Ia mengangguk dengan wajah pucat pasi. Pandangannya meredup, tangannya bergetar membuat tas bermotif kembang-kembangnya hampir terjatuh. Tatapanku makin dalam tertuju padanya. Baru kusadari manik matanya sedikit kebiruan, nampaknya ia bukan orang pribumi asli.
Mata seperti itu lah yang sama kupandang ketika cahaya bergaris-garis datang dari jendela kafe. Kuperkirakan ada darah Belanda yang mengalir di urat nadinya. Paling tidak, melihat kulitnya yang berwarna coklat muda, rambutnya yang kemerahan, bentuk tulang pipi dan hidungnya, ia berdarah campuran.
Mungkin ia akan mengatakan dan bercerita padaku:
“Ibuku pribumi, Betawi asli, tetapi ayahku prajurit Belanda.”
“Aku turut bersedih....”
“Mengapa?”
“Setahuku banyak perempuan yang diperkosa atau dijadikan pelampiasan. Perang terlalu rumit untuk dipahami. Dan selalu saja perempuan menjadi korban yang paling kejam.”
“Prajurit Belanda itu jatuh cinta pada ibuku.” Ia meneruskan bicaranya.
“Begitu kah ceritanya?”
“Ibuku yang mengatakan sebelum malaria menyerangnya, lalu meninggal beberapa hari kemudian.”
“Lantas ayahmu?”