Mohon tunggu...
Gregorius Nafanu
Gregorius Nafanu Mohon Tunggu... Petani - Pegiat ComDev, Petani, Peternak Level Kampung

Dari petani, kembali menjadi petani. Hampir separuh hidupnya, dihabiskan dalam kegiatan Community Development: bertani dan beternak, plus kegiatan peningkatan kapasitas hidup komunitas lainnya. Hidup bersama komunitas akar rumput itu sangat menyenangkan bagiku.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Menyoal Stunting yang Sulit "Move On" dari NTT

6 Maret 2022   14:43 Diperbarui: 8 Maret 2022   08:54 770
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (shutterstock via kompas.com)

Provinsi NTT kembali menyumbang poin yang cukup besar untuk persoalan stunting di Indonesia. Tak tanggung-tanggung, 5 kabupatennya masuk dalam prevalensi 10 daerah dengan angka stunting tertinggi. Demikian hasil Studi Gizi Indonesia (SGI) tahun 2021 yang dipublikasikan secara tertulis oleh Biro Umum dan Humas Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasiona (BKKN) per Jumat (4/3/2022) lalu.

Hasil ini diinformasikan, terkait dengan perkembangan pelaksanaaan program prioritas percepatan penurunan stunting yang pada 246 Kabupaten dan Kota di Indonesia.

Lima kabupaten dimaksud adalah Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Timor Tengah Utara (TTU), Alor, Sumba Barat Daya (SBD) dan Manggarai Timur (Matim). Bahkan, TTS dan TTU menduduki posisi pertama dan kedua untuk prevalensi tertinggi se- Indonesia dengan angka di atas 46 persen.

Tak hanya itu. Dari 22 kabupaten/Kota, tak ada satu pun yang masuk zona hijau. Lima belas kabupaten berlabel merah karena angka prevalensi stunting di atas 30 persen. Sisanya, 6 kabupaten dan 1 kota (Kota Kupang) menyandang status kuning dengan kisaran prevalensi stunting antara 20 -- 30 persen.

dr Hasto Wardoyo, Sp.OG(K)-Kepala BKKBN. Foto: Tempo.com
dr Hasto Wardoyo, Sp.OG(K)-Kepala BKKBN. Foto: Tempo.com

Dengan demikian, Provinsi NTT pun kembali dinobatkan sebagai provinsi penyumbang stunting terbesar secara nasional.

Gubernur NTT, Viktor Bungtilu Laiskodat pun kembali menegaskan kepada para bupati dan pelaksana program-program yang berkaitan dengan gizi dan kesehatan masyarakat NTT.

Tanpa tedeng aling-aling zonder basa-basi, Gubernur Viktor meminta para bupati untuk turun ke bawah untuk melihat langsung kondisi rakyatnya.

Saking marahnya, Gubernur Viktor bahkan mengancam untuk memukul para bupati yang tidak serius sehingga daerahnya mengalami peningkatan status stunting secara terus-menerus, seperti diberitakan merdeka.com beberapa waktu lalu.

Stunting dan Pola Makan

Menurut Kemenkes yang disesuaikan dengan  WHO, stunting (kerdil) adalah kondisi dimana balita memiliki panjang atau tinggi badan yang kurang jika dibandingkan dengan umur.

Masih menurut Kemenkes RI, pertumbuhan janin dan risiko terjadinya stunting dipengaruhi oleh kesehatan dan gizi ibu sebelum dan saat kehamilan, juga masa setelah persalinan. Jarak kehamilan yang terlalu dekat, ibu yang masih remaja dan asupan nutrisi yang kurang saat kehamilan pun berpengaruh terhadap kekerdilan tubuh anak, selain juga faktor genetis.

Tinggi badan Balita umur 1-5 tahun menurut Peraturan Kemenkes tahun 2020 adalah sebagai berikut:

Tinggi badan Balita normal menurut peraturan Kemkes tahun 2020. Foto: halodok indonesia
Tinggi badan Balita normal menurut peraturan Kemkes tahun 2020. Foto: halodok indonesia

Pola makan didefinisikan sebagai cara mengatur kuantitas makanan dan jenisnya sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup, baik kesehatan, psikologi maupun kaitannya dengan pencegahan dan proses penyembuhan sakit. Kebiasaaan makan yang baik, adalah represntasi pemenuhan gizi yang optimal (Depkes RI, 2014).

Di NTT, pola makan pun turut berpengaruh terhadap kesehatan, utamanya pada ibu hamil, ibu menyusui dan Balita. Mengkonsumsi makanan bergizi dan bervariasi, masih menjadi hal yang susah diatur dalam keluarga.

Beberapa kondisi internal berikut, menggambarkan mengapa stunting sulit move on dari NTT terkait pola makan dan pembagian jatah makanan dalam keluarga:

Persoalan utama, kemiskinan. Keluarga-keluarga miskin lebih banyak mengkonsumsi makanan yang hanya mengandung kalori. Jagung saja, singkong saja, nasi putih saja, atau paling tidak dimakan dengan sayuran yang kandungan nutrisinya pun sudah hilang akibat salah olah.

Persoalan kedua, tabu memakan makanan tertentu. Ada keluarga tertentu yang melarang anaknya untuk mengkonsumsi kuning telur. Juga bagian daging tertentu seperti paha atau dada ayam yang tidak diberikan untuk anak, tetapi untuk bapaknya.Ini merupakan pembagian makanan di dalam keluarga yang masih kurang adil.

Persoalan ketiga, ingin melayani tamu dengan baik. Di kampung, anak-anak jarang makan daging ayam. Padahal, keluarga yang bersangkutan rajin memelihara ayam kampung. Ketika ada tamu, barulah ayam dipotong. Dan apakah anak mendapatkan porsinya yang bergizi? Kebanyakan tidak. Sambil menyiapkan makanan, anak yang menangis akan mendapatkan nasi putih plus ceker ayam bakar. Setelah itu, anak mengantuk dan tidur. Ketika dibangunkan, tak mau makan lagi. Dan makanan pun habis. Anak tidur hingga pagi hari.

Keterlibatan LSM Internasional Cukup Membantu Tapi...

Cukup banyak LSM Internasional (INGOs)  yang terlibat secara intensif di Provinsi NTT. Lumayan banyak daerah hingga ke pelosok yang pernah menjadi penerima manfaat dari implementasi program-program penanggulangan kemiskinan di NTT.

Beberapa di antaranya: CARE, OXFAM, PLAN, Save the Children, Child Fund, ACF, Swiss Contact, GTZ, VECO, ANTARA, dan sebagainya. Lembaga-lembaga ini, biasanya menggandeng LSM lokal yang bertindak sebagai pelaksana di lapangan.

Selain ikut terlibat dalam penyediaaan sarana fisik berupa penyediaan sarana air bersih, jamban, beberapa unit rumat sehat, lembaga-lembaga ini terlibat dalam usaha peningkatan kapasitas masyarakat melalui berbagai pelatihan, penyuluhan dan berbagai demplot terkait dengan gizi dan kesehatan.

Bahkan untuk menangani gizi buruk anak secara terpusat, CARE pernah mendirikan Therapeutic Feeding Centre (TFC) atau Pusat Pemulihan Gizi (PPG) di Bitefa, TTU. Sayangnya, setelah diserahterimakan kepada penguasa setempat, sarana ini tak sanggup dipertahankan.

Keterlibatan LSM internasional cukup membantu. Tetapi kembali mengalami hal buruk, manakala program-program lembaga tersebut selesai, dan diserahterimakan kepada masayrakat dan pemerintah daerah setempat.

Kendala biaya, baik dari swadaya masyarakat sendiri maupun alokasi dari dana pemerintah daerah setempat menjadi penyebab utama terbengkelainya program peninggalan lembaga-lembaga ini. Di sisi lain, kesadaran masyarakat untuk merawat fasiltas-fasilitas publik yang dibangun masih sangat rendah.

Menuju Target 14 Persen

Menurut Hasto Wardoyo, Kepala BKKBN, kegiatan-kegiatan terkait dengan penurunan angka stunting harus dilakukan dengan intesif. Sebab Presiden Jokowi telah berkomitmen untuk menjadikan prevalensi stunting nasional ada pada level 14 persen.

Lantas, akankah 22 Bupati/Wali kota se-NTT bersama sang Gubernur mampu mendekatkan angka prevalensi stunting daerahnya yang masih dominan berwarna merah dan kuning?

Mampukah seluruh masyarakat NTT bahu-membahu memperbaiki status gizi provinsinya, termasuk memperbaiki prevalensi stunting ke arah 14%? 

Kerja keras dan kerja sama yang baik, harusnya mampu memperbaiki kondisi ini. Ego sektoral, ego daerah, hendaknya dikikis demi tercapainya tujuan-tujuan ini.

Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat. Dok. SindoNews
Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat. Dok. SindoNews

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun