Tuadale, adalah salah satu nama kampung di Kupang. Tepatnya, di Desa Lifuleo, Kecamatan Kupang Barat, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur. Berdekatan dengan pantai Tablolong, berjarak lebih kurang 25 km dari pusat kota Kupang.
Nona yang kami lamar (29 Juni 2022), berasal dari fam Leo (ayah) dan Sepe (Ibu) yang mana keluarga besarnya berasal dari Rote, bercampur dengan suku Helong.
Sementara pengantin pria berasal dari suku Biboki, Kabupaten Timor Tengah Utara. Dari ayah bermarga Nafanu dan ibu bermarga Humoen. Jadilah, acara ini kental dengan adat Rote-Helong dan Biboki-Timor.
Proses peminangan melibatkan dua juru bicara, dari pihak pengantin pria dan pengantin perempuan. Rentetan negosiasi, dilakukan sebelum malam adat agar proses pernikahan di hari H tidak berlarut-larut, bahkan deadlock karena ada hal-hal yang tidak dapat disepakati kedua belah pihak.
Tulisan ini, hanya mewakili pernikahan adat yang saya ikuti di Tuadale. Barangkali di tempat lain, pada pernikahan sepasang kekasih dari suku yang sama, dengan model lain harap maklum. Sebab zaman sekarang, adat sudah dimodifikasi dan mengalami percampuran.
Uniknya, pernikahan adat ini dipimpin oleh Kepala Desa dan Kepala Dusun setempat. Meskipun to'o (paman) dari pengantin perempuan memiliki peran besar untuk mengatur jalannya proses pernikahan adat ini.
Hantaran Dibawa Dalam 7 Dulang
Pihak pengantin perempuan menentukan, hantaran lamaran pihak pengantin pria harus diisi dalam tujuh dulang.
Ketika berada di pintu gerbang, juru bicara pengantin pria akan memberikan salam dan mengutarakan maksud kedatangan rombongan. Setelah itu, juru bicara menanyakan apakah tuan rumah berkenan menerima romobongan mempelai pria atau tidak.
Lalu juru bicara pengantin perempuan akan membalas sapaan dan mempersilakan rombongan  masuk dan duduk di depan rumah. Setelah duduk, rombongan pembawa dulang pun bersiap-siap menyerahkan hantaran yang dibawa.
Dulang pertama, berisi lilin dan alkitab. Komponen ini merupakan inkulturasi ajaran kristen ke dalam budaya setempat.
Dulang kedua, berisi satu rangkai pinang mentah yang buahnya tak boleh copot. Di dalam dulang tersebut, ditambahkan lagi 100 buah pinang mentah dan 100 buah sirih buah plus 10 bungkus kapur sirih. Tak ketinggalan, 10 bungkus tembakau iris dan sebungkus rokok.
Dulang ketiga dan keempat, masing-masing berisi pakaian dalam dan pakaian luar perempuan, lengkap dengan sepasang sepatu. Sementara dulang ke-5 berisi gelang emas seberat 2 gram.
Dulang ke-6 berisi satu kain tenun laki-laki dan kemeja untuk ayah pengantin perempuan. Dan dulang terakhir, berisi satu kain tenun Biboki dan kebaya untuk ibundanya.
Masing-masing dulang, dibawa oleh seorang gadis dari mempelai pria. Seorang pria muda berjalan paling depan, memegang lilin dalam keadaan menyala untuk menerangi perjalanan. Tujuh gadis dari pengantin perempuan, akan maju satu persatu untuk menerima dulang hantaran dan  membawanya masuk ke dalam kamar pengantin.
17 Amplop untuk Terang Kampung, Belis dan PenghargaanÂ
Setelah hantaran disimpan, juru bicara pihak perempuan pun mempersilakan 7 perwakilan dari pihak pengantin pria untuk masuk ke dalam rumah. Tujuannya, untuk menyampaikan maksud sekali lagi, lalu menyerahkan 17 amplop sebagai syarat peminangan anak mereka.
Di dalam rumah pengantin perempuan, sudah menunggu orang tua, to'o alias paman, juru bicara dan beberapa tetua suku. Dialog dipandu langsung oleh Kepala Dusun.
Setelah menanyakan maksud dan tujuan, maka Kepala Dusun menanyakan kepada pihak pengantin perempuan, syarat-syarat apa saja yang telah ditentukan sebelumnya. Setiap kali ditanyakan, maka juru bicara pengantin pria akan mengambil amplop yang dimaksudkan.
Agar semua dapat menyaksikannya, maka amplop-amplop tersebut akan dibuka oleh dua saksi dari kedua belah pihak untuk memastikan bahwa isi amplop sesuai dengan permintaan.
Kebetulan, jumlah amplop yang ditentukan oleh pihak keluarga sebanyak 17 amplop. Masing-masing amplop berisi sejumlah uang yang telah ditentukan sebelumnya.
Ketuk Pintu, adalah amplop pertama dan utama yang ditanyakan. Amplop ini sebagai pengantar untuk memasuki proses dialog selanjutnya. Pada amplop kedua, berisi uang sirih pinang. Sebagia lambang keramahtamahan. Sebab, setiap tamu yang datang ke rumah akan disuguhi dengan sirih pinang.
Selanjutnya, amplop ketiga, keempat, dan kelima dinamakan amplop cuci muka, amplop gosok gigi orangtua, dan amplop menyalakan api. Ini semacam lambang balas jasa, bagaimana dulu kedua orang tua mengurus anaknya, termasuk memandikan, merawat, dan memberi makan anak nonanya.
Masih terkait dengan bagian orang tua kandung. Pada amplop keenam, pihak pengantin pria diminta untuk memasukkan sejumlah uang ke dalam amplop. Namanya uang penghargaan untuk orang tua kandung.
Pokok belis, dimasukkan dalam amplop ketujuh dengan nominal uang terbanyak kedua dibandingkan dengan isi amplop lainnya. Dan pada posisi kedelapan, Kepala Dusun menanyakan amplop air susu ibu. Amplop ini menduduki peringkat pertama dari jumlah nominal uang.
To'o huk adalah istilah untuk penghargaan bagi om dari pengantin perempuan. Bagian ini diisi dalam amplop kesembilan dan menduduki peringkat ketiga dari segi jumlah nominal uang. Sementara amplop ke-10 dinamakan Te'o huk, berisi uang penghargaan untuk tantenya pengantin perempuan.
Terang Kampung
Bagian ini, berisi pemberitahuan kepada warga di kampung bahwa anak perempuan ini telah dilamar. Karenanya, semua pihak agar bisa mengetahuinya. Ini adalah amplo ke-11, dinamakan sebagai Terang Kampung.
Menurut Kepala Dusun, Terang Kampung dan biaya administrasi telah diintegrasikan dalam perkawinan adat di Tuadale yang dibuat dalam Perdes. Ada dua biaya adminsitrasi, yaitu administrasi desa (amplop ke-12) dan administrasi dusun (amplop ke-13). Ada lagi, amplop ke-14 dinamakan dengan istilah penghargaan untuk Pemerintah Desa.
Selanjutnya, penghargaan untuk Gereja asal pengantin perempuan. Bagian ini menempati amplop ke-15.
Karena dalam perkawinan adat ini, ada penandatangan berita acara, maka diperlukan saksi dari kedua belah pihak, selain ditandatangani oleh kedua mempelai yang dikuatkan oleh Kepala Dusun dan Kepala Desa setempat. Amplop ke-16 ini dinamakan amplop saksi.
Dan yang terakhir, amplop ke-17 disebut amplop Tutup Pintu. Sebab, jika ada ketuk pintu maka harus diakhiri juga dengan tutup pintu.
Setelah selesai, kepala Dusun selaku moderator keluar menghadap kepada seluruh keluarga yang menunggu di luar. Secara transparan Ia membacakan jumlah dari masing-masing amplop. Mulai dari amplop pertama hingga ke-17.Â
Banyak juga ya amplop-amplopnya. Beruntungnya, sebelum malam adat, kedua belah pihak sudah menyepakati jumlah amplop bersama jumlah nominal di dalam setiap amplop sehingga tidak terjadi lagi negosiasi pada malam adat tersebut.
Barangkali lumayan ribet. Tetapi jika diikuti, maka semuanya bisa berjalan dengan lancar hingga selesai. Itulah adat-istiadat kita.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H