Setelah Timnas Garuda tampil gagah berani dan berpose cantik di catwalk Kualifikasi Piala Dunia 2026 Zona Asia, sepak bola Indonesia harus kembali pada kenyataan. Di depan kaca kamar, semua riasan cantik dihapus oleh kapas pembersih. Kedua mata diri memandang kembali wajah asli sepak bola Indonesia, ternyata masih sejelek itu.
Ketua Umum PSSI, Erick Thohir mendapat kehormatan untuk hadir di PON XXI 2024 yang diselenggarakan di Aceh dan Sumatra Utara. Secara khusus ia hadir di laga Final Cabor Sepak Bola Wanita, di Stadion Mini Pancing, Deli Serdang, Sumut, Sabtu (14/9), dimana terjadi pertandingan apik yang dimenangi Kontingen Jawa Barat 3-0 atas Kontingen DKI Jakarta.
Fokus pembenahan sepak bola putri menjadi alasan kehadirannya di laga puncak ini, sebab beberapa pemain Timnas Putri ikut terlibat di laga final. Rosdillah dan Helsyah Maeisyaroh yang mencetak gol-gol kemenanaan kontingen Jawa Barat, merupakan pemain Timnas Putri Senior.
Sang Ketum merasa gelaran PON 2024 ini akan memberikan dampak positif bagi sepak bola Indoneia secara lokal. Ini disampaikannya pada keterangan pers paska laga Final tersebut.
"Ada dua hal positif. Pertama, ini dimainkan di stadion tingkat Kabupaten dengan kapasitas lima atau enam ribu sehingga cukup dan tidak terlalu mewah," ujarnya kepada media via detiksport.com.
"Kedua, pertandingan antara putri Jabar dan DKI juga menarik dan berjalan bagus dengan aliran bola yang lancar sehingga enak ditonton. Ini bagus untuk pemerataan karena terlihat talenta para pemainnya sama."
Tetapi, kehadiran Ketum PSSI ini sepertinya justru berada di tempat yang salah!
Di Stadion Dimurthala, Banda Aceh, di waktu yang sama, digelar partai perempatfinal Cabor Sepak Bola Putra antara kontingen Aceh melawan Sulawesi Tengah. Buruknya wajah asli sepak bola Indonesia tersaji di laga ini!
Kronologi Kekisruhan Partai Kontingen Aceh vs Sulawesi Selatan
Pada partai yang dipimpin oleh wasit Eko Agus Sugih Harto dengan dipenuhi kontroversi ini, akhirnya kontingen Aceh berhak lolos ke semifinal, usai kontingen Sulawesi Tengah melakukan walk-out sebelum melanjutkan babak perpanjangan waktu. Di dalam dua babak awal, kedua tim berbagi hasil imbang 1-1.
Pertandingan berlangsung dalam tempo tinggi, dan Sulawesi Selatan yang dilatih oleh eks pemain Timnas Zulkifli Syukur berhasil unggul lebih dulu lewat gol Wahyu Alman Poru pada menit ke-25'.
Friksi di antara kedua tim mulai terjadi di menit 39' saat coach Zulkifli Syukur bersitegang dengan pemain Aceh yang ada di bench, dan disambut lemparan botol dari arah tribun penonton. Ini membuat laga terhenti sampai sekitar 7' menit.
Laga pun dilanjutkan, dan kontroversi pertama dianggap dilakukan oleh wasit Eko Agus saat tidak memberikan penalti kepada Sulawesi Tengah di akhir babak pertama. Ketidakpuasan tampak muncul di momen ini dari kontingen SulTeng, meski mereka akhirnya legowo untuk rehat turun minum.
Di babak kedua, protes kembali dilakukan kontingen SulTeng usai sang pencetak gol Wahyu Alman Poru diberi kartu merah oleh wasit Eko Agus menit 74'. Wahyu melakukan pelanggaran yang berbuah kartu kuning, dan beberapa detik berselang ia diberikan kartu kuning kedua karena dianggap protes berlebihan.
Bertanding dengan kepala panas, akhirnya ada kartu merah lagi diberikan wasit kepada pemain SulTeng dan menyebabkan mereka hanya bermain dengan sembilan pemain.
Kekisruhan mencapai puncaknya, pada menit 90+6' injury time! Wasit Eko Agus menunjuk titik putih kepada Kontingan Aceh, setelah memvonis pelanggaran dilakukan bek SulTeng di kotak terlarang. Dalam video yang beredar, secara obyektif memang momen ini harusnya bukan berupa pelanggaran.
Dalam larinya menunjuk titik putih, wasit Eko Agus langsung mendapatkan bogem mentah dari pemain SulTeng, Muhammad Rizki Saputra, membuatnya seketika terkapar. Bantuan medis berupa ambulance lantas masuk ke stadion untuk membawa sang pengadil ke Rumah Sakit terdekat.
Laga pun dilanjutkan oleh wasit pengganti, yang akhirnya memberikan kartu merah kepada Muhammad Rizki usai memukul wasit Eko Agus. Namun, penalti ini ternyata ini gagal dimanfaatkan menjadi gol oleh eksekutor kontingen Aceh!
Penalti kembali diberikan oleh wasit pengganti kepada kontingen Aceh, usai terjadi handsball di kotak penalti Sulawesi Tengah. Kali ini pemain bernama Akmal Juanda berhasil menjalankan tugasnya, dan laga sementara berakhir 1-1 untuk dilanjutkan ke perpanjangan waktu.
Pada momen inilah, kontingen Sulawesi Tengah memutuskan melakukan walk-out memprotes keputusan para pengadil. Sesuai aturan, maka kontingan Aceh yang berhak lolos ke partai semifinal.
Reaksi Keras PSSI dan Erick Thohir
Mendapatkan laporan ini setelah puja-puji di partai Final Cabor Sepak Bola Putri, tentu PSSI dan sang Ketum membutuhkan waktu untuk melakukan pendalaman.
Hingga akhirnya, Minggu (15/9/2024) pagi, PSSI melakukan rilis resminya.
"Peristiwa bermula dari kepemimpinan wasit Eko Agus Sugih Harto yang kontroversial. Aksi kontroversial wasit direspons pemain Sulawesi Tengah dengan aksi tak terpuji meninju wasit hingga terkapar dan dilarikan dengan ambulans,"Â tulis PSSI dikutip dari cnnindonesia.
Erick Thohir juga akhirnya mengeluarkan suara, dengan kata "memalukan" menggarisbawahi semua pernyataannya.
"Memalukan. Sangat memalukan. PSSI akan mengusut tuntas peristiwa ini dan akan menjatuhkan sanksi terberat!" ucap Erick Minggu (15/9).
"Pastinya akan dilakukan investigasi mendalam. Indikasi pertandingan yang tidak fair menjadi materi serius yang ditelaah. Pun halnya reaksi pemain yang dipastikan berbuah sanksi yang sangat berat. Ini adalah tindakan kriminal yang punya konsekuensi hukum. Skandal soal keputusan wasit jadi hal lain yang juga punya konsekuensi hukum jika memang ternyata terindikasi diatur oleh oknum tertentu,"Â lanjutnya.
Sudah menjadi jelas, bahwa hasil laga tidak akan berubah dengan kelolosan Aceh karena keputusan walk-out kontingen Sulawesi Tengah. Pun demikian, penyelidikan indikasi suap juga harus dihadapi seluruh pihak di laga ini, terutama Sang Pengadil Eko Agus Sugih Harto.
Dari sisi pemain yang melakukan pelanggaran berat berupa pemukulan, tentu memiliki konsekuensi logisnya sendiri, apapun alasannya.
Naturalisasi Masih Menjadi Sarana "Oplas" Terbaik
Berikutnya di pembahasan terakhir, merupakan opini pribadi dari penulis. Rentetan kisah sepak bola Indonesia di bulan September ini, seperti menyadarkan kembali esensi wajah asli sepak bola lokal kita.
Banyak pihak yang mengaku nasionalis, mengkritisi kebijakan naturalisasi sebagai bentuk jajahan terhadap sepak bola lokal. Namun di ajang internasional, ternyata Timnas Garuda mampu tampil apik di catwalk Piala Asia 2023 dan Kualifikasi Piala Dunia 2026 Zona Asia.
Nah, akhirnya banyak pihak harus sadar, upaya ini harus dibarengi dengan langkah derivatif yang menyeluruh ke akar rumput. Sekembalinya dari catwalk, paras sepak bola Indonesia nampak asli lagi usai dibersihkan dengan kapas, di depan cermin berupa gelaran PON 2024.
Mau menganggap pemain-pemain di laga ini bisa bersaing di level Internasional seperti skuad Timnas sekarang? Kalau di jawab "masih butuh proses", memang mau menunggu sampai kapan?
Dalam podcast dengan Helmi Yahya, ada pendapat obyektif dari wartawan senior M. Nigara. Beliau menjelaskan secara runtut, bahwa prestasi Timnas Indonesia di era Coach Shin Tae-yong ini memang yang terbaik selama karier jurnalistiknya.Â
Dengan menghormati para pejuang bangsa di era lampau, langkah naturalisasi yang sudah jamk dilakukan negara-negara sepakbola maju, akhirnya menjadi salah satu penentu kesuksesan Timnas Indonesia hingga periode ini.
Saya pribadi, menilai langkah naturalisasi masif di era kini merupakan sebuah "operasi plastik" yang sedang dilakukan oleh PSSI. Ingat, musuh utamanya itu di luar, bukan di dalam. Jadi kalau mau maju ke medan pertempuran, tentu harus bermodalkan "paras cantik" dan kegagahan, untuk bisa meraih kemenangan.
M. Nigara juga menyoroti, bahwa dengan adanya pemain diaspora, level kepercayaan diri pemain Timnas Indonesia jauh lebih meningkat dibandingkan masa lalu. Tidak ada kata minder menghadapi badan besar pemain luar negeri, ataupun ketika berdialog dengan pemain lawan.
Kalau oplas terus, pasti ada efek buruknya, dong? Iya. Pasti ada ketergantungan, itu yang dirasakan di dalam makna denotatif.
Maka dari itu, asimilasi strategi jangka pendek PSSI dengan naturalisasi, mau tidak mau juga harus dibantu percepatan fokus pembenahan menyeluruh di sektor sepak bola lokal. Para pendukung, pengkritik, ataupun tenaga luar yang mau "di-naturalisasi" untuk membangun kultur sepak bola lokal Indonesia yang lebih baik harus dikumpulkan.
Jelas tidak bisa hanya berpangku tangan, menunggu bibit-bibit yang ada sekarang ini berubah menjadi buah yang manis.Â
Satu kalimat penutup yang sering kita dengar dari mulut orang tua tentang rahasia memperoleh keturunan yang cantik, "ya, nikah aja dengan bule.."
Asal nanti paspornya Indonesia ya... Salam olahraga
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI