Mohon tunggu...
Gregorius Nafanu
Gregorius Nafanu Mohon Tunggu... Petani - Pegiat ComDev, Petani, Peternak Level Kampung

Dari petani, kembali menjadi petani. Hampir separuh hidupnya, dihabiskan dalam kegiatan Community Development: bertani dan beternak, plus kegiatan peningkatan kapasitas hidup komunitas lainnya. Hidup bersama komunitas akar rumput itu sangat menyenangkan bagiku.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Merantau, Kesempatan Belajar Mandiri dan Tahan Banting

25 Juni 2022   13:18 Diperbarui: 27 Juni 2022   00:44 1144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Marga Putra Bogor, sekretariat PMKRI yang berada di dekat Terminal Baranang siang Bogor, menjadi tempat berkumpul mahasiswa. Dok pribadi

Merantau. Ada dua tujuan utama ketika orang memutuskan untuk pergi meninggalkan kampung halamannya: untuk melanjutkan pendidikan, atau mencari nafkah.

Merantau untuk melanjutkan pendidikan, tentu saja melatih kita untuk hidup lebih mandiri. Juga tahan banting, bagi perantau yang berasal dari keluarga dengan ekonomi pas-pasan.

Walaupun biaya hidup masih ditanggung oleh orangtua, kita dituntut untuk mengatur keuangan kita sendiri. 

Biaya kuliah, indekos, makan-minum, transportasi harus diatur sedemikian agar keuangan kita cukup hingga mendapatkan kiriman dari orang tua di bulan berikutnya.

Merantau, juga memiliki nilai tambah selain untuk belajar pada sekolah atau universitas di mana kita menempuh pendidikan formal. Banyak hal baru kita dapatkan di sana. Saudara dan sahabat baru, bahasa daerah setempat, keterampilan gratis hingga kesempatan bekerja part time bisa kita dapatkan. Asalkan pandai-pandai membaca peluang-peluang tersebut .

Pertama kali menginjakkan kaki di tanah rantau, rasanya serba asing. Keluar dari zona nyaman, tentunya memerlukan penyesuaian diri. Lingkungan yang baru, orang-orang yang tidak dikenal. Dan tentu saja, setiap perantau pasti punya cerita yang  berbeda-beda di awal mula merantau.

Bagi mereka yang merantaunya diantar oleh orang tua, atau dijemput oleh keluarga di pelabuhan, bandara, atau terminal mungkin tidak terlalu stress. Tetapi untuk mereka yang pergi sendirian, pastinya lumayan tegang. Apalagi baru pertama kali keluar dari rumah dan daerah asalnya.

Marga Putra Bogor, sekretariat PMKRI yang berada di dekat Terminal Baranang siang Bogor, menjadi tempat berkumpul mahasiswa. Dok pribadi
Marga Putra Bogor, sekretariat PMKRI yang berada di dekat Terminal Baranang siang Bogor, menjadi tempat berkumpul mahasiswa. Dok pribadi

Saya, termasuk orang yang merantau ke Bogor, Jawa Barat tanpa diantar oleh keluarga. Juga tidak dijemput oleh siapapun. Nekad sih, tetapi saat itu saya hanya berpikir, kapan lagi saya bisa belajar di salah satu institut terkenal di Bogor itu.

Tepatnya, saya merantau di tahun 1993, selepas tamat SMA. Kebetulan mendaftar dan masuk tanpa tes di salah satu institut negeri di Bogor. Ah, ternyata sudah 29 tahun ya. Barangkali, sebahagian dari pembaca belum lahir, atau masih bayi merah.

Berikut ini, beberapa pengalaman yang masih membekas  saat merantau dan bagaimana berjuang untuk tetap hidup di rantau orang.

Ditolong oleh Penjual Bakso Asal Malang

Dari kampung halaman, saya diantar oleh orang tua ke Kupang, ibukota Provinsi NTT. Perjalanan menuju Kupang ditempuh dalam waktu 6 jam dengan bus. Sesampai di Kupang, kami pergi beli tiket pesawat merpati dengan tujuan Denpasar Bali.

Terus-terang, saat di dalam pesawat saya kebingungan bagaimana memasang sabuk pengaman di tempat duduk. Penumpang di sebelah saya nampaknya membaca kesulitan saya. Dengan ramah dipasangnya sabuk pengaman tersebut ke badan saya.

Dari situ, dialog pun berlanjut. Ternyata, masnya akan melanjutkan perjalanan ke Malang. Sementara, saya ke Bungurasih, Sidoarjo. Ia berprofesi sebagai penjual bakso di kota saya dan sedang pulang untuk menengok keluarganya.

Dari perkenalan tersebut, si mas pun menawarkan untuk bersama-sama naik angkutan dari Ngurah Rai ke Gilimanuk. Dan bagaikan kerbau dicocok hidungnya, saya mengekor saja. Tentu saja, biaya angkutan ditanggung sama si Mas. Bahkan setibanya di terminal, masih sempatnya ia mengantarkan saya untuk membeli tiket bus dan yang pasti, ia menitipkan pesan kepada sopir bus agar saya diperhatikan.

Kebaikan pertama yang saya terima tersebut hingga kini masih membekas. Dan menginspirasi saya untuk membantu orang yang kesulitan dalam menemukan kendaraan ke tempat tujuannya.

Kena Tipu di Terminal Bungurasih

Tiba di Terminal Bungurasih, bingung lagi. Para calo dan kenek bus silih bergantian menanyakan tujuan perjalanan saya. Dengan lugunya, saya memberikan catatan pada notes kecil kepada salah seorang calo.

Dalam sekejap, koper saya pun diangkut ke mobil dan mau tidak mau, saya harus ikut naik. Dan bersama kami, ikut naik dua orang temannya. 

Dalam hati saya berpikir, mati sudah. Saya bakal dirampok. Beruntunglah, uang kas yang saya bawa disimpan di dalam saku belakang celana pendek yang dijahit. Dan lapisan terluar, ya saya kenakan lagi celana panjang. Nah, uang untuk transportasi ini saya simpan di saku kiri dan kanan celana panjang.

Mereka bertiga berdialog dalam bahasa setempat yang belakangan saya baru tahu, bahasa Jawa. Lalu salah seorang menyampaikan harus bayar Rp 15.000 barulah diantar ke tujuan,  yang ternyata dekat dengan terminal. 

Puji Tuhan, setelah saya membayar Rp 15.000, mereka mau mengantarkan saya hingga pada tujuan, tetapi di drop dipinggir jalan saja. Terpaksa, saya harus memikul koper sambil mencari alamat dimaksud.

Kakak saya yang saat itu tinggal di Berbek, Waru begitu kaget ketika saya sampai. Maklumlah, saat itu komunikasi lebih sering dilakukan dengan surat-menyurat atau telegram. Ada sih yang punya telpon rumah tetap terbatas pada kalangan atas.

Kegiatan pendampingan terhadap anak-anak tak mampu. Belajar peduli dengan orang lain meskipun diri ini kurang mampu. Dok pribadi
Kegiatan pendampingan terhadap anak-anak tak mampu. Belajar peduli dengan orang lain meskipun diri ini kurang mampu. Dok pribadi

Disambut oleh Pengurus Gamanusratim

Perjalanan selanjutnya, saya harus berangkat ke Bogor. Tetapi tidak ada jalur bus tujuan Bogor. Akhirnya, diantar oleh kakak menuju stasiun kereta api Turi, Surabaya. Pesannya, turun di Stasiun Senen. Wow...perjalanan pun dimulai. Kereta ekonomi, lengkap dengan penghuni-penghuni tambahannya: pengamen, pengemis, penjaja makanan. Bahkan mungkin juga copet.

Sampai di Senen, saya mencoba untuk bertanya di mana harus naik bus menuju Bogor. Agak lupa, naik apa tetapi saya berhasil sampai di UKI Cawang, lalu mencari bus-bus menuju ke Bogor. 

Dan lagi-lagi Puji Tuhan, beberapa senior dari Keluarga Mahasiswa Nusa Tenggara Timur (Gamanusratim) membuat posko di Terminal Baranangsiang Bogor sehingga bisa menjaring anak-anak NTT yang datang melalui terminal bus.

Dan selanjutnya, senior-senior inilah yang mengurus kami. Dibawa ke kampus untuk mendaftar, mencari kos, atau menginap sementara di kos mereka sampai mendapatkan kos. 

Cara mereka memperlakukan kami seperti adik-adik kandung inilah yang kemudian membuat kami mengikuti jejak mereka. Melakukan kegiatan penyambutan mahasiswa baru setiap tahun.

Jatuh Bangun Belajar Komputer

Setelah mendaftar, kami mulai mengikuti orientasi kampus. Namanya MPK, diparalelkan dengan penataran P4. Selesai kegiatan tersebut, kami mulai dibagi per kelas, dan menjalani kegiatan matrikulasi.

Semester pertama, adalah semester penuh perjuangan. Selain harus menyesuaikan diri dengan budaya setempat, saya mengalami kendala yang besar sekali terutama pembuatan laporan. Sebab, laporan harus diketik dengan komputer dengan format yang ditentukan oleh setiap pengampu atau asisten mata pelajaran.

Boro-boro mengetik pakai komputer. Saya bahkan baru mengenal yang namanya komputer (desktop) saat itu. Kalau laporan kelompok, saya senang karena paling tidak cukup hadir saja dan memberi kontribusi satu-dua pikiran. 

Lalu teman-teman yang sudah bisa menggunakan komputerlah yang akan menjadi tukang ketik. Itu pun kebanyakan diketik di rental komputer.

Tapi saya tak putus asa. Setelah melakukan pendekatan kepada beberapa teman, jadilah saya diajarkan tentang bagaimana cara menggunakan komputer. Minimal tentang mengetik, menyimpan dan print. Dan sebagai imbalannya, ketika praktik pertanian yang mana ada kegiatan mencangkul, menanam dan lainnya, sayalah yang mengerjakannya. Mereka cukup meraba-raba tanah.

Bahkan, berkat kebaikan beberapa teman, saya pun bisa menjaga rental komputer tanpa dibayar. Sebagai imbalannya, saya boleh menggunakan komputer yang ada untuk belajar. 

Senangnya, dan akhirnya, selain bisa membuat tabel-tabel dengan excel, saya pun diajarkan untuk mengolah data mahasiswa dengan program SPSS. Dari situ, saya bisa mendapatkan sedikit uang saku.

Field Trip bersama teman-teman seangkatan. Dok pribadi
Field Trip bersama teman-teman seangkatan. Dok pribadi

Menjadi Guru Les Privat dan Pelatih Paduan Suara

Saya, termasuk mahasiswa yang hidupnya pas-pasan. Bahkan, sering mengalami kesulitan karena kiriman uang dari kampung yang selalu terlambat. Beruntung, ada beberapa teman yang sering menyelamatkan saya.

Selain membantu dan dibantu teman, saya pun ikut kegiatan paduan suara di Gereja. Dari sinilah, saya mulai membantu menjadi asisten pelatih paduan suara, hingga kemudian menjadi pelatih di beberapa tempat, termasuk di kampus swasta.

Sering kali saya mendapatkan dana dari membantu paduan suara ini. Beberapa anggota paduan suara malah menawarkan bantuan. Mereka meminta saya bisa memberi les private kepada anak-anak mereka dan tentu saja saya dibayar untuk itu.

Dengan bayaran dari les privat ini, saya berhasil membiayai kegiatan pendidikan di Bogor. Juga untuk kebutuhan hidup lainnya.

Semangat Merantau Tetap Ada Hingga Kini

Cukup lama saya tinggal di Bogor. Selama 14 tahun. Sempat bekerja di Jakarta, namun tetap memilih Bogor sebagai tempat tinggal. 

Kebetulan, ada seorang dosen yang meminta beberapa anak untuk tinggal dan merawat rumahnya. Sementara beliau tinggal di mess.

Hingga tahun 2007, saya memutuskan untuk pulang ke Kupang dan bekerja di Kupang saja. Namun, sengat merantau saya tetap ada. Walaupun tinggal menetap di Kupang, tempat kerja saya tidaklah di Kupang. Saat ini, saya bekerja di Lampung.

Dan sesekali, ketika libur saya sempatkan diri untuk bertemu dengan teman-teman di Bogor, atau berkunjung ke Bogor. Tempat di mana saya ditempa menjadi orang yang mandiri dan tahan banting hingga kini.

Demikian beberapa pengalaman ketika merantau untuk belajar di rantau orang. Tak perlu khawatir. Intinya, jika kita baik kepada orang maka orang lain akan lebih baik lagi pada kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun