Mohon tunggu...
Kompasianer METTASIK
Kompasianer METTASIK Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis itu Asyik, Berbagi Kebahagiaan dengan Cara Unik

Metta, Karuna, Mudita, Upekkha

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Biksu Kepala Vihara dan Empat Tamunya

24 Februari 2022   06:44 Diperbarui: 24 Februari 2022   06:51 803
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Biksu Kepala Vihara dan Empat Tamunya (diolah pribadi, gambar: tankap layar ecommerce)

Alkisah seorang biksu tua, kepala vihara di sebuah lereng gunung. Pada suatu hari yang cerah, sang biksu kedatangan empat orang tamu.

Keempat tamu tersebut tidak saling mengenal, tetapi mereka memiliki tujuan yang sama. Belajar ilmu dari sang kepala vihara yang konon katanya "sakti."

Meskipun sang biksu tahu jika kesaktiannya hanyalah rumor belaka, ia tidak langsung menampik.

"Kesaktian seperti apakah yang Anda kalian inginkan?" sang biksu bertanya kepada para tamunya.

Tamu pertama adalah seorang jenderal perang. Ia ingin memiliki kekuatan yang tak terkalahkan. "Saya ingin menguasai ilmu yang bisa menumpas musuh-musuh saya, Oh Bhante..."

Tamu kedua adalah seorang sarjana terbaik di negeri itu. Ia sangat pintar dan berkeinginan bekerja di kerajaan. "Saya ingin mendapat kepintaran, sehingga 108 kitab sastra klasik bisa saya hafal di luar kepala. Lengkap dengan titik komanya, Oh Bhante..."

Berikutnya adalah seorang hartawan. Ia adalah tuan tanah kaya raya. "Saya ingin mendapat keberuntungan, Oh Bhante... Agar hartaku tidak berkurang sepeser pun."

Tamu keempat adalah seorang yang kebetulan melintas di saat ketiga tamu lainnya sedang berada di depan vihara. Ia hanya tertarik melihat keramaian dan tidak tau mau berbuat apa.

"Saya tidak tahu apa yang harus saya perbuat Bhante, saya hanya menyadari kehadiran ketiga beliau ini. Jika diizinkan, ajarilah saya sesuatu, Oh Bhante..."

Sang biksu tua lantas berpikir sejenak lalu memberikan petunjuk.

"Baik, kalian berempat hanya perlu bermeditasi. Duduk tenang dan memperhatikan objek aliran nafas keluar masuk."

"Apapun yang muncul dari dalam atau dari luar, cukup disadari saja. Tetap kembali kepada nafasmu. Semoga kalian akan menemukan kesadaran di sana."

"Baik, Bhante." Keempat berujar.

Sang Biksu pun meminta asistennya untuk membawa keempat tamunya ke dalam sebuah bangsal. Letaknya di samping gedung utama vihara.

Hari pertama dilalui dengan tenang. Keempat meditator tersebut mampu melewatinya dengan baik. Hanya berhenti pada saat makan dan tidur saja.

Hari kedua bertepatan dengan acara besar vihara. Banyak tamu datang berkunjung, dan menjalankan ritual yang sangat bising.

Vihara yang biasanya sepi tersebut berubah menjadi pasar. Para tamu yang datang berasal dari berbagai kalangan. Mulai dari kaum bangsawan hingga para jelata.

Baca juga; Menaklukkan Ketakutan di Vihara Hutan Thailand

Bangsal tempat bermeditasi memang terkunci. Tidak ada seorang pun yang bisa masuk ke sana. Namun, di depannya terdapat taman tempat para tamu biasanya beristirahat.

Banyak tamu yang duduk bercengkrama dan membicarakan banyak hal di sana. Dari dalam bangsal, keempat meditator tersebut dapat dengan jelas mendengarkan pembicaraan-pembicaraan yang terjadi.

Hari ketiga adalah waktunya rehat, dan sang biksu berkenan menjalankan sesi tanya jawab. Berdiskusi tentang apa yang telah dicapai oleh keempat tamunya tersebut.

"Bagaimana hasil meditasi Anda? Apakah ada kesadaran yang kalian rasakan?" sang biksu bertanya.

"Oh Bhante. Saya mendengarkan percakapan dua orang. Mereka melakukan persekongkolan untuk menjatuhkan raja."

"Saya sungguh gembira bermeditasi di sini, karena saya dapat menangkap mereka saat keluar dari sini." Si tamu pertama memberikan tanggapan.

Tamu kedua memberikan tanggapan berbeda. "Oh Bhante. Kedua orang tersebut ternyata juga adalah cendekiawan terkemuka. Mereka membocorkan rahasia tentang cara mudah untuk menghafal ke-108 kitab sastra klasik."

"Saya sungguh gembira bermeditasi di sini. Karena saya akhirnya mengetahui trik rahasia tersebut." Tamu kedua tidak kalah gembiranya.

Tamu ketiga tidak kalah senangnya. "Oh Bhante. Kedua orang tesebut ternyata sangat kaya. Mereka saling berdiskusi tentang faedah yang dapat melipat gandakan uang."

"Saya sungguh gembira bermeditasi di sini. Karena dengan demikian, hartaku tidak akan habis tujuh turunan."

Tibalah giliran tamu keempat. Ketika ia ditanya, ia bingung. "Oh Bhante. Saya tidak tahu harus melakukan apa-apa. Saya bukanlah orang pintar seperti beliau bertiga."

"Saya hanya berusaha menjalankan instruksi Bhante. Apa pun suara yang saya dengarkan, itu hanyalah suara. Ketika musik sedang dimainkan, itu hanyalah musik bagi saya. Saya hanya memperhatikan kesadaran, sebagaimana yang Bhante sampaikan."

"Maafkan saya Bhante, saya bodoh dan telah gagal mendapat manfaat dari meditasi."

Baca juga; Seruput Kopinya, Tangkap Monyetnya, Praktik Filosofinya

Sang kepala vihara duduk sejenak dan menghela nafas. "Sesungguhnya yang mendapatkan kesaktian dari kalian bertiga adalah tamu keempat."

"Bagaimana mungkin, Bhante?" Keempat tamunya bertanya secara serempak.

Sang Jenderal merasa senang, karena ia berhasil menemukan gembong pemberontak. Baginya, itu jasa besar untuk kerajaan. Tapi, di dalam batin itu adalah kebencian.

Batinnya hanya ingin memusnahkan objek yang ia pikirkan. Padahal kebencian yang muncul hanya akan melahirkan kebencian-kebencian berikutnya. Tiada berkesudahan.

Itu adalah "dosa" (baca: kebencian). Faktor batin yang menolak objek.

Sang sarjana bersuka cita. Baginya 108 karya sastra klasik adalah segalanya. Dengan menguasainya, maka ia akan menjadi orang pintar. Berguna bagi kerajaan.

Batinnya hanya menyembah kepada satu objek. Padahal kebijaksanaan tidak bersumber mutlak. Ia bisa berasal darimana saja. Batin sang sarjana telah buta, ia tidak bisa lagi membedakan mana yang baik dan yang buruk.

Itu adalah "moha" (baca: kebodohan batin / kegelapan). Faktor batin yang mengaburkan objek.

Sang hartawan bergembira ria. Ia telah menemukan cara membuat kekayaannya muncul berkali-kali lipat. Ia akan menjadi orang kaya, dihormati dan terpandang. 

Batinnya tidak pernah puas. Ia selalu menginginkan lebih. Lebih banyak dari yang ia butuhkan. Harta juga tidak menjadi jaminan akan tersimpan selama tujuh turunan.

Itu adalah "lobha" (baca: keserakahan). Faktor batin yang selalu terikat terhadap objek dalam bentuk Hasrat keinginan rendah, atau kemelakatan.

Dosa Moha Lobha adalah Tiga Akar Kejahatan (Akusalamula). Ia adalah penyebab dari segala penderitaan.

Baca juga; Lobha, Moha, dan Dosa, Tiga Akar Kejahatan yang Dapat Ditumpas dengan Kekinian.

Tiga hal ini selalu ada pada setiap manusia. Saling terkait satu sama lain. Saling bersinggungan dengan kadar kualitas yang beragam.

Mengapa disebut dengan Tiga Akar Kejahatan?

Karena bentuknya yang halus, dan seringkali tidak disadari. Lambat-laun, akan terbentuk menjadi kebiasaan.

Jika terus berlanjut, maka timbullah penyakit batin. Rasa takut, khwatir, gelisah, yang membuat batin tidak pernah tenang.

Batin yang tidak tenang akan merusak diri, orang lain, dan juga lingkungan di manapun kita berada.

Bagaimana dengan tamu keempat? Dari mana kesaktiannya?

Batin yang benar adalah yang menyadari semua bentuk pikiran dan perasaan hanyalah fenomena. Bahwa tidak ada satupun kejadian yang merugikan atau menyenangkan.

Semua pengalaman yang kita alami adalah hasil dari perbuatan kita. Baik melalui pikiran, tindakan, dan juga ucapan.

Batin yang memperoleh "kesaktian" adalah mereka yang bisa mencapai keseimbangan batin (baca: upekkha).

Baca juga; Menyiasati Kebenaran dengan Kebenaran

Semua mahluk adalah pemiik perbuatannya sendiri (kammassaka), terwarisi oleh perbuatannya sendiri (kammadayada), lahir dari perbuatannya sendiri (kammayoni), berhubungan dengan perbuatannya sendiri (kammabandhu), dan tergantung pada perbuatannya sendiri (kammapatisarana).

Perbuatan apapun yang telah atau akan dilakukan, baik atau buruk, itulah yang akan mereka warisi.

Dengan menyadari ini, maka seyogyanya seseorang dapat selalu menyadari bahwa kebahagiaan dan penderitaan adalah sahabat dalam hidup ini. Mereka datang silih berganti. Tidak perlu dibenci, tidak perlu ditolak, dan jangan melekat.

Kekuatan batin yang sesungguhnya akan membebaskan kita dari perbuatan-perbuatan buruk yang dapat menjatuhkan diri ke dalam penderitaan yang tiada pernah berhenti.

Semoga Seluruh Mahluk Berbahagia.

**

Makassar, 24 Februari 2022

Penulis: Rudy Gunawan untuk Grup Penulis Mettasik

dokumen pribadi
dokumen pribadi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun