Aku menelisik maksud senyumannya. Menatap dengan saksama, apakah ada rasa kecemburuan di sana. Terbata, khawatir membuat perempuan itu benar-benar memenuhi kepalanya dengan prasangka yang tidak-tidak, aku memberikan jawaban logis.
"Um, kurasa, perempuan mana pun selalu terlihat cantik, karena mereka perempuan. Lain halnya kalau mereka laki-laki, tidak mungkin disebut cantik. Benar, kan?" tanyaku membuat kalimat terasa lucu. Apa menurut kalian begitu?
Vanita melemparkan pandangannya ke sekeliling ruangan. "Tapi sepertinya, dia menyukaimu." Pada kata terakhir mata perempuan itu langsung menghujamku.
Dahiku berkerut. Benar saja, ia cemburu. "Aku tak tahu apa dia menyukaiku atau tidak. Yang jelas kami tidak ada hubungan apa-apa."
"Oh ya. Hemm ... entahlah. Mungkin saja yang terjadi, sebelum aku datang, kau tidak sedang membantunya berdiri, tapi melakukan sesuatu yang aku tak tahu."
"Maksudmu?" tanyaku dengan kening berkerut.
Oh, Tuhan. Ini benar-benar hanya hal sepele yang tidak perlu diperdebatkan, karena memang tidak ada yang terjadi, tapi Vanita seolah menginginkan kecurigaannya dibenarkan.
"Vani, jangan berprasangka buruk padaku. Harus bagaimana lagi menjelaskannya kalau aku hanya menyayangimu?" Aku kesal.
"Cuma merasa aneh. Ini sudah malam dan perempuan itu ada di rumahmu. Tiba-tiba saat melihatku datang, kau mengatakan dia terpeleset di kamar mandi."
"Itulah yang terjadi. Memangnya kau mengharapkan apa?" Aku menatapnya dengan emosi yang mulai menggebu.
Merasa ditantang, Vanita membalas tatapanku. Sorot matanya nanar dan tajam. "Tidak ada, tapi aku tidak tahu apa yang sudah terjadi sebelum aku datang."