Sjarif, yang masih berumur 10 tahun, sangat sedih melihat ayahnya harus bekerja mati-matian hingga seluruh tubuhnya menjadi kurus kering karena harus bekerja rodi. Pagi siang malam, tak henti-hentinya ayah Sjarif harus bekerja sesuai perintah Daendels. Meski demikian, tak sepeser uang pun yang didapat darinya, hanya segelas air dan semangkuk nasi untuk satu hari.
Suatu hari, ketika matahari sedang bersinar dengan terang, Sjarif menemukan pohon mangga yang sedang berbuah lebat, ia pun langsung mengambilnya dan pergi mengantarkan mangga-mangga tersebut untuk ayahnya yang sedang bekerja. Ia dengan penuh keceriaan dan semangat menemui ayahnnya dan makan bersama dengannya. Saat itu kebetulan Daendels sedang berkeliling untuk memastikan rakyat Indonesia bekerja dengan baik. Namun, ketika ia melihat Sjarif yang begitu bahagianya bisa makan mangga bersama ayahnya, ia pun cukup geram. Ia langsung menyuruh anak buahnya memisahkan mereka dan memukul ayah Sjarif. Sjarif dengan sedih berjalan pulang ke rumahnya.
***
“Sjarif, Sjarif, apa yang kamu lakukan di situ?”, teriak seorang pria muda.
“Ssstt.. Jangan berisik, nanti ketahuan”, bisik Sjarif
Ternyata Sjarif sedang berada di dekat kantor gubernur Belanda. Dia sedang mengumpulkan kertas-kertas yang telah dibuang orang Belanda. Selama ini, karena Sjarif tidak bersekolah, ia belajar membaca dari tulisan-tulisan orang Belanda sehingga ia mengerti bahasa Belanda. Sjarif sangat giat sekali dalam hal belajar. Dia tidak ingin berujung nasib seperti ayahnya yang harus menjadi budak Belanda. Ia ingin menjadi orang besar seperti Daendels tetapi memiliki hati yang lemah lembut. Tanpa disadari, ternyata Daendels melihat Sjarif sedang mengumpulkan kertas-kertas tersebut.
“Apa yang sedang kau lakukan di sini?”, kata Daendels.
Dengan takut Sjarif menjawab, “Sa..yaa.. emm.. saya hanya...”
“Mari ikut saya ke dalam”, ajak Daendels.
Sjarif pun mengikuti Daendels masuk ke dalam kantornya.
Daendels pun bertanya, “Katakan yang sejujurnya, sebenarnya apa yang kau lakukan di tadi?”