Mohon tunggu...
Viride
Viride Mohon Tunggu... Buruh - penulis

Penulis tidak dapat menulis secepat pemerintah membuat perang; karena menulis membutuhkan pemikiran. - Bertolt Brecht (Penulis dari Jerman-Australia)

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Cinta Berwarna Hitam (Part - 4)

4 April 2019   10:16 Diperbarui: 4 April 2019   10:26 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi foto : pixabay.com

"Tidak ada yang terjadi, Vani. Please, percayalah." Aku amat sangat memohon agar perempuan itu tidak membiarkan kecurigaan memenangkan kesalahpahaman di antara kami.

Sesaat keadaan kembali hening, ponselku yang berada di atas meja berbunyi. Seseorang menguhubungi. Nama Rosa terpampang jelas di sana.

"Wahh, dia sudah pulang, tapi kenapa menghubungimu? Apa perlu laporan kalau setiap kali sampai di rumah?" Vanita melemparkan sorot matanya yang menusuk.

Untuk sebentar saja, aku tak menghiraukan kata-katanya. Mengambil ponsel dan menerima panggilan. "Ada apa, Rosa? ... ya ... oke ... tidak apa-apa." Kujawab beberapa ucapan Rosa, lalu komunikasi usai.

Sebelum ditanya, aku langsung memberikan pernyataan pada perempuan yang kini masih dengan kecurigaan terbesarnya. "Dia minta maaf, karena sudah merepotkan dan berterima kasih karena kita sudah membantu mengobati kakinya. Ada yang perlu kau curigai lagi?" tanyaku kesal, membalas sorot matanya, tak peduli senjata apa yang akan keluar dari sana.

"Apa dia memberikan ciuman jarak jauh?" tanyanya membalas kalimatku dengan enteng. Jelas senyumnya mengejek.

Aku terpana, tak menyangka pertanyaan brengksek itu harus Vanita katakan. Hanya bisa menatapnya dengan kerutan dahi yang makin dalam dan mulut yang setengah terbuka. Tak tahu harus berkata apa.

"Baiklah kalau dia tidak melakukan hal itu. aku harus pulang, jadi kau bisa kembali menghubunginya dan menyelesaikan obrolan malam kalian." Vanita berdiri dan bergegas menuju pintu.

Buru-buru aku mengejar. Menarik tangannya dan berusaha menyelesaikan masalah kami. "Vanita tunggu. Apa maksudmu? Kenapa kau masih saja mencurigaiku?  Sebenarnya apa yang kau inginkan?" Saat itu, hatiku terasa perih. Perempuan di depanku itu masih memelihara kecurigaan dan kecemburan yang kukira tidak akan kembali membesar.

Aku menatapnya dengan terluka. ia seolah tak peduli kalau sifat jelek itu benar-benar menyayatku sedikit demi sedikit.

"Ernest, aku mencintaimu, tapi aku tidak bisa melihatmu dengan perempuan lain walaupun hanya sekedar melakukan obrolan biasa, karena aku tahu mereka menyukaimu," katanya. Cemberut, seakan permen yang ada di tangannya akan dirampas anak lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun