Mohon tunggu...
Granito Ibrahim
Granito Ibrahim Mohon Tunggu... Desainer Grafis -

Fotografer jalanan dan penulis fiksi yang moody.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

[My Diary] Hujan di Atap Transparan

13 April 2016   08:36 Diperbarui: 13 April 2016   11:24 219
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Ilustrasi: Nito FC"][/caption]Jakarta, 13 April 2100

Dear Diary...

Sekarang kertas sudah jadi barang langka, produksinya sedikit dan sangat mahal harganya. Aku mati-matian menabung untuk beli buku catatan harian. Sebab ada keasyikan khusus manakala apa yang kita alami ditulis dengan tangan sendiri di atas kertas asli.

Aku tadinya heran, mengapa kertas menjadi barang mewah, setelah mencoba mencari tahu di internet, ternyata bahan baku kertas berasal dari kayu. Dan pepohonan kini sudah tinggal sedikit, banyak hutan menjelma menjadi pertambangan dan industri kelapa sawit. Sudah sekian ratus kali berita tentang penanaman kembali tetumbuhan, agar –bukan hanya untuk kertas, juga yang paling utama menjaga habitat hewan yang sebagian spesiesnya sudah punah, atau nyaris punah.

Namun, yang terjadi semacam tambal-sulam, industri-industri tetap bersikeras menjalankan bisnisnya. Hutan yang mulai tumbuh kembali porak-poranda. Protes dari kalangan LSM datang lagi. Sebagian tanah direboisasi, tapi beberapa tahun berikutnya, alat-alat berat menggaruk hingga akar-akarnya. Begitu seterusnya.

Memang beberapa lokasi di Jakarta justru rimbun, jauh sekali keadaannya pada puluhan tahun lalu. Aku melihatnya dari foto-foto peninggalan kakekku yang gemar memotret jalanan, kesibukan orang-orang, dan mengabadikan dinamika peradaban kota besar. Katanya dulu Ibu Kota kering, macet dan semrawut, sekarang boleh lah dibanggakan. Hanya selisih sedikit dengan Singapura.

Berbeda dengan kakek, aku justru memilih merekam derik  roda zaman dengan kata-kata. Awalnya menulis di komputer, kemudian aku unggah di sebuah komunitas dunia maya. Tetapi setelah menonton pameran My Diary di lantai 8, gedung Sastra di Taman Ismail Marzuki, aku jadi terdorong menulis pengalamanku sendiri di lembar-lembar buku harian.

Di pameran itu terpampang catatan para penulis dari masa ke masa. Ada tulisan Bung Karno, Soe Hok Gie, Kartini dan para penyair yang sering disebut-sebut pada pelajaran Bahasa Indonesia di sekolah. Dan ada pula tulisan dari para pengarang di sekitar tahun 2016. Aku lupa namanya satu-persatu, namun konon saat itu ada semacam gerakan menulis fiksi dari sebuah komunitas yang berawal dari internet, kemudian mewujudkan kembali pentingnya mencatat dalam sebuah Diary.

Kabarnya, kegiatan tersebut merupakan Counter Human Balancing atas tumpah ruahnya sosial media yang dapet diakses bukan hanya melalui komputer portabel, melainkan dalam bentuk telepon pintar seluler yang kini besarnya hanya seukuran pemantik api gas, dan sebaliknya tablet internet ada yang sebesar ukuran koran yang dibaca kakekku.

Pacarku, Sarah, mengatakan,” Mungkin ini semacam lingkaran pemaknaan hidup. Pada dasarnya kebutuhan manusia itu-itu saja. Apa yang kita sebut kemajuan belum tentu bergerak ke titik yang lebih baik.”

“Maksudmu apakah sia-sia semua segala penemuan dan inovasi?” Aku mencoba mendebatnya. Aku tahu, Sarah kurang menyenangi pembicaraan tanpa balasan yang seru.

“Bukan begitu. Kautahu, dulu orang meramalkan lilin akan berhenti diproduksi setelah lampu pijar ditemukan, kenyataannya tidak seperti itu, malah lilin menjadi sesuatu yang spesial seperti Candle Light Dinner kita sekarang,” lanjut Sarah. (Tumben dia romantis, batinku.)

“Tapi harga lilin jadi lebih tinggi ketimbang lampu pijar, bahkan lampu LED,” sanggahku.

“Justru di situ seninya. Dan lilin tidak akan punah, malah menjadi lebih punya arti daripada sekadar alat penerang. Seperti tatkala koran pertama terbit, para pencerita lisan bukan menghilang. Juga saat TV diciptakan, radio bukannya berhenti mengudara. Maka ketika era digital berkembang menjadi internet, karya tangan secara manual menjadi hal yang begitu berharga.”

“Dunia memerlukan kecepatan, Sarah. Bagaimana bisa kita hidup tanpa perubahan? Naif sekali kamu, ya.” Aku mulai menggodanya.

“Kecepatan? Percepatan sudah terjadi Ibra, namun apa gunanya jika malah merusak lingkungan, dan pengikisan nilai-nilai sejatinya kehidupan?”

Kalimat terakhir Sarah membuat pikiranku melayang berbaur dengan nada lagu lawas Paint it Black dari Rolling Stones. Lagu kesukaan Sarah semenjak dia aktif di LSM. Sayang, dia sendiri tak mampu lagi mendengarnya.

I see a red door and I want it painted black

No colors anymore, I want them to turn black

I see the girls walk by dressed in their summer clothes

I have to turn my head until my darkness goes

Secangkir kopi Toraja dan semangkuk soto Madura kuhabiskan sendiri di meja kafe plus resto beratap transparan. Beberapa bulir air mulai jatuh di atasnya, langit kelabu tua, hujan di bulan April menampakkan dirinya kembali. Persis setahun yang lalu aku dan Sarah berbincang tentang hal serupa, dengan nyala lilin yang sama, dengan wajah dan tubuhnya yang tak berubah.

Kubiarkan air turun dari langit semakin lebat seraya mengeluarkan Diary Sarah –mencatat ulang beberapa kata-katanya sebagai kenangan atas pemikiran-pemikirannya, juga beberapa puisi yang ditujukan padaku.

Aku bergeming ketika troli robotik mondar-mandir menawarkan sajian. Sudah cukup mengakhiri hari ini dengan kemewahan yang mungkin sulit diulangi kembali atau tak kan berulang tahun berikutnya. Sarah di seberangku hanya memandang dan sesekali tersenyum, seolah benar-benar mengerti apa yang aku rasakan. Walau wujudnya hanya sebatas hologram yang terpancar dari alat rekam di ponsel pintarku.

Perlahan bayangannya mulai sirna, sepertinya alat itu boros energi. Nanti aku charge lagi saat pulang lewat kereta bawah tanah. Jarak 150 km tentu membosankan berdesakan dengan sesama penumpang pada jam pulang kerja seperti biasanya. Aku gagal mendapat tiket kereta cepat hari ini.

*****

Granito, 13 April 2016

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun