“Aku tak tahu.”
Aku tidak bertanya lebih lanjut. Cukup sudah pertemuan kedua kalinya mengobati perasaan rindu yang memenuhi seluruh waktuku. Biar saja kafe itu yang berbicara dengan caranya sendiri. Sebab bagaimana pun jika memang dijodohkan, kubilang “dari sananya”, maka akan ada perjumpaan kesekian kali. Mudah-mudahan kali ini tidak lagi berakhir dengan perpisahan.
Temanku hanya diam saja, pandangannya tertuju ke suatu titik. Titik apa yang dilihatnya aku sama sekali tak ingin tahu. Telinganya tetap mendengar segala kisah ini, dan kau juga bisa meraba-raba dengan pikiranmu, apakah lawan bicaramu menyimak ceritamu atau tidak.
“Waktu itu kau sedang apa?” Tiba-tiba temanku bertanya.
“Ah, kau benar. Bahkan aku lupa, diriku menjadi siapa waktu itu.”
“Aku tanya kau sedang apa, bukan menjadi siapa!”
Aku mencoba mengingatnya. Kepingan-kepingan ingatan mulai memudar seperti foto tua yang dimakan cuaca. Kepulan asap waktu itu bukan hanya menyulitkan membawa gadis itu lari dari pertempuran, tetapi juga menjadi tirai yang menyusahkan mengenali diri sendiri.
Samar-samar aku mulai ingat, aku berpakaian layaknya pemuda Batavia. Memegang senjata tajam dan ikat kepala melilit berwarna merah-putih. Oh, sebentar, bukan... bukan pemuda dari tanah Betawi. Barangkali prajurit Mataram, atau barangkali pemuda asal Banten. Aku jadi ragu-ragu.
Namun gadis itu tak menampakkan kebimbangan. Ia sangat percaya diri dan seolah menyilakan aku menegurnya setelah sekian lama berpisah.
“Hai, senang sekali bisa bertemu kamu.”
“Perjumpaan yang tidak di sangka-sangka, bukan?”