Di dalam sebuah lift, seorang wanita menekan-nekan tombol untuk menutup pintu. Dengan tergesa-gesa seorang pria sebayanya berlari memasuki lift, dan menyenggolnya.
"Duh! Hati-hati dong lain kali", ujar sang wanita.
Pria itu hanya menatap tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Tiba-tiba suara gemuruh yang dahsyat terdengar begitu jelas dan di saat yang bersamaan, lift tersebut berhenti dan...
"AAAAA... KENAPA INI?!? TOLOONGG TOLOONGG!!", teriak sang wanita dengan panik.
"Tenanglah! Semakin kamu berisik, semakin lama kita terjebak di sini"
"Ta..ta..pi.. kita harus gimana ini?"
"Nyalain flash light di handphone kamu. Biar aku coba buka ini"
Dengan gemetar wanita itu mengambil handphonenya dan menyalakan flash light serta mengarahkan ke arah pria tersebut.
"Hmm... kamu yakin bisa buka itu?"
"Jangan banyak bicara, kita ga punya waktu untuk itu"
Seketika itu juga plafon kabin lift terbuka.
"Ayo, sini, aku angkat kamu ke atas"
"Tunggu! Kalau ke atas nanti keluarnya ke mana?"
"Kamu liat kotak yang ada di sana, kamu buka aja, nanti kamu bisa keluar, akan ada orang yang akan membantu kamu di sana"
"Tapi, kamu juga ikut kan?"
"... Ga ada waktu lagi, kamu harus segera keluar"
Pria itu langsung mengangkat sang wanita, dan wanita itu melakukan seperti yang dikatakan sang pria.
***
Ting, Tong... Ting, Tong...
"Helena segera mematikan film yang ia tonton dan berlari ke bawah.
"Permisi, apakah ini rumah Pak Currie?", tanya seorang pria muda dengan lembut.
"Iya, benar, tapi dia lagi tidak ada di rumah. Ada perlu apa ya?", tanya Helena dengan penuh rasa penasaran.
"Tak apa, aku hanya ingin mengembalikan ini, kurasa ini miliknya", kata pria itu sambil memberikannya sebuah dompet.
"Oh, baiklah, makasih banyak. Tapi bagaimana ini bisa ada bersamamu?"
"Kemarin malam, aku bekerja paruh waktu di bar, dan aku menemukannya di atas mejas"
"Oh gitu, syukurlah kau yang menemukannya, dan senang bertemu denganmu"
"Ya, aku juga... Ngomong-ngomong, namaku Finlo. Finlo Torres. Dan kamu?"
"Aku Helena, Helena Currie"
"Nama yang bagus. Ok, kalau begitu, aku pamit dulu. Kuharap dia tak meninggalkannya lagi lain kali"
"Ya, sampai jumpa"
Percakapan ini adalah percakapannya dengan seorang pria yang terasa aneh dan tidak seperti biasanya. Sejak kecil, Helena tidak mau berbicara dengan pria mana pun karena satu hal, ia benci dengan ayahnya yang selalu berbicara kasar terhadap ibunya dan kerap kali menyakiti hati sang ibu yang selama 7 tahun terakhir harus dirawat di rumah sakit jiwa. Bahkan, yang lebih parah adalah ia melihat ayahnya berselingkuh dengan wanita lain di rumahnya tepat di hari ulang tahunnya yang ke 10.
Sebagai seorang anak satu-satunya di keluarga tersebut, ia merasa muak dengan sosok pria di dunia yang dianggapnya kasar, menyebalkan, dan tidak pernah mengerti perasaan orang lain. Menurutnya, pria yang baik hanyalah ada di dalam film, dan tak akan mungkin ada di dunia nyata. Kisah Helena pun dimulai sejak percakapan itu.
***
Di saat semua orang sedang berjalan menjauhi sekolah, di dalam kelas, seorang pria menyelipkan sebuah amplop coklat tebal ke dalam tas genggam yang tergeletak di atas kursi guru.
"Tak perlu repot-repot begini lain kali. Saya jadi tidak enak"
"Pastikan ibu melakukan tugas dengan baik ya. Pokoknya anak saya harus mendapat peringkat pertama"
"Bapak tenang saja, anak itu tak punya apa-apa seperti anak bapak. Otaknya tidak akan dapat membuatnya berhasil kali ini"
Hampir setiap orang tua pemegang saham di sekolah tersebut menyuap para guru agar anaknya berada di posisi teratas dan mengalahkan Helena. Helena terkenal sebagai anak yang sangat cerdas, dan selalu mendapat nilai terbaik dalam semua mata pelajaran. Namun kenyataan yang ada berbanding terbalik dengan yang seharusnya terjadi.
Tiba-tiba, Helena mendapat telepon dari rumah sakit jiwa tempat ibunya dirawat. Kabar duka pun datang. Semalam, ibunya menjadi tak terkendali dan dengan sengaja meminum seluruh obat dengan dosis yang berlebih dan dinyatakan telah meninggal sore itu. Helena benar-benar tidak dapat menerima kenyataan pahit yang dialaminya. Tanpa ibunya, ia hanyalah seorang diri di dalam dunia yang kejam ini.
Keesokan harinya, setelah acara penguburan ibunya, Helena mampir ke sebuah caf untuk meluangkan waktu seorang diri. Sambil melihat-lihat menu, ia antri untuk memesan minuman.
"Selamat datang, mau pesan apa?", tanya seorang pria dengan suara yang terdengar tidak asing di telinga Helena.
"Finlo"
"Helena"
"Kamu kerja di sini juga?"
"Seperti yang kau lihat sekarang. Mau pesan apa?"
"Latte macchiato yang large satu"
"Yang satu ini akan kubuat spesial, kamu duduk aja dulu"
"Oke, baiklah"
...
"Jadi, apa kabar?", tanya Finlo dengan senyuman manisnya sambil memberikan minuman yang dipesan Helena.
"Tak ada yang spesial"
"Bagaimana kabar ayahmu?"
"Seperti biasa, selalu pulang mabuk-mabukan bersama wanita-wanita yang tidak kukenal. Aku tak ingin membahasnya sekarang"
"Maaf aku tak bermaksud"
"Lupakan..."
"Wajahmu menjelaskan ada sesuatu yang buruk terjadi"
"Aku... aku tak tahu harus berbuat apa lagi sekarang. Kepergiannya seakan membuatku buta. Tanpanya... aku rasa... aku tidak bisa menjalani ini semua sendiri"
"Apakah itu ibumu?"
"Tak ada wanita yang sekuat dia yang pernah aku temui sebelumnya"
"Maaf soal itu... Kalau boleh aku bertanya, apa impian terbesarmu?"
"... Senyuman.... Ibu... Masa depan..."
"Kalau boleh aku jelaskan, impian terbesarmu adalah menjadi seorang ibu yang selalu tersenyum setiap saat, apa pun yang terjadi, selalu menatap ke masa depan, serta melahirkan para pemimpi yang mejadikan masa depan lebih baik" Â Â Â Â
"Sudah kuduga, kamu bukan seperti mereka"
"Siapa mereka itu?"
"Pria-pria yang sok berkuasa, yang ga pernah punya hati untuk sesama"
"Apa kamu ga keberatan jika kita pergi jalan-jalan bersama sekarang?"
"Tentu tidak"
Sepanjang sore itu mereka habiskan waktu bersama di atap gedung tertinggi di tengah kota, hingga bintang-bintang di angkasa mulai memancarkan sinar mungilnya yang menghiasi langit malam.
"Helena, apa kamu bisa tebak bintang mana yang paling besar di sana?", tanya Finlo sambil menunjuk ke langit.
"Hmm.. sepertinya yang itu, karena itu yang paling terang"
"Kau tak akan tahu..."
"Tunggu dulu, aku ingin bertanya satu hal, dan kamu harus menjawabnya dengan jujur. Sebenarnya, mengapa kamu begitu tertarik dengan hidupku?"
"Manusia tak pernah bisa hidup sendiri. Suatu hari aku bermimpi, berada di suatu ruangan yang gelap, dan kosong. Seketika itu juga semua itu hilang dan aku berada di suatu tempat baru yang lebih indah dari segala yang pernah ada. Seseorang pun menghapiriku. Kulihat dia begitu berkeringat dan lelah, aku pun menanyakan apa yang terjadi. Dia hanya tersenyum lebar dan menjabat tanganku"
"Apa arti mimpimu itu?"
"Angin, petir dan badai akan selalu ada. Namun rumah akan tetap berdiri kokoh kalau pondasi dan bahan dasarnya kuat dan tepat. Begitu pun hidup kita, tak ada tujuan yang terlalu mustahil untuk dicapai, rintangan dan cobaan pasti ada, asalkan kita terus berjuang, terus percaya dan melakukan yang terbaik apa pun yang terjadi, masa depan cerah pasti akan datang... Helena, aku ingin kita berjuang bersama sekarang. Jangan kita tinggalkan mimpi kita begitu saja. Biarkan ibumu dan orangtuaku bahagia di sana"
"Kau selalu membuatku terkagum. Aku berjanji tak akan pernah melepaskan itu"
***
10 tahun telah berlalu. Pasangan muda pendiri sekolah bagi anak-anak yatim piatu di berbagai kota di seluruh belahan dunia menjadi sorotan publik saat itu. Finlo dan Helena. Pertemuan manis menjadi awal perjalanan panjang mereka menuju masa depan yang akan berakhir sempurna, dan penuh kenangan indah.
"Tidak perlu jalan yang rata untuk bisa sampai ke tujuan, hanya berjalanlah di jalan yang tepat dan jangan berhenti" -- gsk.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H