Tak hanya berhenti sampai disitu saja, beberapa bulan setelahnya terdapat peraturan baru mengenai penerbitan pers di Indonesia. Dimana surat kabar diwajibkan untuk memiliki dukungan dari minimal satu partai politik atau tiga organisasi masa.
Hal ini menimbulkan dampak negatif dimana  surat kabar sudah tidak bersifat netral lagi, namun memiliki corak atau tujuan masing-masing dari partai politik yang ada dibelakangnya.
Era Orde BaruÂ
(Pemberintahan Presiden Soeharto)
Kehidupan Pers pada masa orde baru mulai perlahan mendapatkan kebebasan. Dimana kebebasan tersebut diatur dalam UU No 11 tahun 1966 mengenai prinsip-prinsip dasar PERS.
Selain itu, setiap masyarakat yang memiliki modal diperbolehkan untuk menerbitkan surat kabar tanpa perlu pengesahan dari pihak manapun. Para jurnalispun bebas menyuarakan suara mereka tanpa adanya rasa takut untuk ditangkap seperti pada era orde lama.
Namun media cetak pada era ini kehilangan kualitas dan mutunya, hal ini bisa terjadi karena setiap surat kabar berlomba-lomba untuk memproduksi berita sebanyak-banyaknya dengan mengesampingkan kualitasnya.
Hal inipun akhirnya menimbulkan serta fitnah dimana-dimana. Oleh karena itu, pada tanggal 6 Juli 1966 pemerintah menetapkan MPRS No. XXXII/MPRS/1966.
Dengan harapan kualitas pers di Indonesia dapat menjadi lebih baik lagi.
Era Reformasi
Pada masa reformasi perkembangan jurnalisme di Indonesia sudah semakin pesat. Hal ini ditandai dengan kebebasan pers yang memperbolehkan surat kabar yang terus berjalan tanpa melakukan pembaharuan izin karena SIUPP sudah terhapuskan.