Mohon tunggu...
Gregorius Aditya
Gregorius Aditya Mohon Tunggu... Konsultan - Brand Agency Owner

Seorang pebisnis di bidang konsultan bisnis dan pemilik studio Branding bernama Vajramaya Studio di Surabaya serta Lulusan S2 Technomarketing Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya (ITS). Saat ini aktif mengembangkan beberapa IP industri kreatif untuk bidang animasi dan fashion. Penghobi traveling dan fotografi Landscape

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

"Hollywood Accounting", Mimpi Buruk Para Pelaku Film dan Animasi

18 Maret 2024   06:00 Diperbarui: 18 Maret 2024   06:15 635
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi tentang Hollywood Accounting. Sumber: allocine.fr

Pernahkah anda mendengar tentang film yang diluncurkan begitu sukses dan dilansir mendatangkan keuntungan yang begitu besar tetapi ternyata studio produser film menyatakan bahwa mereka tidak mendapat keuntungan, merugi dan bahkan masih dililit hutang pinjaman yang belum lunas?

Kejadian seperti itu rupanya dalam sejarah industri perfilman sering sekali terjadi. Beberapa film yang kita kenal dan akrab di telinga kita seperti Star Wars: Return of the Jedi (1983), Forrest Gump (1994), Trilogi The Lord of the Rings (2001–2003), Harry Potter and the Order of the Phoenix (2007), Bohemian Rhapsody (2018), hingga The Walking Dead (2021) adalah contoh-contoh film yang menorehkan laba kotor yang sangat besar namun studio produser film maupun para pelaku di dalamnya justru mencatatkan kerugian bersih dalam keuangannya.

Bagaimana itu bisa terjadi? Ini adalah sebuah pembahasan yang hingga hari ini menjadi topik yang hangat. Para pakar dan pengamat industri film menamakan fenomena ini sebagai "Hollywood Accounting".

"Hollywood Accounting" mengacu pada metode akuntansi yang tidak jelas untuk industri film, animasi, dan televisi di mana perhitungan biaya, terutama distribusi, terus meningkat dan dengan demikian laba bersih dari proyek berkurang atau dihilangkan, sehingga pada akhirnya menghindarkan pembayaran konsep royalti, bagi hasil atau perjanjian lainnya, yang didasarkan pada keuntungan bersih film tersebut dimana hal ini tidak hanya berdampak pada produser, tetapi juga penulis dan para aktor. 

Serangkaian praktik akuntansi yang digunakan dalam industri film ini akhirnya dapat membuat sebuah film nampak menjadi kurang menguntungkan atau malah merugi dibandingkan keuntungan sebenarnya.

Untuk memberi gambaran tentang kompleksnya praktek ini, kita perlu pertama-tama memposisikan diri dahulu dimana bayangkan diri kita sebagai seorang aktor. Terdapat studio produksi film besar dimana mereka menjanjikan bagi hasil atau keuntungan dari film atau animasi tersebut. 

Pada awalnya mungkin terdengar menggiurkan, dan terlebih lagi jika berasal dari studio yang ternama, kita mungkin berpikir bahwa penjualannya pasti akan bagus. Kita tertarik dan menjalankan tugas kita sebagai aktor. 

Kemudian saat penayangan, kita mengetahui bahwa film tersebut terjual dan laku keras lebih dari 100 juta dolar di seluruh dunia. Tetapi kemudian kita mengetahui bahwa studio tersebut belum memberi kita apapun dan bahkan tidak ada tanggal yang dijanjikan mereka untuk membayar kita. Dalam posisi itu, tentunya kita akan mulai melakukan apa yang seharusnya kita lakukan dari awal, menyelidiki keuangan studio tersebut. 

Ilustrasi tentang Pembuatan Film. Sumber: fxhome.com
Ilustrasi tentang Pembuatan Film. Sumber: fxhome.com

Dari sinilah masalah keuangan mulai terlihat. Ketika keuangan studio tersebut dibuka di hadapan umum dalam ranah perdata dan terlihatlah bahwa banyak lubang dalam keuangan yang tercatat. 

Masalah-masalah itu mencakup overhead biaya operasional studio maupun manufaktur umum, biaya produksi proyek film itu secara total, distribusi, marketing yang kemudian semakin kompleks mencakup pengembalian pada para investor dengan syarat masing-masing yang harus ditanggung studio sehingga akhirnya berimbas imbal hasil yang tidak sesuai yang dijanjikan.

Dampak dari Hollywood Accounting sebagaimana yang terjadi di atas adalah sebuah film yang tampak sukses besar di pasaran namun di atas kertas justru bisa merugi, menurut pembukuan studio. 

Hal ini dapat membuat frustasi para aktor, sutradara, dan peserta keuntungan lainnya yang pada ujungnya malahan merekalah yang berhutang uang. Hal ini juga dapat menyulitkan investor untuk mendapatkan gambaran sebenarnya mengenai kinerja keuangan sebuah film.

Lantas apa yang menyebabkan ketidaktransparan ini? Bagaimana bisa pembengkakan ini terjadi? Siapa yang harus bertanggung jawab atas hal ini? Stephen Glaeser, Associate Professor di bidang Akuntansi University of North Carolina menjelaskan tahapan modus operandi-nya secara mendasar: 

1. Sebuah studio mendirikan anak perusahaan untuk setiap film yang ingin dibuatnya, dan setuju untuk membayar para aktor berdasarkan keuntungan anak perusahaan tersebut.

2. Untuk benar-benar membuat film tersebut, anak perusahaan tersebut pasti akan menanggung biaya – gaji kru, layanan pembuatan properti, desain lokasi, alat peraga, dll.

3. Saat filmnya keluar, anak perusahaan tersebut memperoleh pendapatan dari penjualan tiket.

4. Seperti dalam bisnis apa pun, studio mengambil pendapatan, mencatatkannya, mengurangi biaya, dan voila, itulah untung (atau rugi) yang didapat.

Pembuatan film animasi. Sumber: udemy.com
Pembuatan film animasi. Sumber: udemy.com

Apabila di-breakdown, sebenarnya di sinilah keanehannya. Beberapa hal yang potensial terjadi dalam tahapan itu adalah:

a. Adanya Praktek Akuntansi Non-Standar: Studio dalam hal ini dapat menggunakan berbagai metode untuk mengaburkan biaya, seperti mengalokasikan biaya ke berbagai film lainnya atau malah membuat entitas akuntansi palsu. Kita dapat membayangkan adanya sebuah film dengan anggaran besar untuk special effect. Studio tersebut dari awal bisa saja membuat anak perusahaan palsu untuk menangani special effect tersebut, lalu membebankan harga yang terlalu tinggi pada film tersebut untuk layanannya. Hal ini membuat film tersebut terlihat lebih mahal dari aslinya.

b. Kesepakatan pembagian laba yang kompleks: Kesepakatan pembagian laba bisa sangat kompleks dan sulit dipahami, penuh dengan jargon dan istilah akuntansi yang tidak jelas. Hal ini menyulitkan aktor dan sutradara untuk melacak bagian keuntungan mereka. Studio sendiri telah memastikan diri untuk mendapatkan keuntungan dari kompleksitas ini, karena memudahkan untuk menentang atau menolak klaim keuntungannya.

c. Kurangnya transparansi: Studio tidak selalu terbuka mengenai praktek akuntansi mereka baik dari biaya operasional, distribusi, hingga marketing. Mereka mungkin tidak memberikan rincian rinci kepada pembuat film tentang bagaimana keuntungan dihitung. Kurangnya transparansi ini menyulitkan mereka yang ada dalam pembagian keuntungan untuk meminta pertanggungjawaban studio.

Ilustrasi pembuatan film. Sumber: tafensw.edu.au
Ilustrasi pembuatan film. Sumber: tafensw.edu.au

Hollywood Accounting dapat menyesatkan banyak pemangku kepentingan tentang kinerja keuangan sebuah film atau animasi. Hal ini memang mula-mula dapat mengakibatkan para investor memasukkan uang ke dalam sebuah film yang sebelumnya mereka yakini akan sukses secara finansial, namun meskipun film tersebut sukses di box office, pada akhirnya pengeluaran yang ada menghapus pendapatan, sehingga mengakibatkan kerugian finansial yang sangat besar. Hal ini membatasi potensi investor untuk berinvestasi kembali pada film-film baru, sehingga dapat mempertahankan kreativitas dalam industri film.

Mengapa praktek ini masih ada dan dibiarkan bertahun-tahun? Bukankah dengan banyaknya artis atau seniman yang menjadi korban mestinya ada pelarangan atas praktek ini? Pada kenyataannya praktek ini masih terjadi dan bahkan masih tidak dianggap sebagai pelanggaran hukum karena faktor-faktor berikut.

1. Sudah Adanya Standar Strategi Pelaku Industri untuk Mitigasi

Merupakan hal yang sudah mendarah daging dalam industri film dimana aktor, sutradara, dan penulis di Hollywood dimana sering kali mereka menegosiasikan kontrak dan sudah umum mengetahui keberadaan Hollywood Accounting ini. 

Setiap kali terdapat perjanjian dengan sebuah studio besar, tim manajemen dari seniman dan artis ini sejak awal terbiasa mencoba menegosiasikan persyaratan yang lebih baik untuk memitigasi dampaknya, seperti mendapatkan potongan keuntungan dari laba kotor dibandingkan laba bersih.

Ilustrasi pembuatan film. Sumber: eps-production.com
Ilustrasi pembuatan film. Sumber: eps-production.com

2. Faktor Kompleksitas Dari Pembuatan Film itu Sendiri

Pembuatan film pada dasarnya melibatkan banyak aliran pendapatan dan pengeluaran, sehingga dalam sebuah proyek dari konsep, produksi, hingga rilis dan waktu peraupan keuntungan sulit untuk melacak seluruh biaya secara akurat. 

Kompleksitas ini dipengaruhi banyaknya revenue stream yang ada (streaming, broadcast, lisensi, produk kolaborasi dll) dimana setiap aliran pendapatan memiliki kontrak, metode akuntansi, dan jadwal pelaporannya sendiri, sehingga sulit untuk mendapatkan gambaran konsolidasi total pendapatan. 

Di sisi lain, marketing dan distribution cost bisa sangat variatif dalam publikasi sebuah film karena bisa berubah dari waktu ke waktu dalam fase produksi, publikasi hingga tutup buku maupun tersebar dalam berbagai platform baik fisik maupun digital serta berbagai negara dengan beragam regulasinya.

3. Kesulitan dalam Penegakan Hukum pada Industri Studio

Pada dasarnya, patut diakui bahwa sulit untuk menantang akuntansi dari sebuah studio di Hollywood. Studio-studio tersebut umumnya telah memiliki tim pengacara dan akuntan yang berspesialisasi dalam Hollywood Accounting, sehingga menyulitkan dan tentunya akan mahal bagi biaya penyidikan oleh penuntut untuk melakukan perlawanan. 

Akuntansi dalam praktek Hollywood Accounting sendiri diakui oleh pemerintah setempat sebagai metode tersendiri yang berbeda dari Generally Accepted Accounting Principles (GAAP) di Amerika Serikat. Beberapa akademisi Amerika Serikat menduga alokasi overhead untuk satu film bisa sewenang-wenang dan berlebihan dengan tujuan membuat film terlihat tidak menguntungkan.

Ilustrasi produksi film. Sumber: ipr.edu
Ilustrasi produksi film. Sumber: ipr.edu

Konklusi

Pada akhirnya, Hollywood Accounting adalah sebuah praktek yang masih menjadi momok bagi para seniman kreatif terutama di Amerika Serikat yang telah begitu mapan industrinya. 

Praktek sejenis ini dapat terjadi pula di negara manapun dimana industri perfilman diangkat. Meskipun di atas kertas, praktek ini bukanlah sesuatu yang dianggap belum melanggar hukum, namun praktek ini masih kontroversial karena efeknya yang sangat tidak etis. 

Tuntutan hukum akan terus muncul dari para aktor dan pihak lain yang yakin bahwa mereka telah ditipu. Berbagai upaya sedang dilakukan untuk meningkatkan transparansi keuangan, namun untuk saat ini, praktek ini tetap menjadi bagian dari industri perfilman yang terus berkembang. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun