Rasanya tidak masuk akal. Selama ini suamiku tidak pernah merasakan gejala apa-apa. Tidak pernah batuk, tidak pernah sesak nafas, dan juga masih rutin berolah raga.
Kami kaget dan masih belum percaya. Yang pertama terlintas adalah; "salah diagnosis."
Tapi rasa tidak percaya kami justru menjadi bumerang. Diterpa ketidakpastian, sedih, bingung, bercampur menjadi amarah, "pasti salah, gak mungkin, kok bisa?"
Suami terlihat lebih sering melamun. Ia tidak bisa menerima kenyataan. Kesedihan berbenturan dengan perasaan putus asa, perasaannya hancur berkeping-keping.Â
"Namanya juga kanker, diobati tetap juga mati. Malah bikin lebih menderita lagi. Dioperasi, dikemo, diradiasi... [...]", ujarnya.
Biasanya jika suami sudah mengeluh, saya memilih diam. Sudah puluhan tahun kami bersama, saya tahu persis bagaimana menangani keluhannya. Ia hanya ingin sendiri. Biasanya baik sendiri.
Tapi, kali ini berbeda. Entah darimana saya mendapat kekuatan untuk melawannya. "Tetapi kita perlu tahu, kankernya dimana, bagaimana langkah pengobatannya. Apapun hasilnya, kita putuskan bersama saja nanti."
Suamiku menurut saja. Mungkin cukup masuk akal baginya. Tapi, saya tahu jika ia berharap dokter salah diagnosis. Itu harapannya.
Namun, Sekali lagi bukan itu yang terjadi. Moralnya yang sudah setipis cangkang telur langsung hancur berkeping-keping dihantam palu godam vonis kedua.
Ternyata pusat kankernya ada di paru-paru, dan sangat kecil. Tetapi si kecil ini benar-benar cabe rawit, dia sudah menjalar ke lima titik tulang belakang, getah bening, dan mediastinum.
"Berapa lama lagi sisa hidup saya, dok?" Saya dan putra kami yang menemani, kaget mendengarkan pertanyaan suamiku.