Quality life kami jalani bersama, sebagai seorang mantan penderita kanker yang terlahir kembali. Tidak lagi mengkhwatirkan masa depan, selama kami masih bernafas, kehidupan ini indah untuk berbagi.
Suami saya terlihat bahagia menjalani kehidupan sehari-harinya. Tanpa terasa, dua tahun sudah jauh terlewati. Vonis dokter masih terngiang, tapi bukan lagi sesuatu yang mengerikan.
Tidak ada yang percaya, penderita kanker stadium empat bisa kembali sehat. Tidak terbaring lemah di atas dipan, merintih sakit, menunggu ajal.
Kami berdua akhirnya bertekad, bahwa setiap momen penting adanya, tapi yang terpenting adalah saat ini. Bukan masa lalu, ataupun masa depan.
Melakukan banyak kebaikan, membantu banyak orang, membagi kebaikan demi kebaikan.
Setelah hampir lima tahun kami menjalani hidup baru bersama, pada Januari 2019, kembali kami mendengar vonis terbaru. Entah mengapa kanker yang sudah raib kini muncul kembali.
Tempatnya di kepala, padahal gaya hidup sehat sudah dilakoni, pemeriksaan rutin dijalani.
Kami kembali kaget mendengarkannya. Tapi, suami saya ternyata sangat tenang menghadapinya. Ia tahu jika kanker belum tentu tidur selamanya. Lagipula sudah pernah muncul di paru-paru, salah satu organ terpenting tubuh. Stadium empat pula.
Si cabe rawit tidak mau menyerah. Ia nakal dan pandai memilih tempat. Kali ini di area kritikal, di dalam cairan kepala yang melindungi otak dan seluruh tulang belakang. Tidak akan lenyap hanya dengan radiasi biasa. Istilah kedokterannya; Leptomeningeal.
Ia tidak mudah terdeteksi, suami tidak memiliki gejala, karena memang staminanya sangat bagus. Itu pun baru diketahui setelah dua kali pengambilan cairan sum-sum tulang belakang.
Kanker ini tergolong sangat ganas. "Hanya mampu bertahan 2 hingga 4 bulan bu," dokter berkata lirih ketika suami terbaring di ruang pasien.