"Kalau adik?"
"Namaku Senja."
Usai mengantar Senja dan kakaknya pulang, aku langsung berkemudi dengan tetesan air mata membasahi pipi.
Senja dan Ilham hidup sendiri dengan ibunya yang hanya seorang buruh pabrik. Setiap hari mereka selalu berpegangan tangan untuk berangkat dan pulang sekolah. Senja bertugas menyeberangkan mereka karena kakaknya yang tidak bisa melihat. Tanpa pamrih, penuh kasih sayang.
Sementara aku yang sudah sedewasa ini, belum bisa memberikan kasih sayang serupa kepada adikku yang tertimpa musibah. Aku malah marah di saat ia mendapatkan prahara besar seminggu lalu. Ibuku sendiri yang harus menanggung semua masalah itu.Â
Tidak, aku salah. Bagaimanapun dia adalah adikku.
Sampai rumah, aku bergegas memarkir motorku. Aku berlari secepat kilat, mencari dimana adikku Naufal berada. Aku peluk dia erat-erat sambil menangis.
"Fal, maafin kakak. Aku setuju kamu menikah dengan Indah. Anak dalam rahim Indah juga merupakan keponakan Kakak nantinya. Aku merestui hubungan kalian. Kakak mau jadi wali nikahmu nanti."
Sebuah kalimat yang tak terbalas dengan kalimat lainnya dari adik dan ibuku. Hanya pelukan erat di antara kami bertiga menjadi penegas hubungan keluarga.Â
Tiada aib seperti yang kusangka kan, sama seperti Ilham yang tak bisa melihat. Senja telah memberiku pelajaran terbaik dalam hidup.
"Mbah, akhirnya aku telah melihat Senja."