Indonesia merupakan negara archipelago. Kata ini berasal dari dua kata dalam bahasa Yunani, yaitu archi dan pelages, yang masing-masing memiliki arti 'utama' dan 'laut.' Jika digabungkan, dapat diartikan bahwa Indonesia merupakan "negara laut utama" atau negara yang melihat laut sebagai aspek utama. Bagaimana tidak? Kawasan laut Indonesia merupakan dua pertiga wilayah negara secara keseluruhan. Sehingga, laut memiliki peran penting dalam menyokong banyak sekali aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat, mulai dari yang bertaraf regional hingga internasional.Â
Pada awalnya, interaksi dan transaksi penduduk yang ada mungkin hanya mampu sebatas sebuah kawasan kecil. Namun, seiring dengan berkembangnya teknik perkapalan dan navigasi, interaksi dapat tercipta di wilayah yang lebih jauh, seperti interaksi antar pulau (contohnya interaksi antara suku Bugis dan suku Jawa) atau antar bangsa (contohnya aktivitas perdagangan kayu cendana antara orang Timor dengan pedagang dari Arab.) Oleh karena aspek kelautannya yang signifikan, Indonesia pun dikenal sebagai negara maritim.
Berkaitan dengan konsep negara maritim, pelabuhan-pelabuhan yang ada di Nusantara memiliki peran krusial dalam mendukung jalannya aktivitas laut di dalamnya. Kota-kota kecil maupun kota-kota besar yang ada di pesisir pantai menjadi salah satu poros utama yang memfasilitasi interaksi yang tercipta antara rakyat maupun pendatang. Kapal-kapal dari pelaut dan pedagang lokal maupun asing banyak yang menepi di daerah pesisir pantai Nusantara. Hal ini pun menyebabkan adanya interaksi antar individu, yang kemudian memicu aktivitas-aktivitas ekonomi maupun budaya. Menurut Rhoads Murphey, terdapat 2 konsep tentang pelabuhan, yaitu:
harbor, yang merujuk pada aspek fisik pelabuhan sebagai tempat berlabuh kapal-kapal, dan
port, yang merujuk pada aspek ekonomi pelabuhan sebagai tempat keluar-masuk atau pertukaran barang-barang dagangan.
Di sisi lain, R. Bintarto mendefinisikan pelabuhan ke dalam 3 arti, yaitu:
arti ekonomis, dimana pelabuhan sebagai tempat terjadinya aktivitas ekonomi, seperti ekspor dan impor,
arti budaya, dimana pelabuhan sebagai tempat pertemuan dan pertukaran budaya antar individu-individu yang singgah, dan
arti politis, dimana keberadaan pelabuhan harus dipertahankan karena memiliki peran yang esensial bagi denyut ekonomi negara.
Kepulauan Maluku, sebagai salah satu wilayah Nusantara yang terkenal dengan hasil buminya berupa cengkeh, pala, dan bunga pala (fuli) menjadi sasaran ekspedisi yang empuk bagi bangsa-bangsa Eropa, terutama Portugis, Spanyol, dan Belanda. Pelabuhan-pelabuhan pantai di wilayah Kepulauan Maluku menjadi saksi bisu tempat kedatangan dan interaksi warga dengan para pendatang.Â
Tak hanya itu, masyarakat sendiri memang memanfaatkan laut sebagai sumber penghidupan utama dan menganggap laut sebagai sesuatu yang sakral. Tidak heran, banyak hasil kebudayaan asal wilayah-wilayah di Kepulauan Maluku yang erat dengan aksen perairan. Oleh karena laut memiliki peran penting dalam kehidupan rakyat Maluku, unsur budaya, sejarah, perkapalan, dan pelabuhan menjadi sebuah kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
Surga Rempah: Komoditas Cengkeh, Pala, dan Fuli
Kepulauan Maluku yang meliputi wilayah Timor, Maluku, dan Banda memiliki komoditas rempah-rempah yang sangat masyhur dan diburu oleh banyak pihak. Sebelum kedatangan bangsa Eropa pada abad ke-16, masyarakat di Kepulauan Maluku sudah terlebih dahulu melakukan interaksi jual-beli dengan para pedagang dari Cina, Arab, dan Persia sejak sebelum abad ke-10.Â
Di Timor, mereka membeli komoditas cendana putih yang mengandung minyak sehingga menghasilkan wangi yang harum. Kayu cendana putih ini mirip dengan kayu cendana merah yang banyak ditemukan di daerah India, bedanya, kayu cendana putih memiliki nilai jual yang jauh lebih mahal dibandingkan kayu cendana merah, karena kayu cendana merah tidak menghasilkan minyak yang mengandung aroma. Oleh orang-orang dari Cina, Arab, dan Persia ekstrak kayu cendana ini digunakan untuk membuat dupa untuk acara keagamaan, minyak wangi, hingga peti mati yang berbau harum. Selain kayu cendana, mereka juga membeli komoditas cengkeh dan pala yang dimanfaatkan sebagai bahan pembuatan obat-obatan.Â
Dalam periode ekonomi tersebut, dilakukan sistem barter, dimana para pedagang dari wilayah-wilayah Asia tersebut menukarkan barang bawaan mereka seperti porselen, kain, dan koin emas dengan komoditas cengkeh, pala, dan cendana sesuai dengan yang mereka butuhkan. Maka, tidak heran jika hingga sekarang banyak ditemukan keramik-keramik asal Cina atau kain-kain Persia yang mendiami pajangan museum-museum di Indonesia.
Pada abad ke-16, bangsa Eropa mulai melakukan penjelajahan untuk mencari rempah-rempah. Dengan kondisi iklim subtropis, ketika musim dingin tiba dimana pada saat itu belum ada teknologi untuk mendinginkan makanan, orang-orang Eropa membutuhkan rempah-rempah seperti cengkeh dan pala untuk mengawetkan bahan makanan. Pada saat itu, ketika Konstantinopel jatuh ke tangan Kesultanan Turki dan akses mereka ke pasar rempah-rempah ditutup, dibuatlah sebuah rencana untuk pergi mencari rempah-rempah.Â
Bangsa Portugis dibawah pimpinan Alfonso D'albuquerque mendarat di Nusantara, tepatnya di Bandar Malaka, pada tahun 1511. Bandar Malaka dikenal sebagai pasar rempah-rempah di Asia Tenggara yang sangat masyhur. Sayangnya, Bandar Malaka hanyalah tempat jual beli saja, sedangkan tempat penghasil rempah-rempah yang sebenarnya berada di wilayah Kepulauan Maluku. Oleh karena itu, iring-iringan Portugis pun mengatur kembali perahu mereka dan bertolak menuju Kepulauan Maluku. Sesampainya disana, Portugis membangun benteng-benteng di daerah pesisir pantai untuk mempertahankan kekuasaan mereka atas komoditas rempah-rempah yang ada.Â
Komoditas rempah-rempah berupa cengkeh, pala, dan kayu cendana di Kepulauan Maluku begitu melimpah dan berkualitas tinggi. Tome Pires, seorang berkebangsaan Portugis, dalam catatan perjalanannya yang berjudul Suma Oriental bahkan menuliskan:
"Seorang pedagang Melayu menyebutkan bahwa Tuhan menciptakan Timor untuk kayu cendana, Banda untuk fuli, dan Maluku untuk cengkeh."
Selain Pires, seorang awak kapal Portugis berkebangsaan Belanda bernama Jan Huygen van Linschoten menerbitkan sebuah buku berjudul Itinerario naer Oost ofte Portugaels Indien (Catatan Perjalanan ke Timor atau Hindia Portugis) yang juga merupakan catatan perjalanannya ketika mengunjungi Kepulauan Maluku sebagai bagian dari Portugis. Dalam bukunya, ia mendeskripsikan keindahan pohon rempah-rempah Nusantara beserta segala manfaatnya.Â
Tulisan Van Linschoten yang sampai ke tangan Kerajaan Belanda pun memicu keinginan pihak Belanda untuk segera mencari tempat yang disebutkan menghasilkan rempah-rempah tersebut. Dipimpin oleh Cornelis de Houtman, iring-iringan Belanda tiba di Banten pada tahun 1596. Akhirnya, tidak butuh waktu lama bagi Belanda untuk melanjutkan perjalanannya ke Kepulauan Maluku dan memukul keluar kekuasaan Portugis dari sana.Â
Dipersatukan Laut: Hubungan Malaka dan Maluku
Disebutkan sebelumnya bahwa Malaka hanyalah tempat jual beli, sedangkan pusat penghasil komoditas rempah-rempah yang diperjualbelikan sebenarnya adalah Kepulauan Maluku. Dalam bahasa yang lebih mudah, perihal Malaka adalah gudangnya, sedangkan Maluku adalah pabrik tempat produksinya. Komoditas rempah-rempah yang telah dipanen dari Maluku pun dibawa ke Malaka melalui jalur laut dengan melewati jalur Laut Sulawesi, Laut Jawa, kemudian sampai di Selat Malaka dan langsung diperjual-belikan di Bandar Malaka.
Relasi maritim tersebut menunjukkan bahwa aspek laut memiliki peran yang sangat penting dalam kegiatan perekonomian Nusantara di tingkat regional bahkan internasional di masa itu. Komoditas rempah-rempah diangkut dari wilayah yang jauh di bagian timur Nusantara hingga menuju bagian paling barat Nusantara. Tak hanya itu, peran pelabuhan Malaka bagi kapal-kapal yang singgah juga menawarkan utilitas yang esensial. Banyak kapal-kapal asing--dimana salah satunya merupakan iring-iringan Portugis pimpinan Alfonso D'albuquerque--yang menepi untuk mengisi perbekalan atau hanya untuk sekedar beristirahat dari perjalanan laut yang panjang dan penuh rintangan.Â
Hubungan kedua pusat pelabuhan pesisir ini tidak hanya sebatas itu. Kapal-kapal yang menepi tersebut tentu juga melewati daerah-daerah pesisir lainnya yang ada di Nusantara, seperti Timor, Flores, Alor, dan lain-lain. Sistem perkapalan dan pelayaran yang sudah maju pun mendukung interaksi yang lebih luas dan beragam di Nusantara. Oleh karena itu, hubungan antara Malaka dan Kepulauan Maluku pada abad ke-10 hingga 19 masehi sudah menunjukkan aktivitas pelayaran dan perdagangan yang ramai.Â
Politik Rempah-Rempah
Sesampainya di Nusantara dan melihat bahwa tanah Timur adalah penghasil rempah-rempah yang menjanjikan serta tidak ingin kalah dalam persaingan menjual rempah-rempah dengan pedagang Eropa lainnya seperti Portugis dan Inggris, Belanda membuat sebuah kongsi dagang bernama Vereenigde Oost Indische Compagnie atau yang lebih dikenal sebagai VOC.Â
VOC didirikan pada tahun 1602, 6 tahun setelah kedatangan Cornelis de Houtman dan anak buahnya di Nusantara. VOC merupakan kongsi dagang yang sangat kuat dan besar. Dalam jangka waktu hampir 200 tahun berdiri sebelum akhirnya dibubarkan pada tahun 1799 akibat beberapa masalah internal maupun eksternal, kekayaan VOC dapat dikatakan jauh melebihi perusahaan-perusahaan besar masa kini seperti Microsoft, Volkswagen, Walmart, Amazon, dan sebagainya. Kendati demikian, apakah hal ini berarti pihak manajerial VOC memang mahir dalam menjalankan bisnis mereka, atau kekayaan itu mampu mereka dapatkan murni karena komersialisasi rempah-rempah Nusantara yang sebetulnya bukan milik mereka? Sejatinya, manajerial yang terstruktur dengan baik tentu tidak akan membuahkan hasil yang memuaskan jika bukan karena komoditas yang diperjualbelikan itu sendiri.
Dalam menjalankan aktivitas perdagangannya, VOC bahkan mengatur penguasa-penguasa daerah sekitar hingga masalah terkecil sekalipun. Setelah merebut wilayah timur Nusantara, beberapa serangan politik dilancarkan oleh VOC terhadap penguasa setempat. Salah satunya Kesultanan Ternate dan Tidore dipaksa menerima kekuasaan VOC atas mereka.Â
Hal ini kemudian berimbas pada monopoli perdagangan cengkeh dan pala yang menjadi komoditas utama disana. Mereka membakar semua pohon rempah-rempah di Maluku dan hanya menyisakan cengkeh dan pala saja. VOC membatasi jumlah pohon cengkeh dan pala yang boleh ditanam oleh rakyat. Strategi ini mereka lakukan untuk mempertahankan kelangkaan komoditas cengkeh dan pala di pasar rempah-rempah sehingga harga tetap tinggi. Hanya beberapa wilayah, seperti Saparua, Haruku, dan Nusalaut yang diperbolehkan menanam pohon-pohon tersebut. Tak hanya itu, setiap rumah di wilayah tersebut juga diwajibkan untuk menanam 10 pohon cengkeh setiap tahunnya. Mereka juga berlayar mengelilingi seluruh wilayah Maluku dengan armada laut mereka untuk melakukan pengecekan apakah ada wilayah lain selain Saparua, Haruku, dan Nusalaut yang ikut menanam tanaman rempah-rempah tersebut. Pengawasan ini disebut dengan Pelayaran Hongi, atau dalam bahasa Belanda disebut Hongi Tochten. Selama pengawasan dilakukan, apabila ditemukan pelanggaran atas proses produksi rempah-rempah, kebun-kebun yang kedapatan menanam cengkeh dan pala tanpa sepengetahuan VOC akan langsung dihancurkan dan dibakar, serta penduduk yang memiliki kebun itu akan ditangkap lalu diberi hukuman.
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa motif kedatangan bangsa-bangsa Eropa dengan para pedagang dari wilayah Asia lainnya sangatlah berbeda. Para pedagang dari Cina, Arab, dan Persia datang ke Nusantara murni hanya untuk melakukan transaksi jual-beli rempah-rempah yang mereka butuhkan untuk kebutuhan spiritual, estetika, dan pengobatan dalam jumlah yang sesuai. Di sisi lain, bangsa-bangsa Eropa seperti Portugis dan Belanda datang ke Nusantara dengan motif untuk memonopoli perdagangan rempah-rempah untuk memperoleh kekayaan mereka sendiri. Dari sini, dua dari tiga semboyan 3G yang menjadi motivasi kedatangan bangsa Eropa, yaitu Gold dan Glory, sangat jelas tercermin. Dalam ungkapan yang lebih mudah, jika bangsa Asia Timur dan Tengah datang dengan "maksud baik," bangsa-bangsa Eropa datang dengan tujuan tertentu dan memiliki "maksud buruk."
Pelabuhan Ambon: Saksi Bisu Kekuasaan Imperialis VOC di Maluku
Kedatangan armada VOC di Maluku dipimpin oleh Admiral Steven van der Haghen yang diawali dengan perebutan benteng milik Portugis. Setelah benteng tersebut dihancurkan, pasukan Belanda yang memboyong VOC bersama mereka mendirikan sebuah benteng yang di kemudian hari dikenal sebagai benteng dimana pahlawan nasional asal Ambon yang wajahnya diabadikan di bagian depan uang Rp 1.000,00--Kapitan Pattimura--digantung, yaitu Benteng Victoria. Benteng ini kemudian menjadi pusat administrasi VOC di Maluku.Â
Oleh sebab interaksi perdagangan dan aktivitas keluar-masuk kapal di Maluku--khususnya Ambon--semakin ramai sejak kedatangan VOC, pada abad ke-17 dibangunlah sebuah pelabuhan di Ambon yang kemudian dikenal sebagai Pelabuhan Ambon. Pelabuhan Ambon menjadi pelabuhan utama yang mengangkut dan mengirimkan komoditas-komoditas rempah-rempah khas Maluku seperti cengkeh dan pala serta hasil laut seperti teripang dan mutiara ke pulau-pulau lain di Nusantara. Tak hanya itu, Pelabuhan Ambon juga sempat menjadi pangkalan militer utama VOC sebelum Belanda menaklukan Jayakarta dan memindahkan seluruh kekuatan militer serta urusan pemerintahannya ke Batavia di daerah Sunda Kelapa pada tahun 1619.
Pelabuhan Banda: Pusat Perdagangan Hingga Tempat Pengangkutan Tahanan
Pulau Banda menjadi salah satu wilayah yang termasuk ke dalam Kepulauan Maluku. Sebagai wilayah penghasil buah pala dan bunga pala (fuli), aktivitas Pelabuhan Banda ramai oleh kapal-kapal yang masuk dan keluar untuk mengangkut komoditas pala. Menurut Tome Pires, dalam setahun komoditas pala dan bunga pala yang mampu dihasilkan di Pulau Banda per tahunnya adalah masing-masing kurang lebih sekitar 125 ton. Para pedagang dari Pulau Jawa dan Melayu banyak yang singgah di Kepulauan Banda untuk menukarkan barang bawaan mereka berupa kain atau beras dengan buah pala. Tak hanya itu, di Pelabuhan Banda juga diperdagangkan burung kakak tua dan burung cendrawasih yang sudah dikeringkan untuk dijual kepada para pelancong dari Asia Barat.Â
Seiring dengan berjalannya waktu, timbul pernyataan di kalangan VOC yang mengatakan bahwa orang-orang Banda merupakan masyarakat yang tangguh sehingga patut diperhitungkan sebagai ancaman. Hal ini pun dianggap serius oleh gubernur jenderal VOC pada masa itu--Jan Pieterszoon Coen--yang langsung menyerang dan menghancurkan Banda dengan serangan bersenjata pada tahun 1621. Para penduduk yang tidak mau bekerja sama dengan VOC pun dibantai dan banyak dari mereka yang dijadikan tawanan perang. Mereka kemudian diangkut ke Batavia untuk dijadikan budak pembangunan fasilitas-fasilitas VOC disana. Para budak ini kemudian bermukim di sebuah daerah di dekat Sunda Kelapa yang pada masa kini dikenal dengan sebutan Kampung Bandan. Kata "Bandan" diambil dari nama tempat asal para budak, yaitu Pulau Banda.
Sebagai kesimpulan, sebagai salah satu wilayah di Nusantara yang disatukan dengan laut, aspek maritim memiliki peran penting dalam perjalanan sejarah Kepulauan Maluku pada masa imperialisme bangsa Eropa. Komoditas-komoditas bumi yang dihasilkan oleh bumi timur mungkin tidak akan dikenal hingga penjuru dunia lain jika bukan karena aspek pelayaran dan perairan yang ada. Selain itu, bukan hanya komoditas bumi saja, hasil laut wilayah timur Nusantara juga sudah dikenal hingga mancanegara. Oleh karena itu, dalam mengkaji pembahasan tentang sejarah Kepulauan Maluku, sudah sepatutnya jika aspek maritim dan bahari tidak dipandang sebelah mata.
Referensi:
Pradjoko, D. & Utomo, B. B. (2013). Atlas pelabuhan-pelabuhan bersejarah di Indonesia. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Ebook. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H