Dalam setiap perhelatan PON, selalu muncul prestasi baru. Ada atlet daerah yang berhasil menjadi juara baru, bahkan memecahkan rekor nasional (rekornas).
Selain itu, para atlet yang berprestasi juga diberikan penghargaan khusus seperti bonus dan pekerjaan tetap sehingga mereka kemudian lebih fokus dalam menjalankan rutinitas latihan dan mengikuti event yang lebih tinggi.
Pergeseran Makna
Seiring bertambahnya usia PON, perhelatan pekan olahraga ini malahan mulai bergeser dari tujuannya. Persaingan antardaerah semakin kasat mata.
Persaingan yang dimaksud seringkali tidak sportif seperti motto para atlet yang selalu menjunjung tinggi sportifitas.Â
Persaingan tidak sehat, bahkan hingga perseteruan antarkontingen bisa terlihat dalam beberapa tindakan kasat mata berikut ini.
1. Nafsu tuan rumah menjadi juara umum
Tuan rumah selalu ingin menang, atau minimal menjadi deretan terdepan dalam urutan peringkat perolehan medali. Akibatnya, sering menempuh cara yang menguntungkan diri.
2. Pembajakan atlet
Atlet-atlet yang berprestasi seringkali dibajak oleh provinsi-provinsi yang kaya. Para atlet ini pun tergoda untuk berpindah provinsi lantaran tawaran yang lebih menggiurkan daripada provinsi asalnya.
3. Keputusan wasit yang kontroversial
Seringkali wasit menjadi salah satu biang kerok kericuhan. Wasit yang seharusnya menjadi hakim yang netral, tidak berpihak malahan membuat putusan yang kontroversial.
4. Boikot atau WO
Adanya boikot atau walk over (WO) seringkali terjadi karena keputusan wasit yang kontroversial. Contoh kasus, kesebelasan Sulawesi Tengah lakukan aksi WO karena menganggap wasit tidak netral.
Perlu ReformasiÂ
Saat ini, secara jujur perlu diakui bahwa cita-cita luhur PON di awal mula sudah mengalami pergeseran. Pesta olahraga ini berubah menjadi ajang unjuk diri secara kedaerahan.
Ya, egoisme daerah semakin mencuat, sekadar ingin mengumpulkan kepingan medali sebanyak-banyaknya.