Mohon tunggu...
Grace Kelana
Grace Kelana Mohon Tunggu... Lainnya - bukan orang luar biasa

an avid manga reader, likes chainsaw man too much

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dengan Cinta, Auriga

19 November 2022   12:00 Diperbarui: 19 November 2022   20:48 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku tidak mengerti cinta layaknya semua orang yang pernah. Pun aku tidak suka berurusan dengan perasaanku sendiri. Aku tidak pernah merasakan percikan api dalam hati yang bisa membakar hatiku utuh-utuh. Juga tidak pernah merasakan ombak yang beriak dalam hati, menimbulkan perasaan yang membuncah. Seperti apa yang kurasakan kini. Pada menit ini, detik ini. Perasaan ini mengalir bagaikan air pada sungai yang tahir, hanya untuk puan dalam mimpi-mimpiku; Mayara Adinda.

Engkau adalah sebuah nafas segar di tengah sesak manusia-manusia biasa. Dewi diantara insan hina. Satu-satunya alasan bagiku untuk tinggal lebih lama di bumi. Semuanya demi bertemu engkau kuturut. Sampai terbang melewati pulau-pulau hanya untuk melihat satu sama lain, mata dengan mata. Tentu, parasnya tidak ada bandingannya. Layak diabadikan di setiap cetakan foto yang apik.

Snap!

Sempurna. Objek dari mataku satu-satunya. Sampai kini masih aku ingat pertama kali hangat tanganmu menyalamiku dengan tulus, tidak layaknya orang-orang lain yang berbicara denganku saja tidak sudi. Dengan lembut suaramu berinteraksi denganku, oh, semuanya terasa seperti sebuah mimpi.

"Halo! Kita satu prodi ya, boleh kenalan nggak? Aku Mayara Adinda, panggilnya Maya aja,"

"A-Auriga Aditya..."

"Eh maaf, siapa? Nggak kedengeran,"

"Auriga... Aditya!"

"Ahh, oke Auriga! salam kenal! Jangan malu-malu sama aku,"

Aku mampu merasakan darah mengalir menuju pipi-pipiku, memunculkan semburat merah muda yang hiasi sekujur wajah. Personifikasi dari segala kebaikan Ialah engkau, Maya.

"Kamu bisa nggak ngerjain yang ini?"

"Ng-nggak..."

"Ih, nanya aja padahal. Aku kasih jawabannya, nanti tukeran sama nomor 1 ya!"

"I-iya,"

Oh, betapa aku ingin membuatmu bahagia apapun yang harus kulakukan. Menjagamu di dalam tidur tidak cukup, ada banyak bahaya diluar sana yang harus kujaga darimu. Rasa yang kian membanjiri hatiku ini tak tertahankan; ingin aku jaga dirimu yang begitu kecil dan manis. Menjagamu dari jahat dunia yang gelap dan kelam.

"Woi, Maya, mana yang namanya Maya?"

"Gaada!"

"Berisik lo, mana anaknya!"

"GUE BILANG GAA---"

"Gue," jawabmu, menimbulkan tanya bagiku pun temanmu.

"Mau apa, Dio?"

Tuan bersurai kuning itu lantas menampar Maya di pipinya, membuatnya merah.

"Gausah macem-macem sama cewe gue! Nyogok dosen kan' lu biar bisa jadi juara kemaren?! JAWAB!"

"CUKUP! Yang bener aja lo gila, BISA KULIAH AJA MAYA BERSYUKUR! Persetan cewek lo, YANG DIA KEJAR IDUP BAHAGIA, BUKAN JUARANYA!" bela temanmu.

"Udah. Dio, lo cuma butuh itu dari gue? Iya, katain gue nyogok semau lo. Seenak yang lo mau. Silahkan,"

Pria itu---yang disebut sebut sebagai Dio---lantas diam seribu bahasa. Menarik dirinya keluar dari ruangan.

Maya, engkau terlalu mulia untuk dunia ini. Maka tidak akan kubiarkan seorang pun merusakmu yang begitu indah, termasuk orang aneh yang memanggil-manggil namamu barusan--- hingga beraninya Ia kucilkan dirimu di depan orang banyak. Dia pikir siapa dia? Mencoreng namamu seenaknya. Memang baiknya kuberi pelajaran. Itu inginmu, kan? Setiap orang yang menghalangi jalanmu, aku bisa tumpas hingga tidak lagi terlihat di muka bumi. Aku sanggup dan aku akan. Menjadi pembela kebenaranmu, Maya, aku bisa.

"L-lo  D-Dio, kan...?"

"Ha?"

Dengan seluruh beraniku, biadab itu kuhampiri; bersenjatakan tongkat bisbol. Badannya begitu perkasa dengan guratan tato di sekujur tubuhnya, tetapi tidak ada gunanya jika sekadar menghargaimu tidak bisa.

"Lo, lo D-Dio kan?"

"Siapa lo? Ngapain kesini?"

Karena engkau, Mayara Adinda, adalah terhormat.

"T-tadi kamu kan... yang nyamperin Maya?"

"AHAHA, ada lagi nih fans-nya Maya. Terus kenapa, hah? Lu mau apain gue kalo iya?"

"I-Ikut gue, lo,"

"Gagap gausah sok-sokan. Langsung aja disini, mau lo apa,"

"G-GUE BILANG IKUT G-GUE!"

BUAK!

Di lorong gelap dekat kampus pukul 7 malam, aku hantam kepalanya keras. Menjadi pusat perhatian adalah keinginanku yang terakhir, apalagi membuat kegaduhan. Kecuali untukmu, Maya, aku sanggup menjadi segalanya. Dengan terpaksa aku kembali berdiri dengan tongkat di tanganku. Mataku nyalang dan terbuka, meraih siapapun yang muncul pertama di pandang.

"S-SAKIT LO, GILA---"

Untuk kedua kali, aku hantam kepala malang selanjutnya berkali-kali. Membuat surai pendek hitamnya basah oleh likuid merah padat. Sempurna. Pada kesempatan berikutnya, salah satu curut pengecut itu menghantamku dengan piringan kaca yang kini ternoda. Nyeri sekali pada bagian kepalaku, begitu sakit. Lantas pecahan kaca itu kuambil, kutancap pada pipi mulusnya.

"AAAAAAH! AAAAH, SAKIT!"

Lagi, satu persatu dari mereka maju dan beradu. Tapi naas, karena kebenaran akan selalu menang. Pada akhirnya kita akan selalu menang, Maya. Bersama dengan banyak temannya, satu persatu aku kejar dengan tungkai panjangku. Menghantam dan menikam tiap kepala dengan apapun yang kudapat di sekitarku. Ah, gejolak dalam hatiku ini tidak bisa dipadamkan. Seperti narkoba, aku ingin dan ingin, lagi dan lagi.

"M-MAAF. Maaf, t-tolong, TOLONG JANGAN BUNUH GUE!" tangisnya.

Bisakah kau percaya? Bahkan aku pun tertawa mendengar rintihnya. Satu-satunya cara bagimu untuk lepas dari dosa-dosamu hanya satu, kawan. Tidak ada toleransi pasca penghinaan Sang Dewi yang agung dan mulia. Darahmu harus tercurah demi fasikmu itu dan aku, akan membantu supaya tidak berat bagimu untuk habiskan nyawamu sendiri. Karena akulah Sang Pembela.

"GUE GAMAU MATI! P-PERGI, ORANG GILA, PERG---"

"Karena kamu telah berdosa,"

Slash!

Satu ayunan terakhir pada hina yang kesekian. Jadilah suci, pendosa yang hilang.

---


Sirine polisi itu begitu nyaring menyapa telingaku. Ah, kupikir inilah akhir dari takdirku. Tidak pantas juga bagiku bertemu denganmu dengan keadaanku seperti ini. Bajuku bersimbah darah, bau amis akan carian pekat itu. Aku tidak mau mengotori putihmu dengan merah pendosa yang sudah kusucikan.

Maya, aku tidak bisa tinggal lebih lama. Tapi esok dan esoknya lagi, aku akan kembali. Memandangmu lagi di kala tidur, hingga lelap. Sampai nanti, akan aku ingat hitam legam rambutmu yang bebas jatuh di pundakmu. Manikmu yang elok, memancarkan bintang pada setiap binarnya. Aku berjanji akan kembali--- pasti. Mayara Adinda, tolong jaga dirimu sampai aku kembali dalam keadaan yang lebih baik. Sampai nanti, mi amore.

Dengan cinta,
Auriga Aditya.

---


"Mayyyy,"

"Oit,"

"Lo kenal Auriga Aditya, nggak?"

"Ha? Kayaknya pernah kenalan, tapi nggak deh," kata sang puan sambil mendudukkan dirinya di sebelah temannya. Katanya lagi,

"Kenapa gitu?"

"Gapapa, nanya aja. Anak kampus, masuk berita dia dipenjara. Satu prodi bahkan sama kita,"

"Wow. Apa kasusnya?"

"Track record kriminalnya udah banyak. Pas aja ketauannya sekarang,"

"Ga salah emang, masuk kriminologi," canda Maya, tertawa kecil sambil matanya berkelana ke sudut-sudut ruang, hingga matanya menangkap selembar polaroid di kasur.

"Ih, foto gue bagus banget! Kapan lu fotoin ini?"

Pada lembar polaroid yang baru Ia ambil, Maya tengah bercermin tanpa melihat kamera dari sudut pandang balkon.

"Bukan aku yang fotoinnn. Jatoh dari meja rias lo,"

"Hah?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun