Mohon tunggu...
Gloria Pitaloka
Gloria Pitaloka Mohon Tunggu... Freelancer - Ibu Rumah Tangga dan Penulis

Perempuan yang mencintai bumi seperti anak-anaknya sendiri

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

BISIKAN-BISIKAN YANG DIDENGAR MAHARANI

13 Juni 2023   11:32 Diperbarui: 14 Juni 2023   15:23 243
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku tak terima dengan tudingan tersebut. Dengungan warga semakin terdengar. Sempat kulihat wajah Pak Kuwu yang mendadak pucat pasi.

Mereka berdebat dengan sengit. Suasana semakin panas. Pak Kuwu tidak mampu lagi membelaku. Mungkin dia lebih percaya ucapan Kang Kardi, jawara desa ini. Karena memang tempo hari aku melanggar pantangan dengan memasuki Hutan Larangan untuk menyelidiki para pelaku pembalakan liar. Sebelumnya, aku melihat banyak batang kayu dan daun hijau terbawa arus sungai, juga serbuk gergaji mengapung setiap hari. Di desa ini ada pantangan dalam menebang pohon. Penebangan kayu hanya tiga bulan dalam setahun, di bulan-bulan tertentu untuk keperluan pembuatan rumah, dan bulan ini bukan bulan yang diperbolehkan.

Pantangan ini kudapat dari hasil analisisku, seperti dituturkan kepala desa. Hal ini sebenarnya dimaksudkan untuk menjaga kelestarian alam, warisan adat leluhur. Begitu juga dengan mitos Hutan Larangan. Dengan adanya pantangan, maka hutan akan dijaga dengan adat dan budaya.

Namun, entah mengapa sudah setahun ini debit air di sungai menurun dan banyak mata air yang kering. Hal ini menimbulkan spekulasi dari kami, para mahasiswa, untuk menyelidikinya dari sumber utama hulu sungai yaitu Hutan Larangan sebagai sumber mata air. Akan tetapi, banyak kendala menghadang kami. Dimulai dari kecelakaan tunggal yang ganjil, teror hantu, juga surat kaleng. Beberapa mahasiswa yang mulai ciut nyalinya memilih menyerah dan berhenti. Tak sedikit yang memilih pulang.

Kami yang bertahan, fokus bakti pada masyarakat. Mengajar anak-anak dan warga sesuai permintaan Pak Kuwu yang menginginkan kemajuan bagi warganya---sehingga dekan kami untuk pertama kalinya mengagendakan desa ini sebagai salah satu desa wajib pilihan KKN. Di desa terpencil ini, warga masih banyak yang buta huruf dan di bawah garis kemiskinan. Kami juga mengajar baca tulis Al-Qur'an, memberikan pelatihan kerajinan tangan dari bambu dan rotan agar bernilai ekonomis, dan mengedukasi pertanian. Namun, diam-diam aku tetap menyelidiki hal itu sendirian. Terkadang juga ditemani oleh Murji, anak Pak Kuwu yang memiliki hobi bertualang. Tentu tanpa sepengetahuan bapaknya.

Suara riuh berdengung warga antara percaya dan tidak. Aku pun tidak putus asa untuk meyakinkan mereka.

"Sudahlah! Ayo kita adili perempuan ini ke Bukit Pertobatan!" seru Kang Kardi. Tanpa diduga, ia mencekal dan menyeretku. Sakit rasanya.

"Kau harus mendapatkan pelajaran, Perempuan Sundal! Berani-beraninya menipu warga dan melawan Kardi!" Kang Kardi berbisik di telinga. Seringai tipis kulihat di bibirnya, namun sepertinya luput dari perhatian warga. Lelaki ini begitu menjijikkan.

Seketika aku teringat Nyai Darni, wanita gila korban hukuman pasung yang selalu berteriak, "Jangan nodai aku, Kardi Genderuwo!"

Di antara rasa takut, pikiranku melayang. Memikirkan kemungkinan benang merah antara Kang Kardi dengan penyebab Nyai Darni dipasung sehingga menjadi gila. Jangan-jangan ....

Aku bergidik dan langsung menarik tanganku. Sayang, cekalannya begitu kuat sehingga justru membuatku semakin kesakitan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun