"Ayo jangan jijik-jijik, ini demi kampung kita supaya tidak banjir!". "Yang putih itu lemak kok, bukan kotoran manusia, tidak apa-apa!". "Jadi anak muda itu harus melestarikan kerja bakti seperti ini, supaya kampung kita guyup.".
Minggu pagi itu, dimana secara rutin kampung kami melakukan kerja bakti membersihkan selokan berdiameter 20 sentimeter di depan tiap-tiap rumah. Kalimat di atas terdengung ke telinga saya. dimana kami para kaum adam merasa seperti tentara perang dengan cipratan hitam pasir got di sekujur tubuhnya.Â
Sementara beberapa ibu menyiapkan teh, kopi dan gorengan yang tersaji dalam satu meja panjang.
Saya bukannya tidak mau melakukan hal tersebut, wong 35Â tahun hidup di kampung ini juga melakukan hal yang sama tiap tiga bulanannya. Hanya terakhir kali saya melakukannya, sekitar sebulan lalu, saya merasa itu tindakan useless, tidak berguna.
Tidak berguna bukan berarti tidak perlu dilakukan, ya. Maksud saya, adalah tidak ada peningkatan cara untuk membersihkan sampah-sampah yang masuk ke dalam parit atau selokan kampung. Memakai cetok, cangkul kecil, ada juga yang nekat langsung menggunakan tangannya untuk mengeruk kotoran yang menyumbat.
"Monggo, Mas. Diminum dulu kopinya."Â Suara ibu di belakang memecah keheningan usai saya membersihkan selokan depan rumah.
"Oh, Nggih, Bu Sariyo."
"Merasa sia-sia, ya Mas. Sama, Ibu juga. Sudah diomongi kalau sampah itu dipisah plastik dan organik. Terus jelantah juga bisa dijadikan uang, jadi selokannya kan tidak perlu bolak-balik dikeruk seperti ini. Lampu kampung juga, itu sudah waktunya ganti pakai solar panel."
Deg, saya pikir seorang ibu yang hanya pedangang War-Mad (Warung Madura) tersebut tidak terlalu paham tentang isu lingkungan serta energi baru terbarukan. Lantas mengapa ide bagus tersebut tidak dilakukan? Apa sudah disampaikan dalam forum warga?
"Sudah, Mas. Katanya solar panel mahal. Terus tempat sampah biru-kuning juga mahal. Ibu-ibu PKK tahu semua kok, kan ada penyuluhan Kampung Madani. Cuma ya itu, nyaman dengan wira-wirinya jadi jumantik saja."