Jas putih seringkali dianggap sebagai simbol kesucian, profesionalisme, dan kekuatan. Namun, dibalik jas putih yang menjadi salah satu jas penanda seorang tenaga medis, seperti dokter, tersimpan sebuah perjuangan mental yang dialaminya. Sebagai calon dokter, gangguan kesehatan mental sudah menjadi hal yang tidak diherankan lagi karena banyaknya jumlah kasus gangguan mental yang sering dialami oleh mahasiswa kedokteran. Terkadang, perjuangan yang dikeluarkan oleh mahasiswa kedokteran tidak seimbang dengan pendapatan yang mereka terima saat menjadi dokter. Lantas, mengapa peminat Fakultas Kedokteran tetap menjadi salah satu peminat terbanyak yang dipilih oleh sebagian besar anak SMA dalam memasuki dunia perkuliahan?
Sebagian anak SMA menjawab karena keinginannya untuk menolong orang yang sakit, sedangkan sebagian lagi menjawab karena keinginan orang tua mereka. Memilih jurusan yang tidak sesuai dengan keinginan atau kemampuan pada anak dapat menyebabkan seorang mengalami kesulitan selama di perkuliahan. Hal ini pun akan berdampak pada psikologis anak ketika mereka menjadi seorang mahasiswa.Â
Menjadi mahasiswa kedokteran tidak hanya dituntut secara hard skill saja, namun soft skill juga menjadi tuntutan mereka sebagai salah satu kemampuan yang digunakan untuk berkomunikasi dengan pasien nantinya. Jurusan Kedokteran dianggap menantang karena memiliki masa belajar yang panjang dan berat, serta persaingan yang ketat. Selain itu, tekanan yang diberikan dari tenaga pengajar untuk meningkatkan performa mereka di bidang Kedokteran terkadang menjadi suatu hal yang tidak bisa dihindari. Tidak hanya dari tenaga pengajar saja, namun tekanan dari orang tua, teman, atau bahkan pacar pun dapat membuat seorang mahasiswa kedokteran mengalami gangguan mental.Â
Tekanan akademik, ekspektasi yang tinggi, serta ketidakseimbangan emosional adalah pemicu gangguan mental pada mahasiswa kedokteran itu sendiri. Mahasiswa kedokteran harus dapat menyeimbangkan jadwal pelajaran yang padat, tantangan dalam ujian, serta kegiatan di luar kampus yang berbeda-beda pada tiap mahasiswa. Ditambah lagi, apabila mahasiswa tersebut mengikuti kegiatan organisasi di kampusnya.Â
Sebagai salah satu mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Gracia Odelia membagikan pengalamannya dalam menghadapi temannya yang mengalami gangguan mental.Â
"Terkadang seorang yang mengalami gangguan mental tidak membutuhkan nasihat dari kita. Mereka hanya perlu didengar. Hal ini karena belum tentu setiap nasihat yang kita berikan dapat diterima olehnya. Jangan sampai malah semakin memperburuk suasana hatinya yang berujung pada tindakan bunuh diri," ujarnya.Â
Gracia pun menambahkan, "Peningkatan pengedukasian tentang Gangguan Mental sangatlah dibutuhkan. Generasi kita memang sudah banyak yang mengalami gangguan mental itu sendiri, khususnya pada mahasiswa kedokteran. Hal ini terjadi karena banyak faktor. Namun, sebagai bentuk kepedulian generasi muda Indonesia, belajar mengatasi stress bukanlah hal yang sulit,"
"Dalam mengejar pendidikan membutuh perjuangan dan pengorbanan. Namun, menyerah bukanlah kata yang pantas dalam hal ini. Semangat yang tinggi akan membawa kita menuju kesuksesan. Bukankah tujuan kita sama, yaitu membuat kedua orang tua kita tersenyum dengan pencapaian kita? Mari berjuang bersama dengan tetap memiliki pemikiran yang positif, serta mewaspadai gangguan mental itu sendiri!," lanjutnya.Â
Mahasiswa kedokteran, khususnya generasi muda sekarang rentan dengan gangguan mental. Bagaimana sebenarnya gangguan mental pada mahasiswa kedokteran? Simak pembahasan selengkapnya di bawah ini!
Pengertian Gangguan MentalÂ
Melansir dari Student Research Journal, gangguan mental adalah kondisi kesehatan yang memengaruhi pikiran, emosi, dan perilaku seseorang, serta sering kali berdampak signifikan pada fungsi sehari-hari dan kualitas hidup penderita. Seorang yang tidak dapat menyeimbangkan tekanan fisik dan psikis akan memicu gangguan mental, seperti kecemasan, depresi, dan burnout. Â