Mohon tunggu...
Granito Ibrahim
Granito Ibrahim Mohon Tunggu... Desainer Grafis -

Fotografer jalanan dan penulis fiksi yang moody.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[HORORKOPLAK] Rumah Mayat RS Kemayoran

12 Januari 2017   13:03 Diperbarui: 12 Januari 2017   13:20 1058
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Timun tetap bersikeras ingin mengunjungi Jakarta Fair. Kali ini Timun mengajak Warso untuk menemani. Dipanggil Timun oleh teman-temannya karena bentuk kepalanya agak lonjong dan rambutnya dibiarkan tumbuh cuma satu sentimeter.

“Mun, jadi ke Pekan Raya?” tanya Warso di sebuah sore.

“Jadi, jadi, besok kita berangkat. Tapi, sori, aku nggak jadi ngajak Ngatinah. Duitku pas-pasan.”

“Lho, ada rencana nggandeng Tinah to? Kok ndak bilang?”

“Hehe, aku mau nakut-nakutin dia tadinya, main ke Rumah Hantu di sana.”

“Dasar modus!”

***

Warso kangen mencicipi kerak telor. Timun ingin adu nyali di Rumah Hantu. Dan siapa tahu nanti ada cewek-cewek yang ketakutan lalu bersandar pada dirinya.

“Nah, modus lagi,” ujar Warso sesampai di tempat hiburan yang diadakan untuk memperingati ulang tahun DKI.

“Hehe...” Timun Cuma senyum kecil, sebab dia belum pernah masuk Rumah Hantu, juga apakah masuknya berdua saja atau bagaimana, tidak jelas. Andaikata berdua saja dengan Warso yang penakut itu, Timun agak kurang semangat.

RUMAH MAYAT RS KEMAYORAN, itu huruf besar-besar tertera dengan warna merah, dari jauh sudah telihat meski Jakarta Fair penuh dijejali masyarakat yang haus hiburan.

“Beli Kerak Telor dulu, Mun,” kata Warso sambil menelan liur.

“Tenang-tenang, mereka sampai malam dagang, nanti saja. Kita antre karcis dulu.”

Timun tak sabar lagi mengunjungi Rumah Hantu tanpa perasaan takut. Dia yakin, justru akan geli menyaksikan Warso bakalan terbirit-birit, berteriak-teriak. Senyum mengembang lebar di wajahnya, hingga giginya yang kelabu terlihat jelas.

Timun kepo mau melihat pocong-pocongan, manusia serigala atau apa pun yang selama ini sering diperbincangkan orang. Buat dia dan teman-temannya, topik yang misterius lebih seru ketimbang berdebat mengenai sepak bola.

Baru langkahnya menuju tempat pembelian tiket masuk, berkeliaran pocong, kuntilanak, drakula, frangkenstein hingga zombie. Yang melayani tiket pun memakai pakaian suster, namun bibirnya sobek, ada pula yang bertaring dan kepalanya mengeluarkan darah.

“Waduh, Mun, aku nggak ikutan, ah.” Warso mulai ketakutan. Dan ketakutannya ditambah dengan bau kemenyan yang menyeruak di seluruh ruangan.

Timun tertawa-tawa saja, sebab dia tahu semuanya itu hanya riasan belaka. Tapi, Timun tak menyangka, manakala masuk pintu ruangan “angker” harus bergantian, dan jumlahnya ditentukan tujuh orang acapkali mendapat giliran. Ada jeda lima menit untuk giliran selanjutnya. Panitia memang menutup kemungkinan pengunjung beramai-ramai di dalam sana. Agar maksimal tingkat ketakutannya. Pasti begitu, pikir Timun.

Untungnya ada lima gadis di belakang mereka berdua. Jadi pas tujuh orang. Gadis-gadis remaja yang raut wajahnya sudah mulai pucat pasi, saling bergandengan satu sama lain. Berbisik-bisik bertukar kecemasan.

“Mas, kita ikut di belakang kamu, ya,” kata salah seorang gadis.

“Tenang... tenang... saya di depan, dan teman saya paling belakang. Jadi, kalian tidak perlu khawatir,” jawab Timun sambil menyembunyikan kegembiraan. Siapa sangka malam itu dia memperoleh lima kenalan baru, manis-manis pula.

Warso juga setengah terhibur, sibuk mengenalkan diri. Toh Timun paling depan, biar saja Timun yang duluan diganggu hantu. Warso makin sumringah.

“Kayaknya mereka anak-anak drama, ahli pementasan, ya.” Warso memulai percakapan.

“Bisa jadi, mungkin anak IKJ,” ujar gadis manis yang berkerudung biru.

Sementara Timun malah tertarik dengan gadis yang berpakaian ketat, persis di belakangnya.

“Silakan masuk,” kata penjaga pintu wahana yang berpakaian layaknya malaikat pencabut nyawa, berkerudung hitam, membawa tongkat bersabit besar.

Kelima gadis mulai merapatkan diri sambil berdesis, jantungnya mulai berdebar. Warso sok tenang dan pasrah, sedangkan Timun berlagak was-was.

Lima langkah masuk, ruangan remang-remang, interiornya dibentuk seolah rumah sakit. Sisi kiri dan kanan berjajar tempat tidur pasien, terbuat dari besi, nampak usang –serupa Rumah Sakit Kemayoran zaman dulu yang terkenal angker.

Ketujuh orang itu melangkah hati-hati, takut tiba-tiba ada yang muncul, entah apa. Timun matanya bingung mencari ruangan lain setelah ruangan tersebut. Rupanya wahana itu terdiri dari beberapa ruangan, yang di mana pintu sambungnya sulit diketahui, hanya semacam pintu bertirai hitam yang sukar dilihat di keremangan cahaya.

Ruangan ke dua berhasil ditemukan, kembali berdampingan tempat tidur pasien. Salah satunya ada sosok yang berbaring. Ketujuhnya menduga sosok itu akan bangkit segera. Namun, meleset dugaan, yang muncul adalah sosok cebol berpakaian putih-putih mengejar mereka. Dan yang disentuh pertama kali tentu Warso, orang paling belakang. Sontak sekencang-kencangnya Warso berteriak saking kagetnya, begitu pula kelima gadis di depannya. Semuanya memeluk Timun. Sumpah, aku tak mengharap Warso memelukku begitu erat, batin Timun.

Dari ruangan ketiga sampai akhir, mereka terus-menerus menjerit akibat kejutan sosok-sosok wahana itu. Bahkan beberapakali terjungkal, tidak keruan lagi barisannya. Kecuali Timun yang masih tegar, percaya diri diri dan tetap bertanggung jawab sebagai ketua tim penjelajah rumah hantu.

Beberapa waktu berselang, ketujuhnya berhasil lolos keluar. Dengan nafas tersengal-sengal dan tanpa alas kaki. Maka, jeritan berganti menjadi tawa. Mereka duduk-duduk di dekat pintu keluar sambil tak henti-hentinya saling meledek. Hanya Timun yang tetap memakai sepatu sandalnya dengan air muka tenang. Ada semacam kepuasan tersendiri yang belum pernah Timun alami seumur hidup. Dan dari tirai balik pintu keluar ruangan terakhir, ada sosok kuntilanak yang membawakan alas kaki mereka.

“Ini sandal-sandalnya,” ujar kuntilanak, kemudian masuk lagi.

“Ayo, Mun kita pulang, lelah sekali aku,” kata Warso sambil memakai sandalnya.

“Sebentar, kita belum berkenalan dengan cewek-cewek itu.” Timun mengulum senyum.

Mereka saling berkenalan ketika Timun mendahului mengulurkan tangan, lalu mengajak mereka pulang bareng.

“Beli kerak telor dulu, ya, Mun. Aku lapar betul, nih,” ucap Warso. Dia merasakan tubuhnya butuh asupan enerji.

Keduanya kemudian berjalan keluar sambil mencari-cari pedagang makanan khas Betawi itu. Tapi, kok tidak ada satu pun ya? Dan, mana kelima perempuan yang tadi menyertainya? Warso dan Timun saling berpandangan.

“War, kok tempat ini jadi sepi sekali ya? Apa para pengunjung sudah pulang atau kita salah jalan?” tanya Timun. Kali ini dia mulai kebingungan.

Ketika keduanya menoleh ke belakang, terlihat bangunan Rumah Sakit dengan cahaya remang. Sekelilingnya sepi dan hening, dikitari pepohonan lebat dan bergoyang-goyang daunnya ditiup angin malam, membuat bulu kuduk Warso dan Timun berdiri.

“Ayo, pulang, Mun!”

“Iya, tapi jalannya lewat mana?”

Timun ingin berjalan secepat mungkin, namun kakinya tersandung sesuatu. Rupanya sobekan koran yang berceceran di atas tanah. Salah satunya diambil oleh Timun, dan di keremangan dia dapat melihat judul berita: “Lima Gadis Ditemukan Tewas”, dengan keterangan, Kelima mayatnya ditemukan di pinggir jalan, kemudian di bawa ke RS Kemajoran.

“Waduh!” ujar Timun hampir menjerit, ketika melihat tanggal koran tersebut: 25 Juni 1971.

*****

Granito, 2017

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun