Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) Dadan Hindayana telah mewacanakan serangga dan ulat sagu dalam menu makan bergizi gratis (MBG). Pernyataan tersebut, viral diberitakan media seperti dilansir kompas.com (26 Januari 2025) dan media lainnya.
Wacana ini disambut dengan berbagai tanggapan, pro dan kontra. Masing-masing mencoba mengemukakan alasan yang dapat diterima dengan akal sehat.Â
Mengapa Pro
Kelompok yang menerima ide memasukkan serangga dan ulat sagu dalam menu MBG memiliki beberapa alasan. Setidaknya ada tiga alasan yang dikemukakan kelompok yang pro.
1. Sudah biasa dikonsumsi
Ada serangga dan ulat tertentu yang dapat dikonsumsi oleh masyarakat di daerah tertentu. Jadi bukan isu baru jika memang mau dimasukkan dalam daftar menu MBG.
Dari beberapa penelusuran serangga yang paling banyak dikonsumsi adalah belalang.Â
Di Gunung Kidul Yogyakarta dan di NTT, ada penduduk yang mengkonsumsi belalang. Di Papua, warganya mengkonsumsi ulat sagu. Sedangkan warga di NTT biasa konsumsi ulat dari bambu dan pohon turi. Sementara, ada serangga lain yang masih bisa dikonsumsi seperti semut rang rang dan laron.
Dari situlah, dianggap bahwa belalang dan ulat sagu bisa dijadikan sebagai menu MBG untuk daerah yang memang penduduknyq terbiasa mengkonsumsinya.
2. Tinggi protein
Serangga dan ulat sagu digadang-gadang sebagai pangan yang mengandung protein tinggi, bahkan melebih protein daging ayam.
Belalang segar misalnya, memiliki kandungan protein sebesar 20% dari seluruh komponen nutrisinya. Sementara kandungan protein belalang kering justru lebih besar, mencapai 40% tersebar dalam seluruh badan dan kulit belalang. Selain itu, belalang juga mengandung vitamin A.
3. Variasi menu
Kehadiran menu serangga dan ulat sagu, diharapkan menjadi salah satu varian menu untuk mencukupi kebutuhan akan protein hewani.Â
Dengan adanya variasi menu, diharapkan siswa menjadi tidak bosan karena hanya mendapatkan suguhan menu yang itu-itu saja.
Mengapa Kontra
Di lain pihak, banyak warga yang tidak setuju dengan ide memasukkan serangga dan ulat sagu dalam menu MBG sekalipun itu berbasis pada pangan lokal.
Alasannya, program nasional ini harusnya tidak memasukkan unsur-unsur percobaan.Â
Sekalipun ada daerah yang warganya mengkonsumsi serangga dan ulat sagu, persentasenya tidaklah seberapa.
Apalagi sekarang sudah hampir hilang kebiasaan konsumsi serangga dan ulat tersebut sebab generasi mudanya tidak suka konsumsi hewan itu.
Lagi pula, harus ada peternakannya sebab konsumsi serangga dan ulat sagu liar yang bebas di alam bisa saja justru mengandung penyakit yang menular pada anak-anak yang mengkonsumsinya.
Program Jangan untuk coba-coba
Ya, program nasional ini seharusnya tidak coba-coba. Termasuk mewacanakan sesuatu hal penting di tengah implementasi program.Â
Seharusnya, badan dan instansi yang terkait dengan program MBG tidak mewacanakan berbagai hal lalu timbul pro dan kontra di tengah masyarakat.
Sebaiknya fokus pada daftar menu yang memang sudah diterima secara umum. Tinggal bagaimana mengolahnya menjadi jenis makanan yang bervariasi.Â
Misalnya tempe, tak hanya diolah jadi tempe goreng tetapi dibuat variasi lain seperti bacem, tempe orek, dan sebagainya.
Jika pun harus menguji coba sesuatu seperti makan serangga dan ulat sagu, paling baik dicontohkan oleh pejabat-pejabat terdahulu.Â
Tak hanya sekali mencoba, tetapi dimasukkan dalam daftar menu makan keluarga mereka.
Dengan memberi contoh seperti itu, maka bisa jadi anak sekolah akan menirunya dengan mudah. Tak perlu dipaksa, tetapi mereka bisa dengan sukarela ingin mencobanya.
Referensi:
https://www.melintas.id/pendidikan/345573040/blunder-kepala-badan-gizi-nasional-wacanakan-serangga-dan-ulat-jadi-menu-mbg-netizen-pejabat-makan-duluan
https://www.tempo.co/gaya-hidup/adakah-nilai-gizi-belalang-dan-ulat-sagu-yang-disebut-kepala-bgn-bisa-jadi-menu-alternatif-di-mbg-1200040
https://nasional.kompas.com/read/2025/01/26/10204151/serangga-dan-ulat-bisa-jadi-sumber-protein-untuk-makan-bergizi-gratis
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI