Mohon tunggu...
Greg Satria
Greg Satria Mohon Tunggu... Wiraswasta - FOOTBALL ENTHUSIAST. Tulisan lain bisa dibaca di https://www.kliksaja.id/author/33343/Greg-Satria

Learn Anything, Expect Nothing

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Grassroot Sepakbola Indonesia, Harus Digarap Secara Keroyokan dan Kreatif

17 Juni 2024   10:37 Diperbarui: 17 Juni 2024   10:41 502
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dilematika naturalisasi pemain Timnas Indonesia masih terus menggema, meskipun prestasi Indonesia pada setahun terakhir mampu memecahkan beberapa rekor positif di kawasan Asia. Stigma mengenai "Timnas Belanda KW" tak bisa terhindarkan, karena nyatanya ada 9 pemain berdarah Belanda pada skuad terkini asuhan Coach Shin Tae-yong (STY).

Mereka adalah Jay Idzes, Thom Haye, Ragnar Oratmangoen, Justin Hubner, Nathan Tjoe-A-On, Ivar Jenner, Shayne Pattynama, Rafael Struick dan Calvin Verdonk. 

Pembahasan kondisi terkini Timnas Indonesia tidak bisa dikerucutkan pada masalah naturalisasi saja. Sebab, proses tersebut merupakan suplemen yang harus diminum sebagai akibat sepakbola Indonesia sudah dalam kondisi laten. 

Lalu bagaimana kedepannya? Apa mau kita minum suplemen terus? Sepakbola Indonesia harus sembuh dan sehat seutuhnya! Self-healing yang harus digarap dan wajib hukumnya, adalah grassroot atau akar rumput.

Pandangan bahwa PSSI terkesan kurang bertanggung jawab atas pembinaan pemain usia dini, menganaktirikan kompetisi domestik dibandingkan prestasi Timnas, tentu merupakan realitas suara sumbang terhadap pengelola sepakbola Indonesia saat ini.

Mari melihatnya fenomena ini bukan sebagai sebuah problem, tetapi merupakan suatu peluang. Penggarapan Grassroot Sepakbola Indonesia, dimana berpotensi menghasilkan jutaan bibit unggul pesepakbola hebat, bagaikan ladang anggur tua terbengkalai yang sangat luas.

Beberapa pihak swasta sudah mulai mengambil sedikit peran, dengan menjadi sponsor turnamen sepakbola junior maupun menyasar pula ke kompetisi sepakbola putri junior. Namun itu bahkan belum menyentuh 20% kebutuhan pengelolaan grassroot sepakbola Indonesia. Perlu diupayakan lagi pergerakan masif atau keroyokan, yang dipadukan dengan beberapa ide kreatif.

Kerumitan Menjemput Bakat Terbaik di Level Grassroot

Mari kita bicarakan sepakbola sebagai suatu payung dari dua cabang olahraga, yang sama-sama berakar dengan mengolah bola menggunakan kaki. Sepakbola lapangan dan Futsal. Penggabungan ini masih harus dilakukan, karena kenyataan yang ada di Indonesia, jumlah lapangan rumput untuk sepakbola yang layak pakai masih minim dibandingkan lapangan Futsal.

Sehingga bisa sedikit dikompromikan, bahwa calon bakat-bakat terbaik sepakbola Indonesia masih lebih banyak berasal dari lapangan Futsal. Bahkan di beberapa kota metropolis, lapangan Futsal sudah jamak dimunculkan di setiap kelurahan. Bisa dalam wujud pengelolaan swasta, maupun dari Pemerintah Kota atau Pemerintah Kabupaten setempat.

Kondisi kian sepinya sarana dan prasarana tersebut, tentu menjadi latar belakang realita klub sepakbola atau futsal masih belum bisa menjaring bakat-bakat secara luas. Cara praktis yang mereka lakukan adalah audisi maupun pemantauan langsung ke kompetisi kategori umur.

Berikut ini merupakan kondisi umum yang memungkinkan seorang pemain muda dapat dilirik oleh pencari bakat dalam dunia sepakbola.

1. Pemain harus merupakan bagian dari sebuah tim atau klub sepakbola. 

Jelas alasannya, karena sepakbola adalah olahraga tim. Jadi jarang sekali pemain atau calon pemain, bisa ter-ekspose sendiri tanpa menjadi elemen sebuah tim.

Ini cukup berbeda dibandingkan olehraga atletik perorangan yang bisa dilakukan tanpa menjadi anggota sebuah tim. Bahkan olahraga bola basket masih bisa lebih longgar, dimana ada momen atau permainan one-on-one yang bisa digunakan sebagai sarana asah kemampuan. 

2. Pemain harus mengikuti turnamen kategori umur.

Masih minimnya kompetisi kategori umur, terutama di pelosok, tentu menyebabkan ketimpangan peluang penyaringan bakat-bakat sepakbola terbaik. Pemain-pemain yang sudah tergabung dalam klub, harus aktif berpartisipasi dalam berbagai turnamen agar bisa tercium bakatnya oleh segelintir pencari bakat nasional.

3. Di atas semuanya, ekonomi keluarga pemain masih menjadi penunjang utama.

Dua proses di atas tentulah membutuhkan modal. Inilah yang menjadi alasan klasik sejumlah orang tua tidak bisa mengusahakan anaknya menjalani proses pembibitan di level grassroot. Tak dapat dipungkiri, biaya pendaftaran, latihan, seragam maupun mengikuti turnamen bisa cukup besar bila diakumulasikan.

Memang kita bisa berpikir pragmatis bahwasanya kondisi tersebut merupakan tanggung jawab keluarga pemain yang bersangkutan. Tapi sekali lagi, saya mengajak melihat dari sisi oportunis. Jutaan anak bisa terjaring bila digarap bersama, dengan potensi finansial tanpa batas.

Gambaran akademi di negara yang sepakbolanya maju. Sumber : www.freepik.com
Gambaran akademi di negara yang sepakbolanya maju. Sumber : www.freepik.com

Lawan Utama Adalah Diri Sendiri

Berbicara mengenai level grassroot, di negara yang sepakbolanya maju merupakan pembinaan pemain di usia 5 hingga 12 tahun. Namun untuk negara sepakbola berkembang seperti Indonesia, usianya masih bisa direntangkan di kisaran 5 hingga 18 tahun. Semakin berkembang pembinaan level grassroot, maka akan semakin mengecil interval tersebut.

Berdasarkan realitas yang sudah saya sebutkan di atas, pihak-pihak yang bisa mengurai masalah ini dan menjemput bakat-bakat sepakbola terbaik di Indonesia haruslah secara kolektif atau keroyokan. Tetapi, harus dalam satu payung aministrasi yang mencatat dan menilai perkembangan setiap pemainnya.

Bagaimana maksudnya? Apakah itu berarti asprov (Asosiasi Provinsi) PSSI? Bisa iya dan bisa juga pihak swasta dalam wujud akademi.

Ide pertama adalah bagaimana mengelola sebuah akademi yang berbiaya murah, dengan standar sarana dan prasarana yang ideal. Lapangan rumput ataupun lapangan futsal yang baik, dipadukan dengan bola terstandardisasi serta didampingi minimal satu praktisi atau pelatih di setiap kelompok. 

Untuk sisi finansial, bisa berkolaborasi dengan pihak swasta dalam wujud CSR (Corporate Social Responsibility) ataupun kerjasama terbuka melalui proposal sponsorship. 

Contoh termudah adalah pembentukan akademi Futsal. Dengan menjaring anak di kisaran usia 5 hingga 18 tahun, mereka bisa dipisah sesuai tiga kategori umur, SD, SMP dan SMA. Pengelola mempersiapkan satu praktisi di setiap kategori umur, untuk memberi penilaian awal kualitas pemain dan mengembangkannya.

Biaya yang dibebankan kepada peserta, bisa ditekan serendah mungkin sesuai pagu dari proposal sponsorship. Dengan keterbatasan ekonomi yang saya sampaikan sebelumnya, dalam memulai usaha ini tidak bisa berbicara keuntungan finansial terlebih dahulu.

Perkembangan para pemain ini harus dimonitor dengan adanya asesmen dalam kurun waktu tertentu, misalnya per satu bulan. Elemen yang dinilai bisa dimulai dari yang paling mudah, mengikuti permainan atau game FIFA. Kecepatan lari, akurasi umpan, akurasi tembakan, kemampuan dribling, kemampuan bertahan dan ketahanan fisik bisa menjadi atributnya.

Dengan memiliki proyeksi rapor ini, maka akademi dapat mengajukan diri ke setiap sekolah sebagai pelaksana ekstra-kurikuler sepakbola atau futsal. Laporan pertanggungjawaban periodik kepada sekolah, tinggal melampirkan data perkembangan atribut tadi. Kondisi yang bisa tercipta, adalah percampuran banyak anggota beragam latar belakang di sebuah lapangan.

Itu adalah kondisi yang bagus! Karena kembali kesub-bab awal, pemantauan bakat sepakbola baru bisa dilakukan jika pemain memiliki sebuah klub atau tim. Banyak bakat-bakat sepakbola di usia muda, harus mandek dalam bermain karena sekolah mereka tidak menyediakan fasilitas ekstra-kurikuler ini. Modus alasannya, peminat kurang banyak.

Tolok ukur keberhasilan dari akademi ini, bukanlah membentuk sebuah tim yang siap untuk dipertandingkan. Berfokus pada perkembangan atribut sepakbola setiap anggota, lawan utama mereka adalah diri mereka sendiri. Dengan kata lain, progress adalah penilaian apakah anggota tersebut memang tertarik melanjutkan pengembangan kemampuan sepakbola, atau tidak.

Seluruh laporan ini akan bemuara pada sebuah data holistik, apabila akademi tersebut tersebar di seluruh kotamadya ataupun kabupaten. Anggota dengan nilai terbaik, bisa selanjutnya diproses ke arah profesional dengan menawarkan kepada klub sepakbola atau klub futsal profesional sebagai anggota tim utama ataupun tim kategori umur mereka.

Dengan kata lain, akademi tersebut juga mempunyai sisi sebagai agen pemain jika mereka berhasil direkrut. Memang masih merupakan hal baru di Indonesia, namun disinilah letak keuntungan finansial tanpa batas, dengan memiliki bakat terbaik dari level grassroot. 

Skuad Cosmo JNE FC untuk mengarungi Liga Futsal Profesional atau Pro Futsal League 2022. (Sumber foto: Instagram.com/cosmojne) via kompas.com
Skuad Cosmo JNE FC untuk mengarungi Liga Futsal Profesional atau Pro Futsal League 2022. (Sumber foto: Instagram.com/cosmojne) via kompas.com

Peran Swasta Sebagai Jembatan Karier Pesepakbola

Peran keroyokan dalam menjemput bibit sepakbola berbakat akhirnya mulai terlihat. Proaktifnya calon pemain dan keluarga, akademi dengan mindset profesional, lembaga pendidikan, tim kepelatihan beratribut asesor, serta terutama pihak swasta sebagai elemen terpenting dalam membantu sisi finansial.

Satu contoh yang bisa saya berikan adalah PT Tiki Jalur Nugraha Ekstrakurir atau biasa kita kenal dengan JNE. JNE sudah terbukti menjadi pendorong perkembangan sepakbola nasional dengan berbagai program yang telah dilaksanakan.

Pada tahun 2018, JNE telah menjadi mitra logistik resmi untuk pagelaran Piala Dunia 2018 Rusia. Sebagai sponsor tim, JNE juga sudah merambah kompetisi Liga Futsal Indonesia dengan berkolaborasi melalui klub Cosmo JNE FC. Klub yang berdomisili di Jakarta tersebut sudah banyak mengirimkan pemain menjadi duta di Timnas Futsal Indonesia.

JNE juga sudah mendukung pengembangan bibit muda sepakbola Indonesia, contohnya melalui beasiswa Yayasan SSB Arsento Jakarta, kepada anak yatim piatu dan kurang mampu. (Sumber : jnewsonline.com)

Pada akhirnya, artikel saya ini mengajak keterlibatan berbagai pihak untuk penuh energi dan semangat  membangun pesakbolaan Indonesia yang maju dan berinovasi. Secara masif, keroyokan dan tersinergi, jutaan bank data bibit-bibit pesepakbola muda Indonesia akan dapat diperoleh.

Seperti perjalanan 33 tahun kiprah JNE di dunia logistik Indonesia, semangat mengembangkan grassroot sepakbola Indonesia harus dijalankan dengan kreatif dan berkelanjutan.

Semoga bermanfaat, dan salam olahraga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun