Mohon tunggu...
Viride
Viride Mohon Tunggu... Buruh - penulis

Penulis tidak dapat menulis secepat pemerintah membuat perang; karena menulis membutuhkan pemikiran. - Bertolt Brecht (Penulis dari Jerman-Australia)

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Cinta Berwarna Hitam (Part - 5 END)

5 April 2019   16:31 Diperbarui: 5 April 2019   16:35 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi foto : pixabay.com

"Aku tak tahu," jawabnya, hanya menggeleng lemah. "Ini sudah terjadi beberapa kali." Ia menatapku pilu. Ada cerita masa lalu yang tidak pernah diceritakannya.

"Vanita," panggilku pelan, "jangan samakan aku dengan semua laki-laki yang pernah menyakitimu, kalau kau terus memikirkan masa lalu, hubungan kita tidak akan berhasil."

"Kau tidak tahu. Dulu aku begitu terluka. begitu susahnya mengobati luka masa lalu sampai aku berhasil berdiri di sini, di depanmu."

"Bukan hanya kau yang pernah terluka, aku juga sama dan orang-orang yang berada di luar sana juga pernah mengalami masa-masa seperti kita. Kau hanya perlu belajar menerima bukan menjadikannya senjata." Dengan tenang aku berusaha mengontrol keadaan.

Sesaat Vanita menunduk, matanya terpejam. Perempuan itu menangis. Hatiku iba dan kemudian memeluknya. "Apa kau ingin duduk lagi? Tenangkanlah pikiranmu sebelum pulang," kataku lalu menuntunnya duduk. "Tunggu di sini, aku ambilkan segelas air."

Aku bergegas masuk lalu keluar dengan gelas terisi penuh air putih. Kemudian memberikannya pada Vanita. Perempuan itu menyambut dan meneguk isinya beberapa kali. Sambil duduk di sampingnya, aku menunggu ia bereaksi.

"Aku mau ke kamar mandi sebentar," katanya langsung berdiri dan pergi.

Ponsel yang sejak tadi di atas meja, kuambil dan membuka-buka beberapa aplikasi di sana. Satu pesan muncul, ketika kubaca, ternyata kiriman dari Rosa. Perempuan itu bertanya tentang apa yang tadi ia pertanyakan lewat pesan. Aku bingung karena tidak merasa menerima pesannya.

Dan ketika kugeser layar ponsel itu ke atas, satu pesan tampak janggal di mataku. Sepertinya pesan itu terkirim saat aku ke dalam beberapa menit lalu saat mengambil segelas air putih.

Pesan itu dikirimkan Rosa, kata-kata di sana membuatku jantungku berdebar tak karuan. Kuperhatikan keberadaan Vanita yang masih belum terlihat akan keluar. Ketegangan terasa mengalir di setiap sendi tubuhku. Pesan yang dikirmkan Rosa, berisi pernyataan cinta dan ia menunggu jawabanku saat itu juga.

Apakah Vanita sudah membaca pesan itu?

 Cukup lama Vanita tak memperlihatkan diri. Aku pun masuk, karena cemas. Jangan sampai ia terpeleset di kamar mandi seperti Rosa atau malah keadaannya lebih buruk lagi.

Tapi begitu sampai di dapur yang sejurus dengan kamar mandi, Vanita terlihat berdiri membelakangiku.

"Huff, kukira kau jatuh di kamar mandi. Lantainya memang licin, karena aku sedang malas membersihkannya," kataku melangkah ke arahnya.

Yang terjadi selanjutnya sungguh tak kusangka. Vanita berbalik dan menodongkan pisau dapur tepat di depanku.

"Vani! Kau kenapa? Letakkan pisaunya di meja!" desakku ketakukan.

Wajah kekasihku itu tersenyum sinis, sorot matanya datar. Langkahnya perlahan mendekat dan aku perlahan menjauh.

"Kau tidak perlu berbohong lagi," katanya dengan nada dingin. "Aku sudah membaca pesan dari perempuan itu. Dia menyatakan cinta dan tinggal menunggu jawabanmu."

"Aku tidak ada perasaan apa pun padanya, jadi pertanyaan itu tidak perlu dijawab." Setenang mungkin aku menahan gemetar yang menjalar di tubuhku. Hanya perlu perhitungan yang tepat untuk mengambil alih pisau itu, aku tahu, karena dulu pernah mengalami kejadian yang sama.

"Benarkah?" Vanita tertawa mengejek. "Saat ini kau mungkin menjawab tidak, tapi nanti jawabanmu akan menjadi iya. Aku tidak ingin terluka lagi," katanya mengakhiri kalimat dengan langkah cepat.

Pisau itu lurus bergerak ke depan. Aku lihai menghindar dan sigap menangkap tangannya, berusaha melepaskan senjata itu. Ketika berhasil merebut benda tajam itu, tanpa perlu banyak bicara, aku berbalik dan menusukkannya ke tubuh Vanita.

Dan ya. Perempuan seperti itu memang sangat merepotkan. Aku sudah cukup dalam batas kesadaran untuk tidak gila, tapi ternyata lelah juga menanti seseorang untuk menjadi lebih baik.

Mencoba dengan segenap kekuatan untuk mengerti, menangkan, berusaha bersama berpegangan tangan demi terciptanya cinta dan kasih sayang, tapi sia-sia, Jadi jangan salahkan aku kalau harus mengotori tangan ini dengan darah lagi.

****

Sejajar dengan dua gundukan tanah yang lain, sesaat kupandangi gundukan tanah itu, di dalamnya tertanam sebuah kenangan hidup yang sangat kusayangi, dan aku mengerti mengapa kenangan itu sangat kubenci hingga akhirnya kukubur di halaman belakang rumah ini.

SELESAI

                                                                                                                               

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun