“Bukan begitu. Kautahu, dulu orang meramalkan lilin akan berhenti diproduksi setelah lampu pijar ditemukan, kenyataannya tidak seperti itu, malah lilin menjadi sesuatu yang spesial seperti Candle Light Dinner kita sekarang,” lanjut Sarah. (Tumben dia romantis, batinku.)
“Tapi harga lilin jadi lebih tinggi ketimbang lampu pijar, bahkan lampu LED,” sanggahku.
“Justru di situ seninya. Dan lilin tidak akan punah, malah menjadi lebih punya arti daripada sekadar alat penerang. Seperti tatkala koran pertama terbit, para pencerita lisan bukan menghilang. Juga saat TV diciptakan, radio bukannya berhenti mengudara. Maka ketika era digital berkembang menjadi internet, karya tangan secara manual menjadi hal yang begitu berharga.”
“Dunia memerlukan kecepatan, Sarah. Bagaimana bisa kita hidup tanpa perubahan? Naif sekali kamu, ya.” Aku mulai menggodanya.
“Kecepatan? Percepatan sudah terjadi Ibra, namun apa gunanya jika malah merusak lingkungan, dan pengikisan nilai-nilai sejatinya kehidupan?”
Kalimat terakhir Sarah membuat pikiranku melayang berbaur dengan nada lagu lawas Paint it Black dari Rolling Stones. Lagu kesukaan Sarah semenjak dia aktif di LSM. Sayang, dia sendiri tak mampu lagi mendengarnya.
I see a red door and I want it painted black
No colors anymore, I want them to turn black
I see the girls walk by dressed in their summer clothes
I have to turn my head until my darkness goes
Secangkir kopi Toraja dan semangkuk soto Madura kuhabiskan sendiri di meja kafe plus resto beratap transparan. Beberapa bulir air mulai jatuh di atasnya, langit kelabu tua, hujan di bulan April menampakkan dirinya kembali. Persis setahun yang lalu aku dan Sarah berbincang tentang hal serupa, dengan nyala lilin yang sama, dengan wajah dan tubuhnya yang tak berubah.