“Ayo, Mun kita pulang, lelah sekali aku,” kata Warso sambil memakai sandalnya.
“Sebentar, kita belum berkenalan dengan cewek-cewek itu.” Timun mengulum senyum.
Mereka saling berkenalan ketika Timun mendahului mengulurkan tangan, lalu mengajak mereka pulang bareng.
“Beli kerak telor dulu, ya, Mun. Aku lapar betul, nih,” ucap Warso. Dia merasakan tubuhnya butuh asupan enerji.
Keduanya kemudian berjalan keluar sambil mencari-cari pedagang makanan khas Betawi itu. Tapi, kok tidak ada satu pun ya? Dan, mana kelima perempuan yang tadi menyertainya? Warso dan Timun saling berpandangan.
“War, kok tempat ini jadi sepi sekali ya? Apa para pengunjung sudah pulang atau kita salah jalan?” tanya Timun. Kali ini dia mulai kebingungan.
Ketika keduanya menoleh ke belakang, terlihat bangunan Rumah Sakit dengan cahaya remang. Sekelilingnya sepi dan hening, dikitari pepohonan lebat dan bergoyang-goyang daunnya ditiup angin malam, membuat bulu kuduk Warso dan Timun berdiri.
“Ayo, pulang, Mun!”
“Iya, tapi jalannya lewat mana?”
Timun ingin berjalan secepat mungkin, namun kakinya tersandung sesuatu. Rupanya sobekan koran yang berceceran di atas tanah. Salah satunya diambil oleh Timun, dan di keremangan dia dapat melihat judul berita: “Lima Gadis Ditemukan Tewas”, dengan keterangan, Kelima mayatnya ditemukan di pinggir jalan, kemudian di bawa ke RS Kemajoran.
“Waduh!” ujar Timun hampir menjerit, ketika melihat tanggal koran tersebut: 25 Juni 1971.