Â
Beberapa Hari Lalu para nasabah dan mantan nasabah unit link kembali berdemo di patung kuda Jakarta Pusat
Masih dengan tema yang sama yaitu menuntut pengembalian full refund walau
sebenarnya diantara yang berdemo banyak juga yang setau saya sudah mendapat pengembalian full refund tersebut.
Sebenarnya adakah cara-cara atau jalur jalur hukum yang bisa ditempuh oleh para nasabah dan mantan nasabah ini selain berdemo atau melakukan mobilisasi hukum walau mobilisasi hukum
memang diperbolehkan karena hukum juga mencakup Ius Constituendum atau hukum yang dicita citakan masyarakat ?
Nah, itulah hal yang akan saya bahas dalam tulisan saya ini.
Sebenarnya ada beberapa cara yang dapat ditempuh oleh para nasabah dan mantan nasabah
asuransi ini, walau memang kasus ini sedikit sulit mengingat fakta materil para nasabah dan mantan nasabah ini berbeda-beda dan buktinya pun berbeda. Ada yang memiliki bukti ada yangi tidak. Klausul penyelesaian sengketa di polis pun berbeda beda. Jenis asuransinya pun berbeda beda juga, ada unit link biasa ada unit link syariah dan perusahaannya pun berbeda-beda.
Tapi intinya apapun jalan yang ditempuh oleh nasabah atau mantan nasabah ini, menurut saya mereka harus dan wajib memiliki kuasa hukum karena rata-rata mereka awam hukum bahkan
tidak mengerti sama sekali. Karena tidak mungkinlah memberikan sekoper bukti polis asuransi seperti ke DPR kemarin sebagai barang bukti tanpa mengidentifikasi letak kesalahannya pihak perusahaan asuransinya dimana.
Nah, jika mereka didampingi oleh kuasa hukum pastinya akan lebih terarah dalam memberikan bukti yang sesuai.
Masalahnya adalah, apakah ada yang advokat yang mengikuti kasus ini dari
awal dan mempunyai pengetahuan yang mumpuni tentang masalah asuransi unit link yang mau mendampingi mereka selama berproses kemana pun itu. Karena tanpa didampingi advokat para nasabah dan mantan nasabah yang awam hukum ini pastinya akan merasa terzalimi terus
menerus jika hasilnya tidak sesuai ekspektasi mereka yaitu REFUND FULL.
Di bawah ini saya tuliskan beberapa alternatif tersebut yaitu sebagai berikut :
1. Gugatan Class Action diawali dengan Judicial Review UU Asuransi no 40 tahun 2014 pasal 75
Mengingat fakta materil mereka berbeda beda serta kurang adanya bukti maka gugatan class action mungkin bisa dilakukan dengan terlebih dahulu melakukan judicial review terhadap pasal
75 UU Perasuransian. Mengapa hal ini musti dilakukan ?
Dalam UU Perasuransian pasal 75 pada redaksinya ditulis kata "setiap orang". Kira-kira redaksinya demikian, Setiap orang yang dengan sengaja tidak memberikan informasi atau
memberikan informasi yang tidak benar dan atau menyesatkan kepada Pemegang Polis, tertanggung atau peserta sebagaimana dimaksud dalam pasal 31 ayat 2 dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 tahun dan pidana denda paling banyak lima milyar rupiah.
Redaksi kata SETIAP ORANG tersebut harus dijudicial review terlebih dahulu agar pihak yang bertanggungjawab dalam hal kesalahan informasi yang diberikan itu adalah perusahaan asuransi
bukan agen. Karena jika saat pengajuan gugatan tetap saja perusahaan tidak dapat dikenai tanggung jawab untuk dipidana denda karena redaksi pasal tersebut merujuk pada kata SETIAP ORANG.Â
Pasal-pasal yang menganggap bahwa perusahaan harus bertanggung jawab pasti mencantumkan tidak demikian redaksinya tapi SETIAP ORANG ATAU BADAN HUKUM.
Setelah mendapat putusan judicial review dari Mahkamah Konstitusi dan disetujui maka hasilnya dapat dipakai sebagai testimonium de auditu sebagai dasar kesamaan fakta melakukan gugatan
kelompok. Jadi putusan judicial review ini bisa menjadi benang merah dari berbagai fakta berbeda dari nasabah dan mantan nasabah asuransi.
Cara ini mempunyai kelemahan yaitu kesatu, belum tentu uji materinya disetujui oleh MK dan kedua sekalipun hasil judicial review bisa dijadikan bukti sebagai alasan kesamaan fakta tetap
saja preliminary hearing tentang penentuan kelas harus tergantung pada putusan hakim dan yang ketiga gugatan class action kebanyakan dalam ranah perdata.
2. Melalui mekanisme lembaga penyelesaian sengketa atau LAPS SJK
Penyelesaian melalui mekanisme ini sangat dimungkinkan namun menurut data pada situs LAPS SJK sendiri sejak lembaga penyelesaian sengketa ini dibentuk karena merupakan gabungan
lembaga alternatif penyelesaian sengketa yang dulu ada, lembaga ini baru pada tahap menerima laporan pengaduan saja namun belum sama sekali ada kasus yang ditangani.
Kasus kasus yang ada barulah kasus kasus yang sedang dikerjakan oleh lembaga-lembaga yang akan berkonsolidasi
dengan LAPS. Beda dengan dahulu ada BMAI atau Badan Mediasi Asuransi Indonesia.
Pertanyaannya adalah apakah LAPS SJK sanggup menangani kasus sebanyak ini yang menuntut penyelesaian cepat dan hanya ingin putusannya satu yaitu FULL REFUND?
Selain itu saya agak kawatir jika melihat daftar mediator dan arbiternya di situs LAPS SJK yang rata-rata hanya menguasai jenis asuransi konvensional atau asuransi syariah saja. Sedangkan unit link bukanlah asuransi konvensional tapi non konvensional yang menurut saya punya detail detail khusus yang unik yang tidak bisa dipelajari hanya dalam waktu sebentar saja.Â
Mungkin banyak yang ahli tentang unit link tapi bukan mediator atau arbitor yang bersertifikasi yang bisa memimpin jalannya proses mediasi dan arbitrase tersebut.
Selain itu tetap saja dalam proses pada lembaga ini tetap diperlukan bukti dan perlu ada pendampingan bagi para nasabah dan mantan nasabah tersebut diatas oleh advokat atau kuasa hukum.
Mengapa pada proses ini advokat atau kuasa hukum juga mutlak perlu? Agar tidak timbul kecurigaan bahwa proses berjalan tidak adil. Karena yang saya khawatirkan dalam kasus ini adalah proses arbitrase dimana biaya ditanggung oleh perusahaan asuransi.
Apakah keberpihakan dan independensi arbitor bisa dipertanggungjawabkan jika yang membayar seluruh biaya adalah perusahaan asuransi? Apalagi dalam arbitrase putusan sifatnya final dan didaftarkan di pengadilan sehingga seolah ada upaya seperti untuk mengunci para nasabah atau mantan nasabah untuk melakukan upaya hukum yang lain.
Yang perlu dilakukan adalah perlu adanya preliminary agreement antara nasabah/ mantan nasabah untuk patuh pada hasil putusan arbitrase. Apalagi pihak nasabah dan mantan nasabah disini hanya mau putusan akhirnya refund full semua. Sulit juga.
3. Melalui Mekanisme Gugatan SederhanaÂ
Gugatan Sederhana atau Small Claim Court adalah tata cara pemeriksaan di persidangan terhadap gugatan perdata dengan nilai gugatan materil paling banyak Rp 500 juta yang diselesaikan dengan tata cara dan pembuktiannya sederhana.
Cara dengan menggunakan prosedur ini juga bisa dijadikan alternatif karena biayanya sangat murah (sekitar 91 ribu rupiah saja) dan bisa dengan penggugat yang banyak asal jumlah klaimnya dibawah 500 juta. Jika klaimnya lebih dari itu mungkin bisa dipecah-pecah sesuai kesamaan fakta.Â
Nah untuk penggugat yang lebih dari satu orang dan domisilinya tidak sama dengan tergugat dapat menunjuk kuasa hukum walau sebenarnya jika gugatan ini diajukan perorangan tanpa kuasa hukumpun bisa.
Dalam kasus nasabah dan mantan nasabah asuransi unit link ini sepertinya wajib menggunakan kuasa hukum terkecuali nasabah yang memiliki domisili sama dengan tergugat bisa mengajukan
gugatan sendiri. Kuasa hukumnya pun musti yang berdomisili sama dengan tergugat.
Nah diantara semua alternatif yang ada pastinya semua memiliki kekurangan dan kelebihan. Namun yang paling penting adalah kemauan pihak yang bersengketa untuk menurunkan ego masing-masing.Â
Jika kedua pihak sama sama keras, jalan apapun pasti akan berakhir dengan
deadlock atau jalan buntu. Sampai kiamat pun masalah ini tidak akan selesai dan akan mirip sinetron berseri yang tentu saja akhir ceritanya membuat saya penasaran.
Happy Endingkah atau Sad Ending kah dan akhir happy ending atau sad ending itu musti dipandang dari perspektif yang berbeda tentunya. Atau Demo lagi ujung ujungnya?Â
Mari kita tunggu bersama sama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H