Mohon tunggu...
Gregorius Nafanu
Gregorius Nafanu Mohon Tunggu... Petani - Pegiat ComDev, Petani, Peternak Level Kampung

Dari petani, kembali menjadi petani. Hampir separuh hidupnya, dihabiskan dalam kegiatan Community Development: bertani dan beternak, plus kegiatan peningkatan kapasitas hidup komunitas lainnya. Hidup bersama komunitas akar rumput itu sangat menyenangkan bagiku.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Menyoal Stunting yang Sulit "Move On" dari NTT

6 Maret 2022   14:43 Diperbarui: 8 Maret 2022   08:54 770
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat. Dok. SindoNews

Masih menurut Kemenkes RI, pertumbuhan janin dan risiko terjadinya stunting dipengaruhi oleh kesehatan dan gizi ibu sebelum dan saat kehamilan, juga masa setelah persalinan. Jarak kehamilan yang terlalu dekat, ibu yang masih remaja dan asupan nutrisi yang kurang saat kehamilan pun berpengaruh terhadap kekerdilan tubuh anak, selain juga faktor genetis.

Tinggi badan Balita umur 1-5 tahun menurut Peraturan Kemenkes tahun 2020 adalah sebagai berikut:

Tinggi badan Balita normal menurut peraturan Kemkes tahun 2020. Foto: halodok indonesia
Tinggi badan Balita normal menurut peraturan Kemkes tahun 2020. Foto: halodok indonesia

Pola makan didefinisikan sebagai cara mengatur kuantitas makanan dan jenisnya sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup, baik kesehatan, psikologi maupun kaitannya dengan pencegahan dan proses penyembuhan sakit. Kebiasaaan makan yang baik, adalah represntasi pemenuhan gizi yang optimal (Depkes RI, 2014).

Di NTT, pola makan pun turut berpengaruh terhadap kesehatan, utamanya pada ibu hamil, ibu menyusui dan Balita. Mengkonsumsi makanan bergizi dan bervariasi, masih menjadi hal yang susah diatur dalam keluarga.

Beberapa kondisi internal berikut, menggambarkan mengapa stunting sulit move on dari NTT terkait pola makan dan pembagian jatah makanan dalam keluarga:

Persoalan utama, kemiskinan. Keluarga-keluarga miskin lebih banyak mengkonsumsi makanan yang hanya mengandung kalori. Jagung saja, singkong saja, nasi putih saja, atau paling tidak dimakan dengan sayuran yang kandungan nutrisinya pun sudah hilang akibat salah olah.

Persoalan kedua, tabu memakan makanan tertentu. Ada keluarga tertentu yang melarang anaknya untuk mengkonsumsi kuning telur. Juga bagian daging tertentu seperti paha atau dada ayam yang tidak diberikan untuk anak, tetapi untuk bapaknya.Ini merupakan pembagian makanan di dalam keluarga yang masih kurang adil.

Persoalan ketiga, ingin melayani tamu dengan baik. Di kampung, anak-anak jarang makan daging ayam. Padahal, keluarga yang bersangkutan rajin memelihara ayam kampung. Ketika ada tamu, barulah ayam dipotong. Dan apakah anak mendapatkan porsinya yang bergizi? Kebanyakan tidak. Sambil menyiapkan makanan, anak yang menangis akan mendapatkan nasi putih plus ceker ayam bakar. Setelah itu, anak mengantuk dan tidur. Ketika dibangunkan, tak mau makan lagi. Dan makanan pun habis. Anak tidur hingga pagi hari.

Keterlibatan LSM Internasional Cukup Membantu Tapi...

Cukup banyak LSM Internasional (INGOs)  yang terlibat secara intensif di Provinsi NTT. Lumayan banyak daerah hingga ke pelosok yang pernah menjadi penerima manfaat dari implementasi program-program penanggulangan kemiskinan di NTT.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun