Jelas aku tahu, hanya saja sulit mengatakan pada temanku, bahwa ada tanda-tanda, ada firasat, kelak atau kapan pun kita bertemu “teman hidup” untuk selamanya. Misalnya saja gadis itu membalas senyumanku, meski hanya dengan tatapan, kemudian tangannya gelisah, memainkan cincin dan gelangnya yang aku pikir tak perlu ia lakukan.
Aku bisa melihat bentuk wajahnya dari samping, misalnya lewat cermin besar berpigura ukiran gaya Betawi. Hidungnya mungil, agak mancung dan sedikit mendongak. Rambutnya pendek, pendek sekali seperti laki-laki. Mirip Shailene Woodley di filem Insurgent. Dan pastinya halus serupa rambut bayi.
Aku belum menyentuhnya, tetapi angin masuk lewat jendela besar meniup anak-anak rambutnya, bergerak-gerak sehelai demi sehelai seperti bulu-bulu pada kuas yang kau tiup dengan mulutmu. Aku mengatakan demikan pada temanku yang bisa jadi tak percaya atau meragukan.
Kukatakan pula tentang kulitnya yang berwarna coklat muda dan merah jambu pipinya. Aku yakin ia tanpa make up, meski hanya seoles lipstik atau bedak tipis sekali pun. Merah jambu bukan hanya di pipinya tapi juga di dagu dan di ujung jari-jari tangannya, semburat, gradasi.
“O, terkadang kita terhubung satu sama lain, maksudku, ya terhubung dengan sendirinya,” ujar temanku setelah sekian menit mendengarku berbicara.
“Betul, ada kerterpautan, ketertarikan, atau mungkin sudah diatur dari sananya.”
“Dari sana mana?”
Temanku kepayahan memahami. Lain halnya gadis itu yang nampak bisa menebak apa yang terjadi atas pertemuan kami. Pertemuan khusus, perjumpaan yang kelak akan mengubah seluruh hidupku, juga (mungkin saja) hidup gadis itu.
Aku akan memperkenalkan diri, tanpa basa-basi, tetapi hanya singkat saja, toh dia sudah mengetahui. Aku percaya ia malah tak akan peduli latar belakangku, asal muasalku. Kita hanya berpikir tentang hari itu dan selanjutnya.
Namun aku terkejut ketika ledakan terdengar disusul rentetan senapan yang membisingkan telinga. Gadis itu berlari di antara kabut asap mesiu. Aku mengejarnya, meraih tangannya, bahkan memeluknya, lalu bersembunyi di antara tumpukan gentong-gentong kayu yang aku tak tahu apa isinya.
“Kau tak apa-apa?” tanyaku sambil melepaskan pelukanku.