Mohon tunggu...
Grace Rode Lanitaman
Grace Rode Lanitaman Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Sering dikejar deadline, sekian.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Surga Rempah-Rempah: Peran Aspek Maritim dalam Perjalanan Sejarah Kepulauan Maluku pada Masa Imperialisme Eropa

29 Desember 2022   22:07 Diperbarui: 29 Desember 2022   22:10 344
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Surga Rempah: Komoditas Cengkeh, Pala, dan Fuli

Kepulauan Maluku yang meliputi wilayah Timor, Maluku, dan Banda memiliki komoditas rempah-rempah yang sangat masyhur dan diburu oleh banyak pihak. Sebelum kedatangan bangsa Eropa pada abad ke-16, masyarakat di Kepulauan Maluku sudah terlebih dahulu melakukan interaksi jual-beli dengan para pedagang dari Cina, Arab, dan Persia sejak sebelum abad ke-10. 

Di Timor, mereka membeli komoditas cendana putih yang mengandung minyak sehingga menghasilkan wangi yang harum. Kayu cendana putih ini mirip dengan kayu cendana merah yang banyak ditemukan di daerah India, bedanya, kayu cendana putih memiliki nilai jual yang jauh lebih mahal dibandingkan kayu cendana merah, karena kayu cendana merah tidak menghasilkan minyak yang mengandung aroma. Oleh orang-orang dari Cina, Arab, dan Persia ekstrak kayu cendana ini digunakan untuk membuat dupa untuk acara keagamaan, minyak wangi, hingga peti mati yang berbau harum. Selain kayu cendana, mereka juga membeli komoditas cengkeh dan pala yang dimanfaatkan sebagai bahan pembuatan obat-obatan. 

Dalam periode ekonomi tersebut, dilakukan sistem barter, dimana para pedagang dari wilayah-wilayah Asia tersebut menukarkan barang bawaan mereka seperti porselen, kain, dan koin emas dengan komoditas cengkeh, pala, dan cendana sesuai dengan yang mereka butuhkan. Maka, tidak heran jika hingga sekarang banyak ditemukan keramik-keramik asal Cina atau kain-kain Persia yang mendiami pajangan museum-museum di Indonesia.

Pada abad ke-16, bangsa Eropa mulai melakukan penjelajahan untuk mencari rempah-rempah. Dengan kondisi iklim subtropis, ketika musim dingin tiba dimana pada saat itu belum ada teknologi untuk mendinginkan makanan, orang-orang Eropa membutuhkan rempah-rempah seperti cengkeh dan pala untuk mengawetkan bahan makanan. Pada saat itu, ketika Konstantinopel jatuh ke tangan Kesultanan Turki dan akses mereka ke pasar rempah-rempah ditutup, dibuatlah sebuah rencana untuk pergi mencari rempah-rempah. 

Bangsa Portugis dibawah pimpinan Alfonso D'albuquerque mendarat di Nusantara, tepatnya di Bandar Malaka, pada tahun 1511. Bandar Malaka dikenal sebagai pasar rempah-rempah di Asia Tenggara yang sangat masyhur. Sayangnya, Bandar Malaka hanyalah tempat jual beli saja, sedangkan tempat penghasil rempah-rempah yang sebenarnya berada di wilayah Kepulauan Maluku. Oleh karena itu, iring-iringan Portugis pun mengatur kembali perahu mereka dan bertolak menuju Kepulauan Maluku. Sesampainya disana, Portugis membangun benteng-benteng di daerah pesisir pantai untuk mempertahankan kekuasaan mereka atas komoditas rempah-rempah yang ada. 

Komoditas rempah-rempah berupa cengkeh, pala, dan kayu cendana di Kepulauan Maluku begitu melimpah dan berkualitas tinggi. Tome Pires, seorang berkebangsaan Portugis, dalam catatan perjalanannya yang berjudul Suma Oriental bahkan menuliskan:

"Seorang pedagang Melayu menyebutkan bahwa Tuhan menciptakan Timor untuk kayu cendana, Banda untuk fuli, dan Maluku untuk cengkeh."

Selain Pires, seorang awak kapal Portugis berkebangsaan Belanda bernama Jan Huygen van Linschoten menerbitkan sebuah buku berjudul Itinerario naer Oost ofte Portugaels Indien (Catatan Perjalanan ke Timor atau Hindia Portugis) yang juga merupakan catatan perjalanannya ketika mengunjungi Kepulauan Maluku sebagai bagian dari Portugis. Dalam bukunya, ia mendeskripsikan keindahan pohon rempah-rempah Nusantara beserta segala manfaatnya. 

Tulisan Van Linschoten yang sampai ke tangan Kerajaan Belanda pun memicu keinginan pihak Belanda untuk segera mencari tempat yang disebutkan menghasilkan rempah-rempah tersebut. Dipimpin oleh Cornelis de Houtman, iring-iringan Belanda tiba di Banten pada tahun 1596. Akhirnya, tidak butuh waktu lama bagi Belanda untuk melanjutkan perjalanannya ke Kepulauan Maluku dan memukul keluar kekuasaan Portugis dari sana. 

Dipersatukan Laut: Hubungan Malaka dan Maluku

Disebutkan sebelumnya bahwa Malaka hanyalah tempat jual beli, sedangkan pusat penghasil komoditas rempah-rempah yang diperjualbelikan sebenarnya adalah Kepulauan Maluku. Dalam bahasa yang lebih mudah, perihal Malaka adalah gudangnya, sedangkan Maluku adalah pabrik tempat produksinya. Komoditas rempah-rempah yang telah dipanen dari Maluku pun dibawa ke Malaka melalui jalur laut dengan melewati jalur Laut Sulawesi, Laut Jawa, kemudian sampai di Selat Malaka dan langsung diperjual-belikan di Bandar Malaka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun