Karena engkau, Mayara Adinda, adalah terhormat.
"T-tadi kamu kan... yang nyamperin Maya?"
"AHAHA, ada lagi nih fans-nya Maya. Terus kenapa, hah? Lu mau apain gue kalo iya?"
"I-Ikut gue, lo,"
"Gagap gausah sok-sokan. Langsung aja disini, mau lo apa,"
"G-GUE BILANG IKUT G-GUE!"
BUAK!
Di lorong gelap dekat kampus pukul 7 malam, aku hantam kepalanya keras. Menjadi pusat perhatian adalah keinginanku yang terakhir, apalagi membuat kegaduhan. Kecuali untukmu, Maya, aku sanggup menjadi segalanya. Dengan terpaksa aku kembali berdiri dengan tongkat di tanganku. Mataku nyalang dan terbuka, meraih siapapun yang muncul pertama di pandang.
"S-SAKIT LO, GILA---"
Untuk kedua kali, aku hantam kepala malang selanjutnya berkali-kali. Membuat surai pendek hitamnya basah oleh likuid merah padat. Sempurna. Pada kesempatan berikutnya, salah satu curut pengecut itu menghantamku dengan piringan kaca yang kini ternoda. Nyeri sekali pada bagian kepalaku, begitu sakit. Lantas pecahan kaca itu kuambil, kutancap pada pipi mulusnya.
"AAAAAAH! AAAAH, SAKIT!"