Oleh : Gloria Pitaloka
Pesisir Utara, akhir tahun 1987
Suara kendang gamelan terus bertalu menggoda jiwa. Menggerakkan hasrat untuk menggoyangkan badan. Dalam suasana remang pantai, obor berkelap-kelip di jarak.
Di tengah lingkaran obor antara nayaga dan penonton, terdapat dogdog [1] kecil di dalam baskom yang dipukul panjak. Suaranya menggendam, menguasai, melengking terbawa angin malam. Menarik hati darah tua maupun muda dan para pamayang di mana pun mereka berada.
Teriakan-teriakan syur dari penonton maupun niyaga susul-menyusul, mengiringi gairah bercinta yang semakin membara. Goyang Sang Ronggeng menarik hati dan menggoda naluri lelaki.
Nyai Ningrum mengalungkan selendang pada Darmaji, jawara Kampung Haur yang terletak di Basisir Utara, perkampungan nelayan.
Sebelum menari, Ningrum sudah mempersiapkan diri menggunakan bermacam-macam ritual pemikat. Semakin banyak yang dipakai, semakin besar daya tariknya, semakin ampuh pula mantranya. Salah satu yang dia pakai adalah susuk berlian olahan Aki Amo, dukun sakti andalannya.
Ningrum sudah lama mengincar Darmaji, pemuda terkaya dan terkuat di kampungnya. Konon, belum ada seorang pun yang mampu mengalahkannya dalam pertarungan.
Sebagai penari ronggeng terbaik, dia yakin bisa mendapatkan apa pun keinginannya. Kali ini, jika tidak berhasil bongkar kandang[2] milik Darmaji, jangan sebut nama Nyai Ningrum sebagai bintang ronggeng Kandanghaur. Di kampung-kampung tetangga, hingga Desa Pakidulan Pegunungan, namanya sudah tersohor. Aneh bin ajaib, hanya Darma, si teman masa kecil yang tidak pernah tertarik padanya.
Akan tetapi, tidak untuk malam ini. Ningrum sudah diberi informasi oleh panjak Una---kepala ronggengnya---bahwa malam ini Darma dan anak buahnya baru pulang mencari ikan selama seminggu. Bisa dipastikan, hasil tangkapannya banyak. Mereka akan berpesta.