Kebanyakan buah lokal kita bersifat musiman. Saat musim rambutan, semua menjual rambutan. Lapaknya bersebelahan atau berhadapan. Musim jeruk, jualan jeruk. Musim semangka, ya semangka bertumpuk di pinggir jalan.
Di Kota Kupang misalnya. Semangka bertumpuk-tumpuk di pinggir jalan. Puncaknya, pada  bulan Juni-September. Setelah itu, menghilang. Penjualnya pun pergi dan baru muncul lagi di tahun berikutnya, saat tiba musim semangka.
Ketiga, ketersediaan stok
Di pasar Kota Kupang, hanya buah pisang yang ready stock sepanjang musim. Pepaya yang seharusnya juga tak kenal musim, menjadi berkurang terutama di musim penghujan. Sementara buah impor seperti jeruk dan apel asal negara Tirai Bambu, selalu ada di lapak-lapak.Â
Di Kota Soe, Kabupaten Timor Tengah Selatan, NTT, buah-buahan impor ini mangkal di sana sepanjang musim. Sementara apel Manalagi Soe, jeruk keprok Soe, dan advokad Soe yang enak itu hanya bertahan sekira 2 bulan. Lalu menghilang karena buahnya tiada lagi. Stok di kebun kosong.
Keempat, terkait dengan harga
Harga berperan penting bagi seseorang untuk membeli buah. Tadinya mau membeli buah lokal, tetapi berubah pikiran setelah menanyakan buah di samping dan ternyata murah. Sudah murah, buah impor lagi. Mendingan beli yang impor dan murah.
Di lapak pinggir jalan Kota Soe, satu tumpuk jeruk keprok Soe yang berkualitas dihargai dengan Rp 25.000 yang mana satu tumpuk berisi 3-4 buah. Sementara jeruk impor dari China dijual dengan harga Rp 5.000 per buah.Â
Last but not least, selera
Selera, tak dipungkiri sebagai faktor yang berpengaruh terhadap keputusan pembeli. Namun selera terbentuk juga karena berawal dari coba-coba, lalu keterusan karena jatuh hati dan atau karena keenakan.