Mohon tunggu...
Cerpen

Kelemahlembutan Mengubahkan

10 November 2016   18:19 Diperbarui: 10 November 2016   18:24 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

17 Oktober 1762, di sore yang tenang, Dinda melahirkan seorang anak laki-laki yang sangatlah tampan. Dengan seluruh bagian tubuh yang lengkap, Herman Willem Daendels lahir ke dunia dengan tangisan pertamanya.

“OOEEEKKK!!! OOEEEKKK!!!”, tangis Daendels.

“Waah, selamat Bu. Anaknya sangatlah tampan, terlihat mirip sekali dengan ibunya”, ujar seorang bidan yang membantu Dinda.

Dinda hanya terdiam. Perlahan ia mulai meneteskan air matanya. Sadar akan kondisinya sekarang, seorang wanita miskin yang telah ditinggalkan oleh sang suami, Dinda tahu bahwa dia tidak dapat hidup bersama Daendels. Ia tak ingin melihat Daendels menderita jika harus tinggal dengannya.

Malam hari, Dinda berjalan ke tengah hutan dengan membawa Daendels yang tertidur di pangkuan tangannya serta sebuah keranjang, dilengkapi dengan susu yang telah ia siapkan sebelumnya. Di depannya ia melihat sebuah pohon besar yang terlihat teduh. Ia pun meletakkan keranjang yang dibawanya di bawah pohon tersebut. Ia meletakkan Daendels dengan lembut ke dalam keranjang serta menyelipkan sebuah surat di dalamnya. Perlahan-lahan Dinda menjauh dari pohon tersebut. Sesekali menoleh ke belakang, Dinda merasa sangatlah sedih harus berpisah dengan anak semata wayangnya, Daendels. Tetapi demi masa depannya, Dinda memutuskan untuk berpisah selamanya dengan anaknya.

***

“Boss, kita harus pergi ke mana lagi? Tidak ada siapa-siapa lagi di sini. Dia pasti sudah meninggal.”

“Diamlah, pasti dia belum jauh dari sini. Ayo kita cari ke dalam lagi. Aku tidak ingin dia meninggal sebelum melunaskan seluruh hutangnya padaku.”

Seorang penjual preman lokal beserta anak buahnya sedang berjalan di tengah hutan. Setelah beberapa menit berjalan, mereka menemukan sebuah pohon besar dengan dibawahnya terdapat sebuah keranjang.

“Boss, lihat! Ada sebuah keranjang di sana. Ayo kita lihat, siapa isinya makanan yang lezat”, ajak sang anak buah.

Ketika mereka semakin mendekat ke pohon tersebut, tiba-tiba terdengarlah suara tangisan seorang bayi dari dalam keranjang. Mereka segera membuka keranjang tersebut dan benar! Itu adalah seorang bayi laki-laki.

“Wah bagaimana ini? Kenapa bayi ini ada di sini? Siapa yang meninggalkannya?”

Kedua preman tersebut tidak tahu harus berbuat apa. Setelah lama berpikir, akhirnya mereka berdua memutuskan untuk mengambil anak itu dan merawatnya.

Daendels pun tinggal bersama dengan preman tersebut hingga ia beranjak dewasa. Setiap hari ia melihat ayah asuhnya itu kasar dan suka marah-marah terhadap semua orang, bahkan ayahnya itu mengajarkannya bagaimana cara marampas sesuatu yang bukan miliknya. Daendels pun menjadi terkenal sebagai anak yang nakal di sekolahnya, sampai gurunya sudah tidak tahan lagi dengan sikapnya yang kasar. Tetapi mau bagaimana lagi, senakal-nakalnya Daendels, ia tetaplah menjadi anak terpintar di sekolahnya. Ia tidak pernah mendapat nilai merah dan selalu mendapat nilai 90-100. Daendels memanglah sangat cerdas karena dahulu ayahnya yang asli adalah seorang politikus yang cerdas tetapi ia berselingkuh dengan wanita lain dan meninggalkan ibu Daendels.

***

Beberapa tahun kemudian, setelah menyelesaikan sekolahnya, Daendels pun pindah ke kota. Karena kecerdasan Daendels, seorang Gubernur Jenderal Belanda tertarik dengannya dan merekrutnya untuk berkerja sama dengannya. Daendels pun sangat senang dan semangat sekali. Dari kecil ia sangat ingin bekerja di pemerintahan Belanda, menjadi orang besar, dan dikenal masyarakat.

“Pak Gubernur, saya siap bekerja dengan Bapak, apa pun yang saya harus lakukan saya siap!”

“Wah, saya suka dengan semangat kamu. Saya punya pekerjaan besar yang harus kamu lakukan.”

“Saya siap Pak, apa pun akan saya lakukan untuk negara saya.”

“Baiklah, jadi kamu saya tugaskan untuk menjadi gubernur jenderal di wilayah Jawa di Indonesia. Kamu tahu bahwa Indonesia, negara jajahan kita, sedang mendapat serangan dari Inggris. Kita tidak dapat tinggal diam, maka dari itu saya ingin kamu bertugas di sana, saya yakin kamu pasti bisa.”

***

Pada tahun 1808, Daendels tiba di Batavia. Sesampainya di sana, ia langsung menjalankan tugasnya. Berbagai upaya dilakukan oleh Daendels untuk mempertahankan wilayah Jawa mulai dari memperkuat pertahanan hingga membangun infrastruktur yang memadai. Namun, karena sifatnya yang keras dan benar-benar terobesesi untuk menjadikan Belanda negara yang kuat, pada masa pemerintahan Daendels, masyarakat Indonesia mengalami banyak kesulitan. Daendels menerapkan sistem kerja paksa atau yang dikenal dengan kerja rodi dalam melakukan pembangunan jalan Anyer-Panarukan. Hal ini sangat meresahkan rakyat Indonesia, termasuk salah satunya adalah keluarga Sjarif.

Sjarif, yang masih berumur 10 tahun, sangat sedih melihat ayahnya harus bekerja mati-matian hingga seluruh tubuhnya menjadi kurus kering karena harus bekerja rodi. Pagi siang malam, tak henti-hentinya ayah Sjarif harus bekerja sesuai perintah Daendels. Meski demikian, tak sepeser uang pun yang didapat darinya, hanya segelas air dan semangkuk nasi untuk satu hari.

Suatu hari, ketika matahari sedang bersinar dengan terang, Sjarif menemukan pohon mangga yang sedang berbuah lebat, ia pun langsung mengambilnya dan pergi mengantarkan mangga-mangga tersebut untuk ayahnya yang sedang bekerja. Ia dengan penuh keceriaan dan semangat menemui ayahnnya dan makan bersama dengannya. Saat itu kebetulan Daendels sedang berkeliling untuk memastikan rakyat Indonesia bekerja dengan baik. Namun, ketika ia melihat Sjarif yang begitu bahagianya bisa makan mangga bersama ayahnya, ia pun cukup geram. Ia langsung menyuruh anak buahnya memisahkan mereka dan memukul ayah Sjarif. Sjarif dengan sedih berjalan pulang ke rumahnya.

***

“Sjarif, Sjarif, apa yang kamu lakukan di situ?”, teriak seorang pria muda.

“Ssstt.. Jangan berisik, nanti ketahuan”, bisik Sjarif

Ternyata Sjarif sedang berada di dekat kantor gubernur Belanda. Dia sedang mengumpulkan kertas-kertas yang telah dibuang orang Belanda. Selama ini, karena Sjarif tidak bersekolah, ia belajar membaca dari tulisan-tulisan orang Belanda sehingga ia mengerti bahasa Belanda. Sjarif sangat giat sekali dalam hal belajar. Dia tidak ingin berujung nasib seperti ayahnya yang harus menjadi budak Belanda. Ia ingin menjadi orang besar seperti Daendels tetapi memiliki hati yang lemah lembut. Tanpa disadari, ternyata Daendels melihat Sjarif sedang mengumpulkan kertas-kertas tersebut.

“Apa yang sedang kau lakukan di sini?”, kata Daendels.

Dengan takut Sjarif menjawab, “Sa..yaa.. emm.. saya hanya...”

“Mari ikut saya ke dalam”, ajak Daendels.

Sjarif pun mengikuti Daendels masuk ke dalam kantornya.

Daendels pun bertanya, “Katakan yang sejujurnya, sebenarnya apa yang kau lakukan di tadi?”

“ Maaf yang mulia, saya hanya mengumpulkan kertas-kertas yang telah dibuang”, jawab Sjarif.

“Untuk apa kertas-kertas itu?”, tanya Daendels.

“Saya biasa belajar dari tulisan-tulisan yang telah yang mulia dan orang-orang Belanda lain tulis. Karena saya tidak sekolah, maka saya belajar dari sini”, kata Sjarif.

“Mengapa kau sangat tertarik sekali untuk belajar? Bukankah orang Indonesia pemalas?”, ejek Daendels.

“Maaf yang mulia, tetapi saya ingin menjadi orang yang pintar seperti yang mulia. Saya ingin belajar dari orang Belanda supaya kelak suatu saat nanti ketika saya sudah besar saya dapat mensejahterahkan negara saya, sehingga mereka tidak perlu menderita seperti sekarang ini.

Saya percaya bahwa hidup hanya sekali saja, apapun yang terjadi harus dalam hidup saya, harus saya syukuri dan nikmati. Saya ingin melakukan yang terbaik bukan untuk diri sendiri tetapi untuk org lain juga yang mulia.”, ungkap Sjarif dengan sepenuh hati.

***

Setiap hari Daendels merenungkan apa yang telah dikatakan Sjarif. Ia sadar bahwa ia tidak seharusnya bersikap kasar dan semena-mena terhadap rakyat Indonesia. Meskipun Belanda yang menguasai Indonesia, bukan berarti Belanda memanfaatkan Indonesia untuk kepentingannya sendiri, melainkan seharusnya Belanda, sebagai ‘senior’, membantu Indonesia untuk menjadi negara yang lebih maju lagi dan rakyatnya dapat menjadi orang-orang yang berhasil serta dapat mengharumkan nama negara Indonesia.

-Dengan kelemahlembutan dan bukan dengan kekerasan seseorang dapat menjadi orang yang berhasil-

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun