Mungkin karena kebahagiaan adalah tujuan, sehingga sering dibicarakan, lebih banyak penjelasannya mengenai kebahagiaan dibandingkan dengan penderitaan. Lebih sedikit orang mencari tau apa itu penderitaan.

**

Semua orang mengejar kebahagiaan dengan caranya sendiri, dengan gayanya sendiri. Sejak lahir kita diajarkan cara makan, cara berjalan, cara mencari uang dan segala pelajaran lainnya, tapi kita tidak pernah belajar cara mendapatkan bahagia.

Tidak heran kalau semua orang punya gayanya sendiri untuk mengejar kebahagiaan. Banyak juga melihat samar tau apa itu kebahagiaan, sehingga penjelasan mengenai apa itu kebahagiaan lebih banyak.

Karena kebahagiaan sesuatu yang samar, maka banyak orang ragu dengan caranya, sehingga banyak orang mencari tau cara lain mengejar kebahagiaan.

Sehingga kata kunci: "kebahagiaan adalah", "kebahagiaan hakiki", "kebahagiaan semu", "kebahagiaan menurut para ahli" dan masih banyak lagi informasi kebahagiaan yang dicari, sering digunakan.

Artinya setiap orang memiliki pemahaman mengenai kebahagiaan yang berbeda-beda, sehingga kebahagiaan yang dikejar juga berbeda. Karena definisi kebahagiaan sangat subjektif, atau setiap orang punya definisi sendiri.

**

Membandingkan data pencarian, orang yang mencari arti dari kebahagiaan lebih banyak daripada yang mencari arti dari penderitaan, menunjukkan bahwa lebih banyak orang tidak mengerti arti kebahagiaan dari pada arti penderitaan.

Banyak orang lebih paham penderitaan daripada kebahagiaan, karena penderitaan lebih nyata dan dapat dirasakan langsung.

Padahal ketika tidak bahagia sebenarnya karena adanya penderitaan. Artinya kalau  tidak ada  penderitaan maka kebahagiaan akan ada.

Kalau demikian, mengapa tidak mencari kebahagian dengan cara lain, yaitu dengan mengurangi penderitaan.

**

Penderitaan jauh lebih nyata bagi setiap orang.

Menjadi tua adalah penderitaan. Karena kemampuan fisik sudah berkurang, kesehatan menurun, sehingga banyak hal tidak dapat dilakukan. Menjadi tua adalah sebuah kepastian, tidak ada orang yang lahir tidak pernah tua.

Semua orang menganggap sakit adalah penderitaan. Bagaimanapun seseorang yang sudah lahir, pasti suatu saat akan sakit. Tidak ada orang yang tidak pernah sakit. Karena keinginan agar tidak pernah sakit maka menjadi penderitaan.

**

Ketika lahir kita sudah membawa 3 hal lainnya, akan menjadi tua, akan sakit, akan mati. Tidak ada yang dapat menghindarinya.

Takut menjadi tua, malu menjadi tua hanya menambah beban hidup, yang sama saja artinya menambah penderitaan. Walaupun takut menjadi tua, malu menjadi tua, tetap juga menjadi tua, menerima semua kenyataan ini jauh lebih melegakan. Karena keinginan tidak menjadi tua, maka menjadi tua adalah penderitaan.

Benci pada sakit, khawatir akan sakit, tetap saja sakit. Lalu mengapa kita menambah penderitaan dengan benci, dengan khawatir pada sakit. Lebih baik menjaga diri dengan baik, dengan menjaga pikiran agar lebih tenang, makan secukupnya, olahraga secukupnya, tidur secukupnya dan lainnya.

Di dunia ini semua tidaklah pasti, yang pasti adalah kematian. Apapun yang kita miliki tidak pasti, dapat rusak, dapat hilang dan banyak lagi kemungkinannya. Tapi yang pasti suatu saat kematian akan datang, tidak ada yang dapat mencegah, tidak ada yang dapat menunda.

Semua orang takut pada kematian, karena ketika kematian tiba kita harus melepas semua yang kita miliki. Padahal kita masih ingin memiliki, masih ingin menggenggam erat-erat. Karena keinginan tidak mati, maka kematian menjadi penderitaan.

**

Selain menjadi tua, sakit dan kematian, ada penderitaan lain yang juga nyata. Seperti berpisah dengan yang dicintai (baik orang maupun barang), berkumpul dengan yang dibenci, singkatnya penderitaan yang datang karena tidak tercapai apa yang diinginkan.

Kekecewaan karena "tidak tercapai yang diinginkan" begitu nyata dalam keseharian. Sejak mata dibuka sampai malam akan tidur banyak kekecewaan, baik yang kecil maupun besar. Jika kecil mungkin belum dapat dikatakan penderitaan, tapi tetap tidak memuaskan, sebuah penderitaan kecil.

Ketika bagun pagi, sebenarnya masih mau tidur, tapi sudah harus bangun. Kecewa, tidak tercapai keinginan untuk tidur lebih lama. Mau buat nasi goreng, sayang semalam lupa masak nasi. Kecewa, tidak tercapai keinginan untuk sarapan nasi goreng. Di jalan bikin marah, jalan macet terlambat sampai tujuan. Kecewa, tidak tercapai keinginan untuk cepat sampai.

Kalau diurut banyak sekali kekecewaan karena "tidak tercapainya keinginan" hanya dalam kurun waktu 24 jam. Bayangkan kalau sebulan, setahun, seumur hidup. Banyak sekali kekecewaan yang harus dihadapi, yang bertumpuk menjadi penderitaan.

**

Kekecewaan hanya ada karena ada keinginan. Ketika keinginan tidak tercapai seperti macet, muncul kebencian. Adanya kebencian hanya menambah beban.

Ingin menunjukkan diri sebagai karyawan/siwa yang baik, ternyata tidak bisa karena sering terlambat. Ingin menunjukkan ego, malah berakhir dengan kekecewaan

Puncak keinginan seperti langit, di atas langit ada langit, di atasnya masih ada langit lagi. Keinginan tidak ada batasnya, seperti seseorang sedang haus meminum air laut yang asin, semakin diminum semakin haus.

Sedangkan setiap keinginan yang tidak terpenuhi akan berakhir pada kekecewaan. Sudah pasti tidak semua keinginan dapat dipenuhi. Tidak akan pernah dapat terpenuhi semuanya.

**

Menempatkan kebahagiaan dengan berlandaskan terpenuhinya keinginan, adalah sebuah kenaifan, sebuah kesia-siaan. Karena tidak mungkin semua keinginan terpenuhi.

Yang pada akhirnya hanya berujung pada menambah beban hidup, menambah penderitaan, kebahagiaan semakin menjauh.

Tubuh membutuhkan cukup sepiring nasi, tahu dan tempe. Tapi karena keinginan, ingin makan dengan ayam goreng, sate atau lainnya. Tubuh cukup pakai t-shirt, celana, pakaian dalam. Tetapi karena keinginan maka t-shirt harus bermerek, celana harus bermerek.

Biaya makan dengan ayam goreng, sate, t-shirt bermerek, celana bermerek butuh biaya, biaya tidak ada yang gratis, semua harus diusahakan. Yang pada ujungnya akan menambah beban kehidupan.

Tidak mengherankan kalau seseorang naik gaji rasa senangnya hanya bertahan beberapa bulan, karena begitu gaji naik maka keinginannya melambung. Melambungnya keinginan hanya menjauhkan diri dari kebahagiaan.

**

Dengan merasa cukup dan puas atas hasil yang diusahakan dengan jujur dan tulus, maka hidup akan lebih ringan.

Sedikit keinginan, sedikit pula "keinginan yang tidak tercapai", sedikit pula kekecewaan, sehingga beban hidup akan berkurang, penderitaan berkurang.

Semua penderitaan karena adanya keinginan, karena keinginan yang berdasarkan pemikiran bahwa "ini milikku, ini aku, ini diriku". Semua keinginan dengan pemikiran demikian, tidak akan pernah terpuaskan, yang berujung pada penderitaan.

Sebaliknya keinginan dengan pemahaman bahwa "tidak ada yang dapat dikatakan milikku, diriku, aku", maka keinginan demikian tidak akan berujung pada penderitaan.

Ketika penderitaan berkurang, maka kebahagiaan akan hadir dengan sendirinya.

**

Jakarta 01 April 2022
Penulis: Jayanto Chua untuk Grup Penulis Mettasik

dokpri, mettasik, jayanto chua
dokpri, mettasik, jayanto chua

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun