“Kayaknya mereka anak-anak drama, ahli pementasan, ya.” Warso memulai percakapan.
“Bisa jadi, mungkin anak IKJ,” ujar gadis manis yang berkerudung biru.
Sementara Timun malah tertarik dengan gadis yang berpakaian ketat, persis di belakangnya.
“Silakan masuk,” kata penjaga pintu wahana yang berpakaian layaknya malaikat pencabut nyawa, berkerudung hitam, membawa tongkat bersabit besar.
Kelima gadis mulai merapatkan diri sambil berdesis, jantungnya mulai berdebar. Warso sok tenang dan pasrah, sedangkan Timun berlagak was-was.
Lima langkah masuk, ruangan remang-remang, interiornya dibentuk seolah rumah sakit. Sisi kiri dan kanan berjajar tempat tidur pasien, terbuat dari besi, nampak usang –serupa Rumah Sakit Kemayoran zaman dulu yang terkenal angker.
Ketujuh orang itu melangkah hati-hati, takut tiba-tiba ada yang muncul, entah apa. Timun matanya bingung mencari ruangan lain setelah ruangan tersebut. Rupanya wahana itu terdiri dari beberapa ruangan, yang di mana pintu sambungnya sulit diketahui, hanya semacam pintu bertirai hitam yang sukar dilihat di keremangan cahaya.
Ruangan ke dua berhasil ditemukan, kembali berdampingan tempat tidur pasien. Salah satunya ada sosok yang berbaring. Ketujuhnya menduga sosok itu akan bangkit segera. Namun, meleset dugaan, yang muncul adalah sosok cebol berpakaian putih-putih mengejar mereka. Dan yang disentuh pertama kali tentu Warso, orang paling belakang. Sontak sekencang-kencangnya Warso berteriak saking kagetnya, begitu pula kelima gadis di depannya. Semuanya memeluk Timun. Sumpah, aku tak mengharap Warso memelukku begitu erat, batin Timun.
Dari ruangan ketiga sampai akhir, mereka terus-menerus menjerit akibat kejutan sosok-sosok wahana itu. Bahkan beberapakali terjungkal, tidak keruan lagi barisannya. Kecuali Timun yang masih tegar, percaya diri diri dan tetap bertanggung jawab sebagai ketua tim penjelajah rumah hantu.
Beberapa waktu berselang, ketujuhnya berhasil lolos keluar. Dengan nafas tersengal-sengal dan tanpa alas kaki. Maka, jeritan berganti menjadi tawa. Mereka duduk-duduk di dekat pintu keluar sambil tak henti-hentinya saling meledek. Hanya Timun yang tetap memakai sepatu sandalnya dengan air muka tenang. Ada semacam kepuasan tersendiri yang belum pernah Timun alami seumur hidup. Dan dari tirai balik pintu keluar ruangan terakhir, ada sosok kuntilanak yang membawakan alas kaki mereka.
“Ini sandal-sandalnya,” ujar kuntilanak, kemudian masuk lagi.