Masalah-masalah itu mencakup overhead biaya operasional studio maupun manufaktur umum, biaya produksi proyek film itu secara total, distribusi, marketing yang kemudian semakin kompleks mencakup pengembalian pada para investor dengan syarat masing-masing yang harus ditanggung studio sehingga akhirnya berimbas imbal hasil yang tidak sesuai yang dijanjikan.
Dampak dari Hollywood Accounting sebagaimana yang terjadi di atas adalah sebuah film yang tampak sukses besar di pasaran namun di atas kertas justru bisa merugi, menurut pembukuan studio.Â
Hal ini dapat membuat frustasi para aktor, sutradara, dan peserta keuntungan lainnya yang pada ujungnya malahan merekalah yang berhutang uang. Hal ini juga dapat menyulitkan investor untuk mendapatkan gambaran sebenarnya mengenai kinerja keuangan sebuah film.
Lantas apa yang menyebabkan ketidaktransparan ini? Bagaimana bisa pembengkakan ini terjadi? Siapa yang harus bertanggung jawab atas hal ini? Stephen Glaeser, Associate Professor di bidang Akuntansi University of North Carolina menjelaskan tahapan modus operandi-nya secara mendasar:Â
1. Sebuah studio mendirikan anak perusahaan untuk setiap film yang ingin dibuatnya, dan setuju untuk membayar para aktor berdasarkan keuntungan anak perusahaan tersebut.
2. Untuk benar-benar membuat film tersebut, anak perusahaan tersebut pasti akan menanggung biaya – gaji kru, layanan pembuatan properti, desain lokasi, alat peraga, dll.
3. Saat filmnya keluar, anak perusahaan tersebut memperoleh pendapatan dari penjualan tiket.
4. Seperti dalam bisnis apa pun, studio mengambil pendapatan, mencatatkannya, mengurangi biaya, dan voila, itulah untung (atau rugi) yang didapat.
Apabila di-breakdown, sebenarnya di sinilah keanehannya. Beberapa hal yang potensial terjadi dalam tahapan itu adalah:
a. Adanya Praktek Akuntansi Non-Standar: Studio dalam hal ini dapat menggunakan berbagai metode untuk mengaburkan biaya, seperti mengalokasikan biaya ke berbagai film lainnya atau malah membuat entitas akuntansi palsu. Kita dapat membayangkan adanya sebuah film dengan anggaran besar untuk special effect. Studio tersebut dari awal bisa saja membuat anak perusahaan palsu untuk menangani special effect tersebut, lalu membebankan harga yang terlalu tinggi pada film tersebut untuk layanannya. Hal ini membuat film tersebut terlihat lebih mahal dari aslinya.