Mohon tunggu...
Kompasianer METTASIK
Kompasianer METTASIK Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis itu Asyik, Berbagi Kebahagiaan dengan Cara Unik

Metta, Karuna, Mudita, Upekkha

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Menjawab Pertanyaan Sahabat, "Mengapa Negara Buddhis Tidak Kaya?"

5 Desember 2021   05:23 Diperbarui: 5 Desember 2021   05:27 345
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menjawab Pertanyaan Sahabat, "Mengapa Negara Buddhis Tidak Kaya?" (Ilustrasi Pribadi)

Disklaimer: Artikel ini tidak dimaksudkan untuk mendiskreditkan agama dan keyakinan tertentu.

Catatan: Tulisan ini berdasarkan percakapan nyata antara penulis dan sahabatnya. Nama disamarkan agar tidak mengundang kesalahan persepsi.

**

Oscar, seorang sahabat dari Malaysia pernah bertanya kepadaku. "Rud, mengapa negara Buddhis tidak ada yang kaya-raya?"

Tentu pertanyaan sahabatku ini tidak bisa dianggap sebagai penghinaan. Sebabnya ia yang sedang bengong ini, hanya berusaha mencari bahan pembicaraan saja.

Oscar pun memberikan argumentasi "berlogikanya." Dirinya membandingkan dengan negara "kaya." Semacam Amerika yang dominan dengan keyakinan tertentu. Begitu pula para saudagar minyak dari Arab. Belum lagi China yang konon tidak beragama.

Saya mencoba mereka-reka negara dengan mayoritas Buddhis. Ada Myanmar, Laos, Kamboja, dan juga Thailand. Sisanya tersebar sebagaimana di Indonesia. Bukan agama mayoritas.

Thailand mungkin masuk hitungan. Tapi, mereka tidak juga kaya-kaya amat. Lagipula, menurut sahabatku, karena ada rajanya (alasan.com). Ya, dirinya hanya ingin jawaban tentunya. Bukan argumen.

Saya pun tidak ingin bertengkar. Kenyataannya memang demikian. Thailand tidak "sehebat" Amerika dan sekutunya.

Namun, orang bodoh pun tahu jika agama tidak berhubungan dengan kekayaan. Mungkin lebih tepatnya, sebuah kebetulan. Meskipun hal ini sering dipolitisir oleh sebagian onum pemuka yang ingin mengajak masuk surga.

"Kaya raya di bumi, mati masuk surga."

Sebuah jargon yang akan memaku siapa pun untuk segera bertobat. Saya pun segera insaf. Bersujud di depan patung Buddha, membakar dupa tiga batang. Meminta jawaban terhadap pertanyaan sahabatku ini.

Aih, tolol! Patung Buddha tidak bisa berbicara. Ia terbuat dari tanah liat. Untungnya ada warisan ajaran yang bisa diulik. Terlihat lebih jelas dan terperinci. Bersumber dari Sutta dan tersimpan di dunia maya.

**

Pada dasarnya memang manusia itu tidak pernah sama. Bahkan si kembar siam pun juga memiliki bentuk fisik dan perasaan yang berbeda. Mereka hanya kebetulan akan selalu berada di sana bersama.

Mengapa manusia berbeda. Saya pernah membahas ini dalam sebuah artikel. Sila rujuk ke sana.

Baca juga: Mengapa Manusia Berbeda

Ada sebuah kutipan Sutta (Abhihapaccavekkhaa Pha);

Sabbe satt Kammassak, Kammadyd, Kammayon,

Kammabandh, Kammapatisaran, Ya Kamma karissanti

Kalyna v ppaka v, Tassa dyd bhavissanti. (Abhihapaccavekkhaa Pha)

Singkatnya begini:

"Semua makhluk adalah pemilik perbuatan mereka sendiri, terwarisi oleh perbuatan mereka sendiri. Lahir dari perbuatan mereka sendiri, berkerabat dengan perbuatan mereka sendiri, tergantung pada perbuatan mereka sendiri. Terwarisi oleh perbuatan mereka sendiri."

Pertanyaan ini pernah diajukan oleh seorang pemuda bernama Subha Putra kepada Buddha Gautama. Ia adalah putra dari Todeyya, seorang kaya tapi kikir.

Total ada 14 pertanyaan yang diajukan tentang dualitas masalah sosial, seperti sakit-sakitan dan sehat, buruk rupa dan rupawan, kasta tinggi dan rendah, dan lain sebagainya. Di dalamnya termasuk pula perbedan kaya dan miskin.

Untuk lebih jelasnya, sila klik di sini

Namun, pada artikel ini saya akan berfokus pada masalah kaya-miskin, sesuai dengan pertanyaan kawan saya.

Sang Buddha menjawab pertanyaan Subha Putra;

Ada orang yang kikir dan sangat melekat kepada kekayaannya, mereka tidak pernah berdana. Ketika meninggal, mereka terlahir kembali di alam sengsara. Akan tetapi, jika mereka terlahir kembali sebagai manusia, mereka tidak memiliki kekayaan.

Sebaliknya, orang yang murah hati dan senang memberi, maka mereka akan terlahir di alam dewa. Namun, kalau pun terlahir sebagai manusia, maka kekayaan akan menyertai mereka.

Ok, saya paham bahwa sahabat saya ini tidak terlalu mengenal konsep reinkarnasi. Saya pun mencoba menyederhanakannya.

Oscar yakin jika apa yang telah ia capai atas usaha dan kerja kerasnya. Ia pun bertekad untuk menjadi lebih kaya dengan cara yang lebih beriman.

Menurutnya, ada sesuatu di dunia ini yang tidak bisa dikontrol oleh manusia. Di sanalah pentingnya agama bagi dirinya.

"Berdoa saja tidak cukup, harus dibarengi dengan aksi nyata, seperti berbagi," pungkasnya.

(Benar, cocok. Saya sependapat).

"Selanjutnya, tentu bersyukur. Rezeki tidak kemana-mana. Jika ia milikmu, maka itu hakmu. Bersyukur akan mendorong dirimu untuk terus melakukan hal yang benar." Oscar berujar.

(Benar, cocok. Saya sependapat).

"Kesimpulannya, saya sangat sependapat dengan seluruh pernyataanmu, Oscar. Apa yang kamu lakukan sekarang, itu akan menentukan masa depanmu. Apa yang kamu lakukan dulu, itu yang kamu petik sekarang," ungkapku.

"Betul, sebagaimana hukum tabur tuai. Semuanya berproses. Hasll itu setara dengan usaha. No doubt about it." Jawab Oscar puas.

Oscar adalah seorang intelektual. Ia paham dengan hukum tabur tuai. Ada juga beberapa nama lainnya; hukum sebab akibat, hukum aksi reaksi, hukum alam, dan lain sebagainya.

Dalam Buddhis, hukum seperti ini disebut sebagai Hukum Karma. Tidak perlu diyakini, ia akan berlaku bagi siapa saja. Apapun agamanya, rasnya, bahkan tinggi jabatannya.

Hanya saja yang membedakan, Buddhis meyakini jika ada kehidupan sebelum kehidupan. Begitu pula dengan kehidupan setelah kehidupan.

Jika dikembangkan lagi, ini (mungkin) bisa jadi jawaban terhadap mengapa ada yang terlahir miskin dan kaya. Potensi tersebut merupakan proses berkesinambungan dari kelahiran sebelum dan sesudahnya.

Kalau pun konsep ini masih belum bisa diterima Oscar, anggap saja bahwa rahasia Tuhan memang terlalu besar untuk dibongkar. Pada akhirnya menjadi orang yang beriman bisa saja sudah cukup baginya.

Saya tidak perlu juga memaksakan konsep reinkarnasi padanya. Intinya Oscar tahu seseorang bisa menjadi kaya jika dibarengi dengan usaha dan berbuat kebaikan.

Sebagai Buddhis, saya pun tidak memahami bagaimana kehidupanku sebelum menjadi seperti yang sekarang. Dan, sejujurnya saya juga tidak mau tahu tentang reinkarnasiku sebelumnya. Karena itu sudah tidak penting lagi.

Karena Karma adalah sebuah proses yang ada tanpa perlu diyakini.

Saat saya terlahirkan sebagai manusia hingga saat ini, saya hanya perlu berpikiran yang sama dengan Oscar. Mementingkan apa yang dilakukan sekarang untuk masa depan yang lebih baik.

Sampai di sini, cukup untuk menjelaskan polaritas kaya-miskin. Namun, bagaimana dengan pertanyaan Oscar tentang mengapa tidak ada negara Buddhis yang kaya-raya?

Ah, sudahlah. Saya berhenti saja, karena saya melihatnya sudah cukup puas dengan segelas bir di tangan.

**

Makassar, 05 Desember 2021

Penulis: Rudy Gunawan untuk Grup Penulis Mettasik

Penulis: Rudy Gunawan untuk Grup Penulis Mettasik (dokumen pribadi)
Penulis: Rudy Gunawan untuk Grup Penulis Mettasik (dokumen pribadi)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun