"Ada apa ini?" tanya kepala desa yang biasa dipanggil Pak Kuwu.
"Pak Kuwu, seluruh warga desa harus mengungsi malam ini. Saya mendengar gemuruh sungai yang berbeda dan jeritan ketakutan," jelasku sambil menunjuk ke arah bukit.
"Apa kau tidak sedang mengigau?" tanyanya. Aku terperangah mendengarnya.
"Percayalah, saya tidak berbohong. Saya baru saja menuruni bukit itu. Saya lihat, air sungai berbuih dan langit mendung bergulung-gulung tebal. Itu ciri-ciri banjir bandang. Saya juga sudah melihat di Hutan Larangan banyak pohon ditebang!" jelasku.
Suara-suara berdengung menyambut penjelasanku. Sejujurnya, soal sungai aku hanya melihat dalam pandangan batinku saja. Ini adalah firasat. Sudah beberapa kali aku mengalaminya, dan benar terjadi. Warga menggeleng-gelengkan kepala dan sibuk berdebat.
Seorang lelaki paruh baya yang mengenakan ikat hitam dengan pangsi warna senada berteriak dan menunjuk-nunjuk ke arahku. "Dia berbohong! Dia ingin meneror kita dengan cerita bohongnya! Bukankah tempo hari dia sudah melanggar pantangan desa ini untuk tidak menginjakkan kaki di Bukit Larangan?"
Deg!
Aku tahu, dia adalah salah satu kepala pembalakan liar. Saat itu aku melihatnya di hutan, memimpin rombongannya.
"Tidak! Saya berkata benar!"
"Apa kalian percaya pada anak ingusan ini? Sudah kukatakan dia harus dipasung karena melanggar pantangan. Kalaupun ada bencana, pasti dia yang mengundang!" tudingnya.
Dipasung? Aku ingat akan adat tradisi yang dijelaskan kepala desa ini ketika pertama kali datang. Siapa pun warga yang ketahuan mendatangi Hutan Larangan, maka ia harus dikenakan hukuman adat.