Mohon tunggu...
Kompasianer METTASIK
Kompasianer METTASIK Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis itu Asyik, Berbagi Kebahagiaan dengan Cara Unik

Metta, Karuna, Mudita, Upekkha

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Karma Nanung, ART-ku yang Super Duper

27 November 2021   05:17 Diperbarui: 27 November 2021   05:20 2419
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karma Nanung, ART-ku yang Super Duper (ilustrasi pribadi)

Di Zaman yang sangat kacau seperti saat ini, mungkin akan sulit menemukan orang seperti Nanung. Katakanlah demikian nama ART-ku yang super-duper ini.

Seorang ibu berbadan cungkring, memiliki tiga anak yang masih kecil-kecil, dengan suami pekerja lepas, tanpa penghasilan yang pasti.

Tinggal di sebuah rumah yang amat sangat kecil sekali dengan alas tanpa lantai di perkampungan dekat rumahku. Walau dengan kondisi rumah yang seperti itu, Nanung masih masih bersedia menampung seorang pemulung dan anaknya yang tidak memiliki tempat tinggal.

Pemulung itu tidak mampu membayar kontrakannya sehingga dia diusir. Akhirnya, dia dan anaknya tidur di emperan rumah Nanung. Karena stres, sang pemulung sering kali memukuli anaknya. Nanung-lah yang menolong dan membantu memberi makan.

Kerja giat tanpa lelah, tanpa keluhan dan menjalani hidup apa adanya, mengalir begitu saja mengikuti arus.

Pagi dia berjualan kopi keliling, dengan box besar di boncengan motor bututnya. Siang bantu bersih-bersih di rumahku. Sore keliling lagi untuk jualan kopi.

Begitu kesehariannya, berjuang mencari nafkah untuk makan dan sekolah tiga orang anaknya.

Nanung pun sering tidak tegaan, kalau ada pekerja-pekerja kecil yang lapar dan tidak ada uang. Dia seringkali membiarkan mereka berutang.

Suatu saat saya lihat ban motornya sudah gundul nyaris botak. Khawatir celaka dengan beban box besar dagangannya, saya meminta dia ganti ban motornya.

Saya beri uang, tapi tahu apa yang dilakukannya ? Nanung hanya mengganti satu ban saja, dan itu pun hanya ban bekas. Sisa uang dia kembalikan lagi pada saya.

"Sayang bu, masih bagus, masih bisa dipake. Gak apa-apa aman kok," ujarnya.

Hidupnya lurus, tidak pernah memanfaatkan situasi, penuh rasa syukur dan selalu merasa cukup. Nanung benar-benar manusia langka. Agak sulit menemukan manusia jenis ini.

Pernah suatu hari, ada tetangganya bingung. Tidak punya uang beli beras untuk makan hari itu. Nanung ada uang, tapi hanya sedikit. Cukup untuk beli beras esok hari. Tapi, tanpa ragu, dia memberikan uangnya kepada sang tetangga. Tanpa berpikir panjang, bagaimanakah hari esok?

Nanung melahirkan anak keduanya sendirian di rumahnya. Setelah bayinya lahir, suami dan paraji (dukun beranak) barulah tiba. Luar biasa perjuanganmu, Nung!

Ia tidak pernah mengeluh, apalagi menyalahkan suaminya yang datang terlambat.

Hidupnya penuh rasa syukur...

Pernah juga dia dan anak bungsunya ditabrak mobil saat naik motor. Tahukah kamu apa reaksinya?

"Aduh bu, orang yang nabrak saya baik banget, anak saya diajak jajan ke mini market, saya juga diberi uang. Padahal motor saya cuma terguling dan luka-luka lecet saja.", ujarnya dengan polos.

Nanung tak pernah segan bercerita dengan penuh rasa suka cita.

"Suatu waktu, hujan sedang deras, bu. Motor dan boks daganganku mogok. Lalu, ada seorang bapak keren pake dasi turun dari mobilnya. Ia bantuin aku. Tangannya sampe pada hitam belepotan gitu, bu!" Nanung berkisah dengan penuh tawa.

Saya sampai tidak habis pikir. Bagaimana seorang Nanung ini bisa mengagumi hidup dengan begitu indahnya.

Setiap perjumpaan dengan siapa saja adalah hal yang luar biasa baginya. Setiap momen yang ia lalui, serasa surga bagi dirinya.

Sejujurnya, saya merasa trenyuh dan sedikit "iri" dengan si Nanung ini. Hatinya begitu bahagia, meskipun hidupnya masih pas-pasan. Kekurangan bukan standar, bagi hatinya yang tulus.

Nanung ini orangnya spontan. Dia tidak pernah malu untuk bertanya. Apa pun akan ia tanyakan jika ia tidak paham.

Hingga suatu saat, saat kami sedang membersihkan mobil. Nanung tetiba tersadar. Ia seperti terhenyak dan setengah berteriak.

"Ibu..! ibu percaya hukum Karma gak?" Tanyanya.

Saya kaget. Sedikit akibat teriakannya, lebih banyak karena pertanyaanya.

Lalu, saya balas bertanya, "Kok kamu tanya itu sih, Nung?"

"Eh, enggak bu. Maaf tadi Nanung melamun," jawabnya.

"Anu, bu," lanjutnya. "Tetangga di belakang rumah barusan mati ketabrak mobil. Kata orang-orang sih itu akibat hukum karma. Orangnya jahat sih, sering nipu gitu."

"Nanung...Nanung..., Apa yang kamu alami dan kamu ceritakan itu adalah bagian dari hukum Karma yang sedang berlangsung." Saya bergumam dalam hati.

Saya memutuskan untuk menjawab pertanyaan Nanung singkat, "tenang Nanung, kamu orang baik, pasti dapat yang terbaik."

Saya melihat senyum simpul di wajahnya sesaat sebelum saya meninggalkannya di depan halaman rumahku. Nanung lanjut menyiram tanaman.

"Kamu tidak usah khwatir, Nung. Hukum karma itu sudah lengket padamu." Saya Kembali bergumam dalam hati dan memang demikian nyatanya.

Hukum karma ini konsepnya sederhana. Tiada beda dengan konsep sebab akibat. Sayangnya, manusia sering membuatnya menjadi jelimet.

Karma seringkali dianggap sebagai malaikat yang datang membawa rezeki. Atau sebaliknya, sebagai setan dan kutukan.

Padahal, ia murni adalah apa yang kita lakukan dan apa yang kita rasakan. Tidak pakai lama. Instan pula.

Contoh, pada saat kita menolong orang lain yang sedang kesusahan, maka seringkali hati kita akan terpuaskan dan merasa bahagia. Itulah contoh perbuatan dan buah karma baik.

Contoh lainnya, pada saat kita berbohong, perasaan senantiasa merasa was-was. Tidur tidak tenang, takut ketahuan. Itulah contoh perbuatan dan buah karma buruk.

Karma tidak perlu dipercaya atau tidak, dia akan memainkan perannya sendiri.

Jadi, jika mau hidup bahagia, tidak usahlah repot. Contohilah Nanung. Baginya, hidup itu indah dengan segala kesederhanaannya.

Nanung mungkin polos, namun ia percaya jika kebaikan bukan untuk mengejar pahala. Tapi, sebagai sebuah kewajiban dalam hidup ini. Akhirnya kedamaian selalu berdamai dengan hatinya.

Nanung mungkin memiliki keterbatasan, namun ia tidak pernah merasa kekurangan. Akibatnya, dia selalu berkecukupan, meskipun kadang hanya pada batasan pikiran saja.

Nanung mungkin lugu, tapi hatinya tidak udik. Dia adalah orang yang bisa memaknai rasa syukur dengan begitu dalamnya.

Sebagaimana kata orang bijak, berbuatlah baik, kalau pun kebahagiaan belum datang, paling tidak mara bahaya sudah pergi menjauh.

Jika kita mau sedikit saja meluangkan waktu untuk merenung. Banyak sekali hal-hal yang kita bisa tiru, kita pelajari dari orang-orang kecil seperti Nanung.

Bagi saya pribadi, bertemu dengan Nanung adalah sebuah Berkah Utama. Mungkin saja Nanung adalah Bodhisattva yang sedang menyamar sebagai manusia. Mengajarkan saya bagaimana hidup yang sebenarnya.

Be Happy Nanung...

**

Jakarta, 27 November 2021

Penulis: dr. Metta Yani, Sp.S. untuk Grup Penulis Mettasik

Penulis: dr. Metta Yani, Sp.S. untuk Grup Penulis Mettasik
Penulis: dr. Metta Yani, Sp.S. untuk Grup Penulis Mettasik

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun